Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen| Indah Kanuru di Pantai Indah Rate Nggaro

2 Maret 2018   19:11 Diperbarui: 2 Maret 2018   19:24 1571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 DEWI, begitulah sehari-hari seorang dara itu disapa oleh sobat-sobat karibnya (ole ate). Sebuah nama yang tidak umum di daerah itu. Nama kecil itu memang cocok melekat padanya, bukan hanya lantaran disingkat dari Dengi Walu, nama aslinya, namun juga seindah fenotipe atau penampilannya yang beraura layaknya seorang dewi, cantik, manis, anggun dan mempesona.

Di pagi yang cerah itu, seolah-olah ada kekuatan yang menggerakkan hatinya. Ia mengajak beberapa orang dara yang sebaya dengannya untuk menikmati udara segar dan cahaya pagi di pantai Rate Nggaro, yang tidak jauh dari parona (kampung adat) mereka yang bernama Pakare. Saudari-saudarinya tidak ada yang keberatan, malah sangat antusias, sebagai kesempatan emas untuk menghibur atau setidaknya mengurangi beban saudari mereka, yang sudah sekitar setahun setelah lulus kuliah namun lebih memilih mengurung diri di parona.

Orangtua dan saudara-saudarinya tidak tahu persis, apa yang menyebabkan Dewi yang terkenal periang dan supel serta sopan itu berubah drastis menjadi sangat tenang dan cenderung diam. Senda-gurau atau canda-tawa, yang biasa dilakukannya bersama saudara-saudarinya setiap hari, tidak pernah lagi terjadi. Mereka seringkali menggodanya untuk mengorek informasi mengenai situasi yang dialaminya, namun ia sebatas tersenyum-senyum saja, tanpa sedikitpun membocorkan keluh-kesah rahasia dalam hatinya. Mereka hanya menduga-duga saja kalau sikap terbarunya itu merupakan pertanda kedewasaannya atau sedang galau karena disakiti kekasihnya.

Kekasih? Inilah sesungguhnya yang sedang menjadi pergumulan seperti gaduh perang berkobar yang disembunyikan di dalam hati Dewi. Di parona dan kampus, tanpa niat dan maksud menyombongkan dirinya, semua orang memuja kecantikan dan kesopanannya. Sikapnya yang periang dan sopan serta tidak pilih buluh, menyebabkan banyak laki-laki ganteng seperti arjuna yang menjadi teman dekatnya dan hampir semua laki-laki itu sempat melamarnya untuk dijadikan kekasih. Tapi anehnya, belum ada seorang laki-lakipun yang dianggapnya dapat menggetarkan jiwanya, sehingga memicunya untuk berempati dan memiliki seorang kekasih.

Sampai di usianya yang sudah cukup dewasa itu, Dewi belum pernah memiliki seorang kekasih. Sementara kakak perempuan dan adik laki-lakinya, yang hanya berpendidikan sebatas Sekolah Menengah Pertama, meskipun kehidupan mereka sangat sederhana di desa, tapi tampaknya sudah hidup bahagia bersama anak-anak mereka yang lagi lucu-lucunya.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Setibanya di pantai Rate Nggaro, Dewi bersama saudari-saudarinya berhamburan lari kejar-kejaran sambil bersorak-sorai. Sayangnya keceriaan dewi hanya berlangsung sebentar saja. Ia segera mimisahkan dirinya dari saudari-saudarinya dan memilih duduk di atas sebuah batu megalit sedang yang sudah berumur dan berbentuk ceper di bawah pohon pandan pantai yang daunnya cukup rindang. 

Ia bukannya sedang menikmati panorama keindahan pantai berpasir putih bersih yang bagaikan bentangan permadani berkilauan dengan ombaknya yang berkejar-kejaran sampai menusuk di bibir pasir itu. Ia justeru duduk dengan wajah tidak bergairah menghadap ke muara Rate Nggaro yang terletak di sisi selatan pantai itu dan bersama desir alunan manja hembusan angin darat, ia terbuai dalam lamunannya sendiri tentang nasib dirinya yang belum juga menemukan seseorang yang bisa menambat nuraninya dan menjadi kekasih jiwa-raganya. Ia sungguh-sungguh khawatir jangan sampai terulang kisah lara nenek-moyangnya.

