Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Satu Hari dari Pasola Wainyapu, Mampir Menikmati Pesona Pantai Marapu

11 Maret 2018   11:10 Diperbarui: 11 Maret 2018   13:55 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Sabtu pagi, 10 Maret 2018, saya bersama kawan-kawanku, berangkat menuju Desa Wainyapu, Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba Barat Daya, untuk menyaksikan atraksi Pasola hari terakhir dalam festival Pasola tahun ini. Sekitar satu jam waktu yang kami habiskan untuk tiba di arena lapang Pasola Wainyapu.

Cuaca di arena lapang terlihat cerah. Cakrawala di langit memancarkan wajah biru yang terlukis indah oleh bercak-bercak awan putih seperti kristal. Sehingga cahaya matahari tidak terhalang sedikitpun untuk memanggang bumi. Hangat dan cenderung panas. Berbeda jauh dengan cuaca yang kami alami di awal perjalanan yang diiringi hujan rintik.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Saat kami tiba, arena lapang Pasola Wainyapu sudah ramai. Ribuan penonton sudah mengelilingi arena lapang dan atraksi Pasola pun sudah dimulai. Di antara para penonton tampak cukup banyak wisatawan, baik wisatawan luar negeri maupun nusantara. Mereka mengambil posisi duduk atau berdiri di bawah tenda tribun, yang bertangga-tangga, di sisi selatan arena lapang Pasola.

Saya bersama kawan-kawan seperjalananku, sebagai pewarta, memperoleh kehormatan khusus untuk berada di panggung tribun. Di tribun ini juga tampak Plt Bupati Sumba Barat Daya, Drs. Ndara Tanggu Kaha, yang ditemani oleh beberapa pejabat penting di daerah tersebut. Ndara Tanggu Kaha adalah putra asal wilayah penyelenggaraan Pasola ini. Kami yang berada di posisi tribun, secara otomatis aman dari sengatan cahaya matahari.

Atraksi Pasola saat itu berlangsung aman dan damai. Sehingga para penonton dapat menyaksikan jalannya Pasola dengan rasa nyaman. Juga para pewarta, termasuk wisatawan, dapat meliput atraksi Pasola dengan leluasa. Saat pertengahan Pasola, beberapa media massa eletronik dari luar Sumba, sempat mewawancarai Plt Bupati Sumba Barat Daya.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Namun ada catatan yang sangat memprihatikan tentang atraksi Pasola saat itu. Menarik memang tapi tidak seru. Mengapa karena pesertanya sangat minim. Hanya dua puluh tiga ekor kuda bersama penunggangnya yang ada di dalam arena lapang. Berbeda jauh dengan atraksi Pasola di wilayah Kecamatan Kodi pada tanggal 9 dan 10 Februari 2018 lalu. Waktu itu ada ratusan kuda bersama penunggangnya yang berlaga di arena lapang Pasola.

Kondisi minimnya peserta atraksi Pasola di Wainyapu itu, membuat saya penuh tanda tanya. Saya sangat khawatir, kondisi itu merupakan isyarat makin merosotnya jumlah populasi kuda sandelwood di wilayah Kodi. Tentu hal ini perlu menjadi bahan evaluasi penting bagi para pemangku kepentingan di wilayah tersebut untuk memperhatikan peningkatan populasi kuda sandelwood.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Setelah atraksi Pasola berakhir, saya dan kawan-kawanku menuju Kampung Adat Wainyapu yang terletak di sisi utara arena lapang Pasola. Kami ke sana untuk silaturahim di rumah adat sahabat kami yang bernama Lodowayk Loghe Raya.

Belum lama berselang, tiba juga sahabat kami Umbu Remu Samapaty bersama ibunya, setelah dijemput oleh Lodowayk dari arena lapang Pasola. Umbu ini adalah salah satu pejabat teras dalam jajaran birokrasi pemerintahan di Kabupaten Sumba Barat Daya. Anak ganteng ini adalah putra asli Wewewa Utara, masih wilayah Sumba Barat Daya juga.

pasola-wainyapu9-agus-jpg-5aa4d2b3dcad5b5eef364a02.jpg
pasola-wainyapu9-agus-jpg-5aa4d2b3dcad5b5eef364a02.jpg
Di bale-bale rumah panggung keluarga besarnya Lodowayk inilah kami santai, sambil berceritera yang indah-indah tentang tradisi dan kebudayaan kami. Sayang perjumpaan hanya sebentar saja. Setelah dijamu santap siang oleh keluarga ini, kami harus segera pamit.

Dari Kampung Adat Wainyapu kami menuju ke Desa Waiha, untuk memenuhi undangan Bapak Ndara Tanggu Kaha untuk santap siang juga. Mau tidak mau kami pun makan lagi secukupnya.

Saat kami di rumah pribadi Plt Bupati Sumba Barat Daya ini, hujan deras turun. Namun hanya berlangsung sebentar saja. Dan cuaca mulai cerah kembali.

