Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pesona Rate Nggaro yang Menakjubkan di Siang Hari

13 Maret 2018   21:38 Diperbarui: 15 Maret 2018   00:00 1751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyebut Rate Nggaro, bagi masyarakat Sumba dan Nusa Tenggara Timur umumnya, terlebih yang suka travelling (jalan-jalan) bukan nama yang asing lagi.  Demikian juga bagi para wisatawan baik domestik maupun manca negara yang pernah ke Pulau Sumba.

Rate Nggaro adalah salah satu destinasi favorit di Sumba. Bukan baru saat ini, tapi sudah sejak lama. Ia bagaikan seorang gadis cantik yang terus diburu.

Nama Rate Nggaro memang sudah sangat populer dan sejujurnya selalu menggetarkan kalbuku serta menggoda khayalku ketika menyebut namanya. Mengapa, karena kisah tentang nenekku, baik keturunan ayah maupun ibuku, berasal dari wilayah itu. 

Aneh memang, sebagai putera asli Kodi dan sampai dengan usia seperti saat ini, saya belum bergemining sedikitpun untuk mengunjungi tempat itu.

Tapi tak dinyana, pagi hari, Selasa 13 Maret 2018, ketika teman-temanku, para kaum pewarta, menghubungi dan mengajakkku untuk ke Rate Nggaro, hatiku begitu bergairah untuk ke sana.

Di pagi yang cerah itu, sekitar pukul 09.30 Wita, saya dan empat temanku, berangkat dengan hati gembira. Tidak terasa, hanya sekitar satu jam, setelah roda kendaraan kami berputar tak ada halangan melalui jalanan beraspal, kami sudah memasuki kawasan Rate Nggaro, Desa Maliti Bondo Ati, pemekaran baru dari Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Mbangedo.

Parona Rate Nggaro

Ketika memasuki kawasan Rate Nggaro, saya menoleh ke kiri di sisi selatan jalan raya. Di sana tampak sebuah desa adat, Parona atau kampung adat menurut sebutan kami di Sumba. Puluhan rumah adat dengan konstruksi berjoglo berdiri kokoh di dalam pagar batu yang disebut atur. Di bagian dalam pintu gerbang Parona terlihat beberapa mobil yang dipangkir.

Saya mengajak teman-temanku untuk mampir sebentar di Parona itu. Saat kami memasuki pintu gerbang, tampak sebuah tenda sederhana di antara rumah-rumah adat. Kami turun dari kendaraan dan inilah untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Parona yang bernama Rate Nggaro ini.

Di tenda itu sedang dilaksanakan kegiatan sosialisasi "Sadar Wisata". Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Sumba Barat Daya dengan menghadirkan narasumber yaitu seorang dosen pariwisata dari Sekolah Tinggi Pariwisata di Denpasar, Bali, I Nyaman H dan Kapolsek Kodi Mbangedo, I Nyoman Miasa. Tampak hadir dalam kegiatan tersebut, Kepala Dinas Pariwisata, Kristofel Horo, SH dan stafnya serta para tokoh adat pelaku pariwisata.

Kami menyempatkan diri untuk mengikuti  kegiatan ini. Setelah kegiatan ini dibuka secara resmi  oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Drs. Martinus Bulu, kedua narasumber tadi menyampaikan materi sosialisasinya masing-masing. 

I Nyoman H, menyampaikan topik berkaitan dengan Sapta Pesona. Sedangkan I Nyaman Miasa, memaparkan bahan sosialisasi berkaitan dengan jaminan keamanan di obyek pariwisata.

Sementara kegiatan sosialisasi ini berlangsung, saya dan teman-temanku, mulai memantau kondisi Parona Rate Nggaro. Kemudian kami konsentrasi di sisi selatan barat daya Parona. 

Ternyata Parona ini berdiri di atas bibir tebing terjal, sisi timur tenggara Mananga (muara) Rate Nggaro yang indah menakjubkan. Terus terang di sini saya agak ekstra was-was. Khawatir terpeleset dan meluncur ke muara. Karena di sisi ini tidak ada pagar batunya.

Dari posisi tersebut, kami dapat menikmati dan memotret kecantikan, keunikan dan keindahan Parona Rate Nggaro beserta batu-batu kubur megalitnya. Disamping itu kami juga terpana menyaksikan sambil mengabadikan kemolekan muara dan pantai Rate Nggaro di sisi barat serta kawasan Parona Wainyapu di seberang di atas daratan sisi selatan.

Pantai Rate Nggaro

Sekitar dua jam kami di Parona Rate Nggaro. Kemudian kami pamit kepada dua bapak muda yang setia mendampingi kami saat itu. Kami juga pamit kepada peserta sosialisasi tersebut. Sedangkan Mateus Raya Katoda, Kepala Desa Maliti Bondo Ati, masih sempat mengantarkan kami sampai ke pintu gerbang Parona.