Tiba-tiba buluh kuduknya merinding. Seluruh tubuhnya seperti balon mengembung yang sedang diisi angin. Seolah-olah ada roh yang menggelayut di sekitarnya. Seakan-akan juga ia sedang tergiring ke dalam dunia lain, yang belum pernah dibayangkannya. Ia sungguh-sungguh seperti dalam pusaran badai. Rasa cemas dan ketakutan merajalela menggerogotinya. Tapi beruntung ia merasakan pikirannya masih normal dan secepat kilat segera menguasai dirinya kembali. Dengan posisi tetap menghadap ke muara itu, ia duduk bersila dan berdoa sambil memohon ampun dan meminta petunjuk kepada roh leluhurnya.

Dewi kembali merasa tenang, pikiran dan hatinya mulai nyaman. Raut mukanya memang tampak seperti kecil dan masih agak pucat, namun senyum manisnya mulai mengembang dari bibir sensualnya, ketika ia menyadari bahwa saudari-saudarinya sudah mengapitnya. Saudara-saudarinya ini samasekali tidak ada yang mengetahui bahwa Dewi barusan hampir kesurupan. Mereka lari menghampirinya, sesungguhnya dengan tujuan untuk menggodanya bahwa ada beberapa laki-laki ganteng dalam rombongan yang baru tiba di bibir pantai itu. Raut wajah Dewi kembali pulih seperti semula dan mereka pun mulai saling usik-mengusik, goda-menggoda, membicarakan laki-laki ganteng yang mereka tidak kenal itu.

Rate Nggaro memang adalah salah satu obyek wisata pantai unggulan di daerah itu. Di samping karena keindahannya yang masih alami, juga mengandung histori perjalanan peradaban masyarakat di daerah itu. Pada daratan datar sisi timur pantai itu, di bibir atas pasir terdapat pekuburan leluhur yang terbuat dari batu megalit besar berbentuk dolmen (seperti meja batu) dari masa purba dan sekitar seratus meter dari pekuburan itu terdapat beberapa parona.

Di dalam parona itu berdiri kokoh rumah-rumah adat berjoglo dengan konstruksi bahan kayu lokal dan beratapkan alang. Pada sisi selatan ujung pantai itu terdapat muara yang menyisahkan kisah legenda hubungan antara manusia dengan makhluk di dunia lainnya. Keindahan dan keunikan itulah yang menyebabkan pantai itu dan kawasan sekitarnya menjadi destinasi yang diminati oleh banyak orang dari luar daerah itu, termasuk wisatawan manca negara.

Sebagaimana halnya dengan Dewi dan saudari-saudarinya, rombongan tamu yang barusan tiba itu mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Para laki-laki muda yang mereka bicarakan tadi pun mulai beraksi dengan tingkah dan gayanya masing-masing. Satu per satu laki-laki itu, mondar-mandir menyisir dan menikmati setiap titik koordinat keindahan dan keunikan pantai itu, baik dengan mata telanjang maupun kamera. 

Namanya juga laki-laki, mereka seperti tidak mau kehilangan momentum, satu per satu berusaha mengarahkan pandangan atau sekadar melirik sambil mengumbar senyum kepada Dewi dan saudari-saudarinya. Jika saudari-saudarinya membalasnya dengan senyum-senyum malu ketika berhadapan muka dengan para laki-laki berpenampilan necisatau rapih dari kota itu, maka Dewi seperti batu es yang belum mencair, dingin tanpa riak apalagi senyum.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Tapi ketika salah seorang dari para laki-laki itu, yang sejak berada di pantai itu selalu beraksi sendirian dengan gayanya yang tenang seperti samudera tak berombak, tanpa disangkanya duduk pada batu megalit sedang berbentuk ceper, yang posisinya sejajar hampir bersentuhan dengan ujung baju lengan kanannya, Dewi sontak kaget karena aroma parfum lelaki yang dihirupnya terasa halus dan sangat menyejukkan hatinya. Ia segera menoleh dan wajah mereka berhadap-hadapan. 