Menuju Pantai Marapu

Wajah kawan-kawanku tampak gembira ketika cuaca kembali cerah. Artinya,  rencana  kami semula akan berjalan lancar, yaitu setelah menonton Pasola di Wainyapu akan mampir ke Pantai Marapu untuk menikmati wajah cantiknya di siang hari. Saya pribadi sih sudah beberapa kali ke sana, namun kawan-kawanku ini belum pernah menginjakkan kaki di Pantai Marapu.

pantai-wainyapu1-ao-jpg-5aa4c2df5e1373415c449942.jpg
pantai-wainyapu1-ao-jpg-5aa4c2df5e1373415c449942.jpg
Kami buru-buru pamit kepada Plt Bupati Sumba Barat Daya dan keluarganya. Kemudian kami bergegas beranjak untuk memburu Pantai Marapu. Khawatir jika cuaca akan segera mendung dan hujan.

Dalam perjalanan saya bertanya kepada kawan-kawanku dalam nada canda, siapa yang akan menjadi model di Pantai Marapu. Alfredo Ortega, seorang fotografer yang cukup profesional, menyebut diri saya. Alasannya, karena saya menggunakan busana adat Kodi  lengkap. Saya langsung tertawa geli, merasa lucu begitu. Orangtua kok dijadikan model.

Sementara kawan-kawanku saling menunjuk satu sama lainnya. Tapi kemudian sepakat menyebut Nona Yana, gadis blasteran Sumba Sabu. "Yana saja," kata Agustinus Lende Ngongo. "Karena dia masih bujang," lanjut Agus memberi alasan.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Belum lagi canda kami tuntas, Alfredo sudah melepas pedal gas dan menginjak pedal rem. Kendaraan kami sudah merapat di bibir Pantai Marapu. Sebuah dataran rata yang dikatupi rerumputan hijau.

Kami segera keluar dari mobil dan mengeluarkan kamera dan handycame. Kemudian, sambil melepaskan pandangan ke arah samudera luas yang sedang bergelombang, kami mempercepat langkah memasuki hamparan pasir di sisi utara ujung Pantai Marapu.

Ketika kawan-kawanku sudah menginjakkan kaki di hamparan pasir yang bagaikan permadani putih berkilauan itu, saya perhatikan wajah mereka terlihat berseri-seri. Mereka juga tampak bergairah dan segera sibuk mencari posisi yang strategis untuk pemotretan. Bukan pemotretan profesional lho, sekadar rekreasi biasa saja sih!

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Sesuai anjuran Alfredo, kami merapat di bagian tengah hamparan pasir. Di tempat itu ada permukaan batu karang khas laut yang menonjol di permukaan pasir. Batu karang ini, menurut Mateus Rangga Nihi, warga setempat, yang datang mendekati kami, hanya muncul di awal-awal tahun, setelah itu akan tertutup tumpukan pasir. Sehingga di hamparan pantai ini, jelasnya, hanya pasir putih yang tampak sejauh mata memanjang. Kecuali, kata Mateus, di ujung utara dan selatannya yang ada karang menjorok ke laut.

Di atas batu karang di tengah pantai itulah kami melakukan pengambilan gambar secara bergantian. Mudah-mudahan hasilnya tidak mengganggu pesona cantik pantai Marapu.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Sibuk dengan potret memotret membuat kami cukup bersahabat dengan sengatan cahaya terik matahari siang itu. Tidak kurang, sekitar dua jam, kami terpesona menikmati keindahan Pantai Marapu. Satu-satunya pantai di Pulau Sumba yang memeteraikan nama aliran kepercayaan atau religi asli masyarakat Sumba.

Gelombang laut di pantai itu sangat cocok untuk para wisatawan yang senang olahraga sky. "Banyak turis yang main sky di tempat ini," kata Mateus.

Saat kami sedang berada di Pantai Marapu, ada dua catatan yang memprihatinkan dan penting untuk diperhatikan oleh pemangku kepentingan yang ada di wilayah tersebut. Pertama, ada dua dumptruck yang sedang memuat pasir laut basah. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, tidak lama lagi destinasi yang masih perawan itu akan rusak.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Dan kedua, anak-anak kecil yang ada di sekitarnya, berbondong-bondong lari mengikuti kami. Sampai di pantai pun, mereka terus mengikuti kami. Mereka memang tidak membuat hal-hal yang kurang berkenan, namun sangat menganggu suasana kami untuk menikmati pesona cantik Pantai Marapu. Kondisi seperti ini sangat tidak disukai oleh para wisatawan.

Ketika hari sudah menjelang senja, kami pun pamit dari Pantai Marapu. "Lain kali kita datang lebih lama lagi ya," kata kawan-kawanku. ***

Rofinus D Kaleka *)

                                                                                              Tana Kombuka, 10-11 Maret 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun