Seorang wisatawan asal Australia, Mr Lukas, didampingi oleh David Ra Mone, seorang guide putra Kodi, menghadiri upacara penguburan alm. Stefanus Gheru Kaka, di Desa Homba Karipit, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Selasa 5 Maret 2018. Mr Lukas sedang cuti libur. Menurut pengakuannya, ia bekerja di kapal minyak.
Hari itu, seharusnya Mr Lukas dan David, mengunjungi beberapa destinasi pantai dan desa adat atau kampung adat di wilayah Kodi. Tapi karena David mempunyai hubungan keluarga dekat dengan keluarga duka dan menurut tata tradisi adat, tidak baik kalau tidak menghadiri upacara penguburan, maka setelah dirundingkan dengan Mr Lukas, mereka berdua memutuskan untuk menghadiri upacara penguburan tersebut.
![dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/09/pesta-penguburan6-rdk-5aa2bb3116835f61e9307922.jpg?t=o&v=770)
Ketika memasuki tenda duka, Mr Lukas disambut dengan bunyi gong, tambur dan tarian. Setelah melayat sebentar di dalam ruangan persemayaman almarhum, Mr Lukas, duduk di antara banyak orang yang hadir di bawah tenda duka di halaman rumah keluarga yang berduka. Di tempat ini, ia berbincang-bincang dengan guide di sisi kirinya dan Gidion Katupu, seorang tokoh masyarakat, di samping kanannya. Saya sendiri duduk hanya selang dua kursi dari sisi kiri guide-nya, yang pernah mengenyam pendidikan di negara Kanguru itu.
Meski Mr. Lukas asyik berbincang dengan kami, ia rupanya tetap memperhatikan bagaimana keluarga duka menyambut rombongan tamu lainnya yang datang melayat.
![dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/09/pesta-penguburan1-rdk-5aa2bb3acbe5230f6374b052.jpg?t=o&v=770)
"Begitulah adat di sini. Hanya yang membawa hewan saja yang disambut khusus, secara gembira, dengan bunyi gong, tambur dan tarian," jawab David memberi penjelasan.
![dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/09/pesta-penguburan4-rdk-5aa2bc195e1373782868abe2.jpg?t=o&v=770)
"Ohhh, Anda adalah tamu di sini. Tamu yang dianggap agung. Keluarga duka merasa gembira dan terhormat, karena Anda bisa menghadiri upacara penguburan keluarga mereka," jelas David. Mr Lukas menganggukkan kepalanya, tanda bahwa ia sudah berusaha memahaminya.
Pesta adat
Kematian atau orang meninggal, di mana pun di dunia ini, adalah peristiwa duka. Prosesi persemayaman dan penguburannya diliputi suasana berkabung. Di Sumba pun demikian juga. Namun memang ada keunikannya tersendiri. Bahkan bisa dikatakan juga antagonis.
Mengapa demikian? Karena suasana di rumah duka di Sumba, tak ubahnya seperti penyelenggaraan pesta adat.
![dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/09/pesta-penguburan7-rdk-5aa2bbfccbe5233daa6d2982.jpg?t=o&v=770)
Mayat orang meninggal disemayamkan sekitar tiga sampai satu mingggu. Selama itu juga, tuan duka memberikan pelayanan.
Mengapa sampai lama begitu mayat disemayamkan? Karena keluarga duka harus mengundang seluruh keluarga dan kerabat mereka. Ada yang dekat dan ada juga yang jauh tempat tinggalnya. Di samping itu, keluarga yang diundang tidak datang melayat begitu saja tanpa membawa "buah tangan tanda mereka ikut berduka".
Kerabat dan kenalan tidak masalah. Mereka bisa ringan kaki dan hati untuk segera datang melayat. Cukup dengan membawa satu lembar kain tenun saja.
![dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/09/pesta-penguburan5-rdk-5aa2bc94caf7db769d1b3093.jpg?t=o&v=770)
Besar kecilnya hewan yang dibawa itu, menyesuaikan status sosial keluarga yang berduka atau seperti yang pernah dilakukan oleh keluarga duka sebelumnya. Harga hewan di Sumba sekarang ini mahal. Babi saja, yang sedang bisa seharga 5 juta rupiah dan yang bertaring bisa sekitar 20 juta rupiah. Kuda yang kecil sekitar 5 juta dan yang besar masih di bawah 10 juta rupiah.
Sapi dan kerbau lebih gila lagi harganya. Sapi sedang sekitar Rp 7,5 juta dan yang besar lebih dari 25 juta rupiah. Sedangkan kerbau, yang kecil saja harganya minimal 6,5 juta dan yang paling besar bisa lebih dari 40 juta rupiah.
![dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/09/pesta-penguburan3-rdk-5aa2bcc816835f3b9b62d666.jpg?t=o&v=770)
Mengapa harus bawa kain tenun dan hewan saat ada orang meninggal? Untuk apa pula materi-materi tersebut? Atau apa makna material yang dibawa oleh para pelayat tersebut.
Jawabannya adalah sebagai ungkapan penghormatan dan kasih sayang kepada orang yang meninggal. Disamping itu, untuk menghibur dan sekaligus membantu meringankan beban keluarga yang sedang berduka.
Kain-kain tersebut dimaksudkan sebagai pakaian yang dibawa oleh orang yang meninggal. Baik untuk dipakainya sendiri, ganti-ganti begitu, maupun sebagai oleh-oleh bagi keluarganya yang sudah ada di alam roh. Meskipun kenyataannya, hanya beberapa kain saja yang diikutkan pada saat penguburan. Sisanya menjadi milik keluarga yang masih hidup.
Sedangkan hewan-hewan tersebut dimanfaatkan sebagai lauk-pauk, terutama babi. Sedangkan kerbau dan sapi serta kadang-kadang juga kuda disembelih, kemudian dibagi-bagikan dagingnya kepada seluruh pelayat. Masing-masing memperoleh sekurang-kurangnya setengah kilogram. Ini dilaksanakan selepas upacara penguburan.
Bisa dibayangkan, jika undangan yang hadir pada upacara penguburan sekitar seribu orang, berapa jumlah hewan yang disembelih? Banyak bukan? Mahal sekali tentunya. Orang luar bisa mengatakan ini pemborosan yang tidak masuk akal. Sangat irasional. Tapi ini fakta di Sumba. Bukan mimpi.
Santap siang bersama
Setelah upacara penguburan, diadakan makan siang bersama. Setelah itu baru dilakukan penyembelihan hewan.
Mr Lukas tadi tampak senang mengikuti prosesi penguburan almarhum Stefanus Gheru Kaka sampai tuntas. Ia juga ikut makan bersama siang itu. Dan ia pun mendapat bagian daging mentah sebagai oleh-oleh yang dibawanya pulang.
Saya tidak bisa membayangkan apa yang dikisahkan Mr. Lukas ketika ia tiba di negeranya setelah menyaksikan prosesi penguburan tadi. Apakah ia akan memuji-muji keunikan tradisi dan budaya kita? Saya khawatir ia akan berceritera tentang orang Kodi yang masih kuno, boros dan ... terserah Mr Lukas lah.
Rofinus D Kaleka *)
Tana Kombuka, 8 Maret 2018