Detak jantungnya terasa kencang, hatinya bergejolak dan dadanya bergemuruh. Ia terpana kaku seperti terhipnotis dan mulai salah tingkah. Laki-laki itu menyadarinya dan bergegas menyalami Dewi. Mereka saling menyalami, memperkenalkan diri masing-masing dan mulai berceritera seperlunya. Tampak wajah Dewi mulai cerah dan bercahaya lagi.

Mentari terus berlari mendekati puncak cakrawala di atas ubun-ubun. Udara mulai terasa panas. Cahaya sudah menyengat kulit. Pasir putih telah menyilaukan mata. Ombak di laut mulai melompat galah. Desir angin tidak lagi berdesir manja. Dahaga dan lelah, mengajak untuk kembali. Meski hatinya masih enggan untuk beranjak, namun demi martabatnya sebagai seorang dara yang bisa saja disalahtafsirkan sebagai dara murahan, maka Dewi segera pamit dari sisi laki-laki bertubuh tinggi atletis dan tampan itu.

Dewi dan saudari-saudarinya melangkah membelakangi pantai Rate Nggaro, setelah mengucapkan doa dan terimakasih dalam hatinya kepada pantai dan muara itu. Sebab peristiwa yang dialami itu, dianggapnya bukan hanya kebetulan tapi Kanuru (berkat) yang indah. Tampak langkah saudari-saudarinya melemah gontai karena lelah, namun Dewi kelihatan bertenaga dan lincah. Sesekali ia menoleh ke belakang dan selalu saja laki-laki itu mengawasi perjalanannya. Menyadari bahwa saudari-saudarinya memperhatikan sikapnya, maka ia berusaha menyembunyikan senyum dari wajah cantiknya.

Sepulangnya dari pantai Rate Nggaro hari itu, semacam ada kebangkitan dalam diri Dewi, yang kemudian mengalir dalam suasana kehidupan keluarganya. Dewi yang asli hadir kembali, periang dengan gairah suka cita dan tambah dewasa. Orangtua dan keluarganya tentu senang dan sebetulnya ingin mencari tahu apa sebabnya, tapi segan dan tidak tega untuk menanyakannya kepada Dewi. Mereka memilih bersikap biasa-biasa saja, sampai akhirnya dapat menguping canda Dewi dan saudari-saudarinya tentang laki-laki tampan yang mendekati dara mereka saat di pantai. Dara-dara itu menggoda Dewi dengan menyebutnya mendapat Kanuru di pantai Rate Nggaro. Laki-laki itu dianggap sebagai utusan dari  "Tamo" Dewi, leluhur mereka.

Tamo di daerah itu adalah sebutan yang secara harfiah berarti sama nama. Memberi nama pada anak yang berasal dari nama pendahulunya dalam satu hierarki keturunan, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Pemberian nama di daerah itu, juga mengenal nama kiasan yang dianggap nama halus yang disebut "byapi" untuk menghindari menyebut langsung nama asli yang dianggap nama keras yang disebut "ngara tonggoro". Pemberian nama dilakukan melalui suatu upacara adat doa syukur yang ditandai dengan menyembelih dan membakar ayam yang disebut "tunu manu".   

Dengi Walu adalah nama kiasan dari Billa Paha sebagai nama aslinya. Billa Paha adalah nenek-moyang dari Dengi Walu. Billa Paha ini mempunyai kisah perjalanan asmara yang sangat memilukan dan diyakini di daerah itu sebagai kisah nyata atau legenda.

Konon, pada jaman dahulu kala (Yi Nowo Notu), di Parona Pakare, seorang gadis yang sudah dewasa bernama Billa Paha, belum juga mendapatkan jodoh seorang suami. Banyak laki-laki yang datang melamarnya, namun tidak ada seorangpun yang dapat menggaet dan meluluhkan hatinya. Sehingga membuat orangtuanya cemas dan khawatir anak gadis mereka menjadi perawan tua. 