Kemudian kami bergegas menuju Pantai Rate Nggaro, yang jaraknya tidak jauh dari Parona Rate Nggaro, sekitar 500 meter. Hanya sebentar saja, untuk pertama kalinya juga saya menginjakkan kaki di Pantai Rate Nggaro.

Di sini kami juga takjub terpesona menikmati wajah unik Pantai Rate Nggaro yang cantik. Di atas daratannya yang berbentuk tanjung dan tidak seberapa luasnya, berdiri kokoh kuburan-kuburan batu megalit yang cukup tinggi  dan sudah berumur ratusan tahun sehingga tampak nilai kekunoannya. 

Belum lagi beberapa batu lempeng kuno yang terhampar di atas permukaan tanjung ini, yang juga adalah kuburan para leluhur tempo dulu.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Menurut Mateus Rangga, salah seorang bapak muda yang mendampingi kami waktu di Parona tadi, tanjung mungil ini adalah Parona Rate Nggaro yang pertama pada zaman dahulu. 

"Karena tempat ini tidak aman dari gemuruh deburan ombak dan sering juga ada buaya dari muara yang menyerang hewan ternak peliharaan, maka nenek-moyang mereka pindah di lokasi yang sekarang ini," jelas Mateus.

Disamping keunikan  tanjungnya  yang dihiasi dengan beberapa rumpun pandan khas daerah pantai, juga pasir putihnya yang berbentuk delta dan menjadi dinding pemisah antara air laut dari samudera dan air tawar dari sungai Waiha, menyuguhkan pesona indah tersendiri. 

Di ujung delta pasir di sisi selatan, memang ada terusan yang dapat menghubungkan antara air laut dan air sungai, namun tidak dalam. Sehingga delta pasir ini juga menjadi jalan pintas atau singkat yang digunakan oleh warga setempat untuk menyeberang ke Parona Wainyapu atau sebaliknya dari Parona Wainyapu ke Parona Rate Nggaro.

Saat itu, karena sengatan cahaya matahari cukup panas, maka kami hanya menikmati keindahan Pantai Rate Nggaro dari daratan tanjung mungil tersebut. Sungguh molek dan menakjubkan memang posisi pantai ini.

Jika mengarahkan lensa kamera ke selatan, maka bukan hanya delta pasir dan muara Rate Nggaro saja yang terekam, tapi Parona Wainyapu pun menjadi background yang indah. Ujung-ujung lancip menara rumah-rumah adatnya, sekitar seperempatnya akan nongol di atas pepohonan hijau yang mengelilingi Parona Wainyapu. 

Jika mengarahkan lensa kamera ke timur, maka wajah cantik Parona Rate Nggaro akan terpampang jelas di atas pesona cermin muara dan delta pasir yang dihiasi rumpun-rumpun pandan pesisir dan batu-batu megalit kuno. Indah dan menakjubkan, bukan?

Sekitar satu jam kami berada di Pantai Rate Nggaro. Setelah cukup dahaga memanjakan mata dan kalbu, kami pun meninggalkan Rate Nggaro. Sayang saat kami mulai mengambil gambar, cakrawala di langit sudah mulai bercorak gelap. Mudah-mudahan pertanda akan turun hujan di belakang kami.

Catatan Penting

Selama lebih kurang tiga jam berada di Rate Nggaro, ada beberapa catatan penting yang perlu saya sampaikan. Saya sangat takjub dan hormat bahwa meskipun Rate Nggaro sudah lama menjadi destinasi favorit, namun keasliannya masih utuh. Belum terganggu sama sekali.

Kondisi ini, sekaligus juga menjadi catatan keprihatinan saya. Mengapa, karena hal itu merupakan bukti bahwa destinasi tersebut belum dikelola dengan baik. 

Misalnya, belum ada pos jaga untuk masuk ke lokasi Rate Nggaro, belum ada lopo-lopo yang bisa digunakan oleh para wisatawan untuk bernaung dari panas matahari di siang hari, belum ada sumber air meskipun sudah tersedia kamar mandi di Parona Rate Nggaro, belum ada tempat parkir, dan belum ada warung atau kios.

Disamping itu, lokasinya belum cukup bersih karena masih tampak sampah plastik dan bungkusan rokok yang berseliweran. Juga masih terlihat ada kuda yang digembalakan di lokasi yang mengakibatkan ada kotoran kuda.

Belum lagi anak-anak yang suka mengikuti pengunjung di lokasi tersebut, sehingga cukup mengganggu kenyamanan pengunjung.

Mudah-mudahan catatan-catatan ini bisa menjadi perhatian para pemangku kepentingan di daerah tersebut, sebagai upaya untuk memajukan sektor pariwisata Sumba ke depan.  

Rofinus D Kaleka *)

Sumba Barat Daya, 13 Maret 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun