Seorang wisatawan asal Australia, Mr Lukas, didampingi oleh David Ra Mone, seorang guide putra Kodi, menghadiri upacara penguburan alm. Stefanus Gheru Kaka, di Desa Homba Karipit, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Selasa 5 Maret 2018. Mr Lukas sedang cuti libur. Menurut pengakuannya, ia bekerja di kapal minyak.
Hari itu, seharusnya Mr Lukas dan David, mengunjungi beberapa destinasi pantai dan desa adat atau kampung adat di wilayah Kodi. Tapi karena David mempunyai hubungan keluarga dekat dengan keluarga duka dan menurut tata tradisi adat, tidak baik kalau tidak menghadiri upacara penguburan, maka setelah dirundingkan dengan Mr Lukas, mereka berdua memutuskan untuk menghadiri upacara penguburan tersebut.

Ketika memasuki tenda duka, Mr Lukas disambut dengan bunyi gong, tambur dan tarian. Setelah melayat sebentar di dalam ruangan persemayaman almarhum, Mr Lukas, duduk di antara banyak orang yang hadir di bawah tenda duka di halaman rumah keluarga yang berduka. Di tempat ini, ia berbincang-bincang dengan guide di sisi kirinya dan Gidion Katupu, seorang tokoh masyarakat, di samping kanannya. Saya sendiri duduk hanya selang dua kursi dari sisi kiri guide-nya, yang pernah mengenyam pendidikan di negara Kanguru itu.
Meski Mr. Lukas asyik berbincang dengan kami, ia rupanya tetap memperhatikan bagaimana keluarga duka menyambut rombongan tamu lainnya yang datang melayat.

"Begitulah adat di sini. Hanya yang membawa hewan saja yang disambut khusus, secara gembira, dengan bunyi gong, tambur dan tarian," jawab David memberi penjelasan.

"Ohhh, Anda adalah tamu di sini. Tamu yang dianggap agung. Keluarga duka merasa gembira dan terhormat, karena Anda bisa menghadiri upacara penguburan keluarga mereka," jelas David. Mr Lukas menganggukkan kepalanya, tanda bahwa ia sudah berusaha memahaminya.
Pesta adat
Kematian atau orang meninggal, di mana pun di dunia ini, adalah peristiwa duka. Prosesi persemayaman dan penguburannya diliputi suasana berkabung. Di Sumba pun demikian juga. Namun memang ada keunikannya tersendiri. Bahkan bisa dikatakan juga antagonis.
Mengapa demikian? Karena suasana di rumah duka di Sumba, tak ubahnya seperti penyelenggaraan pesta adat.

Mayat orang meninggal disemayamkan sekitar tiga sampai satu mingggu. Selama itu juga, tuan duka memberikan pelayanan.