Oleh karena itu, orangtuanya mengadakan pesta adat yang disebut Woleka, dengan salah satu penari idola adalah Billa Paha sendiri. Tujuan pesta ini tidak lain, yaitu untuk menghadirkan banyak orang, termasuk para laki-laki dewasa, dengan harapan Billa Paha dapat menemukan seorang laki-laki yang disukainya untuk menjadi calon suaminya.

 Pesta telah berlangsung berhari-hari namun belum ada juga tanda-tanda Billa Paha telah tertarik pada salah seorang laki-laki yang datang menonton. Setiap pagi, sesuai kebiasaannya, Billa Paha pergi ke sungai untuk mencuci, mandi dan ambil air. Suatu pagi, ketika ia sedang mencuci datanglah seorang laki-laki dewasa yang ganteng. 

Laki-laki itu berpenampilan sangat menarik dalam busana dan perlengkapan adat lengkap, mengikat kepalanya seperti mahkota dan di pinggangnya terselip parang dengan ulu (pegangan) yang terbuat dari gading. Laki-laki berwibawa itu menyapa dan kemudian menanyakan kepadanya seperti menyelidik tentang asal bunyi tambur dan gong yang didengarnya setiap malam. Laki-laki itu juga menanyakan apa tujuan hajatan itu. Billa Paha mengisahkannya secara polos apa adanya. 

Dari satu pagi ke pagi berikutnya, laki-laki itu selalu saja datang menjumpai Billa Paha, sampai akhirnya menyatakan cinta dan melamarnya. Billa Paha, yang sejak awal berjumpa dengan laki-laki itu telah terpikat dan jatuh cinta, menerimanya dengan senang hati. Maka sepakatlah mereka untuk segera menyudahi pesta Woleka di Parona Pakare.

Sesuai dengan waktu yang telah disepakati, yang merupakan hari terakhir dan puncak pesta Woleka, datanglah laki-laki itu namun ia tidak masuk di dalam parona, tapi hanya menunggu di pintu depan pagar batu yang disebut atur yang mengelilingi kompleks parona. Billa Paha yang sudah lelah menari di notor (pelataran tengah parona) untuk menunggu kedatangan laki-laki pujaannya itu, mulai beristirahat untuk minum air. Ia naik ke rumah menuju sebuah ruangan, tempat pandalu (tempayan) air. 

Ketika tunduk menghadapi mulut tempayan untuk menimba air itulah, Billa Paha serta merta terserap oleh kekuatan magis dari dalam tempayan itu dan langsung menghilang. Billa Paha kemudian berjumpa dengan laki-laki itu dan mengikutinya sampai di kampung dan rumahnya. Kampung yang layaknya istana ini ternyata berada di dalam air, yang dihuni oleh makhluk hidup berupa ganda. Di tempat inilah Billa Paha menyadari bahwa suaminya bukanlah manusia biasa, tapi seorang Pangeran Siluman Buaya. Billa Paha hanya pasrah pada nasibnya, samasekali tidak menyesal karena merasa itulah jalan hidupnya.

Sekitar dua tahun kemudian, rasa rindunya terhadap orangtua dan keluarga serta parona-nya tidak tertahankan lagi. Pagi-pagi setelah fajar menyingsing, atas seijin Woyo Palari (Buaya Palari), nama suaminya, Billa Paha berangkat sendirian mengunjungi orangtuanya. Ia mendapati kedua orangtuanya yang sedang sekarat, karena sejak peristiwa kehilangannya mereka terus bersedih dan meratap. 

Kedatangan Billa Paha yang tidak terduga itu, membuat mereka merasa sangat gembira sekaligus haru dan meledaklah isak-tangis di rumah itu. Sehingga semua keluarga di dalam paronaberkumpul dengan sendirinya pada sebuah rumah adat itu. Isak-tangis gembira, kangen, sedih dan haru bercampur aduk mewarnai perjumpaan mereka itu.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Setelah suasana kangen tercurahkan tanpa sisa, mulailah mereka berceritera dengan santai. Billa Paha yang penampilannya tidak secantik seperti semula dan tutur katanya tidak cukup jelas lagi, menceriterakan apa adanya tentang keadaan kehidupannya. Orangtua dan keluarganya dapat memaklumi dan menerimanya dengan ikhlas. Dalam perjumpaan itu, terungkap bahwa nama Billa Paha sendiri sudah berubah menjadi Billa Tyamaro. Keluarganya berupa buaya dan gurita, sehingga anak-anaknya pun berupa buaya dan gurita. Tempat tinggal mereka berada di dalam air di muara Rate Nggaro.

Karena keluarga Billa Tyamaro bukanlah manusia biasa, maka ia menyampaikan permohonan maaf suami dan keluarganya bahwa mereka tidak bisa melangsungkan proses adat-istiadat perkawinan yang berlaku sah di parona ini dengan membayar belis (mahar) berupa hewan baik kerbau maupun kuda secara langsung. Namun demikian, suaminya akan melunasi belis dalam cara dan bentuk yang lain. Orang tua Billa Tyamaro diminta untuk datang menerima mahar berupa sebilah pedang dan sebatang tombak sakti di muara Rate Nggaro melalui suatu prosesi upacara adat. Pedang dan tombak itu menjadi benda pusaka di Umma Kawico (Rumah Gurita), nama rumah adat itu, dan masih lestari sampai sekarang ini. Nama rumah adat itu juga adalah nama yang diberikan oleh suami Billa Tyamaro.

Suami Billa Tyamaro juga memberikan mandat kepada orangtua Billa Tyamaro dan turunan-turunannya untuk memegang kuasa atas muara Rate Nggaro. Bila ada orang yang menyeberangkan barang-barang atau benda-benda berharga dan berat, seperti batu kubur megalit melalui muara itu, harus meminta ijin dan memberi upeti berupa kuda atau kerbau. Jika mereka mengabaikannya maka barang atau benda mereka akan lenyap ditelan badai ombak di muara itu. Mandat ini memang terbukti ampuh sampai saat ini, sehingga turunan orangtua Billa Tyamaro selalu memperoleh rejeki sebagai pawang di muara itu.

Di samping itu, suami Billa Tyamaro juga berpesan kepada orangtua Billa Tyamaro, yaitu jika ingin mendapatkan lauk-pauk dari mereka maka datanglah ke pantai Rate Nggaro dan mereka akan segera mengirimkannya. Sampai saat ini pesan itu masih laku, jika ada turunan orangtua Billa Tyamaro yang meminta sesuai amanat adat, maka ikan sesuai kebutuhan akan segera terkapar di pantai tanpa harus dipancing.

Setelah menyampaikan pesan-pesan itu, Billa Tyamaro pamit pulang. Namun orangtua dan keluarganya memintanya untuk datang lagi membawa anak-anaknya. Billa Tyamaro sebetulnya malu untuk mengajak anak-anaknya, namun karena orangtua dan keluarganya ikhlas dengan keadaannya, maka mau tidak mau mengiakan saja. Namun Billa Tyamaro berpesan supaya tidak boleh ada orang yang menertawakannya dan jika pesannya tidak diindahkan maka ia tidak akan datang lagi. 

Sesuai waktu yang ditentukan, datanglah Billa Tyamaro bersama anak-anaknya. Orang-orang di parona itu tidak ada yang tertawa meskipun merasa gembira bersahabat dengan buaya dan gurita mungil di dalam rumah itu. Sial tak dinyana, orang-orang di parona tetangga, yang tidak tahu menahu tentang kedatangan Billa Tyamaro bersama anak-anaknya, tertawa terbahak-bahak karena ada sesuatu yang lucu dalam pembicaraan mereka. Mendengar suara ketawa itu, membuat Billa Tyamaro tersinggung. 

Orangtua dan saudara-saudarinya berusaha membujuknya, namun ia tetap pada keputusannya untuk segera pulang. Orangtua dan saudara-saudarinya, menyatakan rasa penyesalan yang mendalam dan permohonan maaf serta berusaha menghalang-halanginya, namun Billa Tyamaro dan anak-anaknya, tidak dapat terjangkau oleh tangan dan pandangan mata manusia biasa. Mereka menghilang seketika seperti hembusan angin darat siang itu.  Sejak saat itu, ia tidak pernah datang lagi.

Senja merona merah melukis bibir cakrawala di ufuk barat. Suara burung-burung gagak penjaga waktu menjelang malam yang bertengger memadati sebatang pohon Kapaka (cempaka) besar dan rimbun yang tidak jauh dari parona itu, sayup-sayup terdengar sendu. Suasana parona mulai lengang dan sepi. Di bale-bale bambu Umma Kawica,Dewi duduk menyandar berselonjor kaki. Ia menyepi seorang diri. Dibuai manja hembusan angin malam, ia larut dalam lamunannya.

Hati Dewi sedang gelisah, gundah gulana, membayangkan perjumpaannya dengan laki-laki tampan di pantai Rate Nggaro. Rasa rindunya betul-betul menggelora, sebanding dengan rasa cemasnya. Ibunya turun menemaninya. Jari-jemari ibunya yang mulai keriput namun masih terasa halus mengusap-usap membelai rambutnya yang sebatas bahu. Saat itu Dewi sungguh merasakan betapa indahnya sentuhan kasih sayang seorang ibu.

Terbawa arus emosi jiwa yang membelitnya, perlahan-lahan Dewi mencurahkan kegundahan hatinya kepada ibunya tentang laki-laki ganteng pujaannya itu. Sudah hampir tiga bulan berlalu, namun belum muncul juga batang hidungnya. Posisi parona itu telah diketahuinya dan memberikan harapan untuk segera datang mengunjunginya. 

Dewi sangat khawatir, jangan sampai laki-laki itu seorang penipu, play boy, yang suka mempermainkan hati perempuan atau bisa saja laki-laki itu bukan manusia biasa, hantu atau makhluk alam gaib! Dewi bahkan membayangkan sesuatu yang lebih fatal lagi, jangan sampai kisah pilu Tamo-nya terulang pada dirinya. Ibunya mulai merinding mendengar ceritera daranya dan mengajaknya naik ke bale-bale atas.

Mendengar keluh kesah Dewi dari isterinya, Ayah Dewi segera mengambil seekor ayam jantan berwarna putih dan bersama sirih, pinang dan tembakau, kemudian mempersembahkannya kepada para leluhurnya. Ia menyembelih ayam itu, setelah bersujud menyampaikan ujud-ujud doa syukur dan harapan-harapan berkaitan dengan kegundahan hati keluarganya supaya dara mereka terhindar dari bala bencana akibat dosa-dosa baik pada masa lalu maupun akan datang serta segera memperoleh jodoh seorang suami yang baik. Usai doa dan makan malam, mereka menuju ke pembaringan. 

Malam itu Dewi memilih untuk tidur bersama ibunya. Ia terlelap dalam tidurnya karena belaian kasih sayang ibunya dan juga terbuai mimpi-mimpi yang serba indah. Rasa khawatirnya tentang hidup dan cintanya berangsur-angsur pergi. Sampai dengan hari yang keempat setelah doa syukur itu, ia sudah membayangkan kepastian tentang masa depan hidup dan cintanya yang indah-indah, setelah laki-laki tampan dari kota itu betul-betul memenuhi janjinya untuk datang mengunjunginya.  

Tiga bulan berlalu dengan cepat. Suatu hari terbersit kabar indah bahwa keluarga Rangga Mone, nama laki-laki tampan itu dan keluarga Dengi Walu telah melangsungkan  proses adat-istiadat perkawinan anak-anak mereka. Dan seminggu kemudian beredarlah undangan eksklusif tentang Pernikahan Kudus antara seorang dokter bernama Yosep Rangga Mone dan seorang guru sekolah dasar bernama Maria Dengi Walu di Gereja Santo Yohanes Pemandi, di daerah itu. Waktu itu selepas beberapa minggu Hari Raya Paskah. Suatu Kanuru kebangkitan yang sungguh-sungguh indah dan nyata.***

Tana Kombuka, Sumba Barat Daya, 13 April 2017

 

Oleh Rofinus D Kaleka

Cerpen ini, kalau memang layak cerpen, belum pernah dipublikasikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun