Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pasola dan Religiusitas Masyarakat Sumba Barat Daya

24 Januari 2018   18:47 Diperbarui: 25 Januari 2018   15:17 2897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasola, tradisi perang-perangan dengan menunggang kuda sambil menyerang lawan dengan lembing di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. travel.kompas.com | BARRY KUSUMA)

Waktu bergulir tidak terasa, kini kembali lagi masyarakat adat di empat wilayah suku yaitu Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, dan Wanukaka, Lamboya dan Gaura, Kabupaten Sumba Barat, (sedang) mempersiapkan diri untuk menyambut pelaksanaan event Pasola. Pasola atau Paholong, adalah atraksi tradisional perang berkuda dengan bersenjatakan lembing, ini merupakan hajatan tahunan secara reguler yang dilaksanakan oleh masyarakat (adat) di empat wilayah suku tersebut.

Pasola tersebut merupakan salah satu obyek wisata budaya terfavorit di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan salah satu atraksi budaya tradisional terpopuler Indonesia (2016). Bahkan Pasola juga menjadi destinasi adat-budaya yang sangat diminati oleh dunia internasional.

Pasola tersebut bukanlah suatu aktivitas permainan rekreasi massal belaka yang tanpa makna sama sekali. Pasola sesungguhnya adalah bagian tidak terpisahkan dari suatu Tradisi Nale atau Nyale. Tradisi yang berlangsung setiap tahun selama tiga bulan penuh, dari pertengahan Desember sampai pertengahan Maret ini, memiliki prosesi yang terstruktur, semacam pakem adat, yang meliputi, yaitu Kabukut (semedi), Kawoking (berpantun adat), Hangapung (sebar sirih-pinang), Pico Nale (panen nale), Pasola/Paholong,dan Tunu Manu Nale (bakar ayam nale).

Dan yang lebih mendasar lagi adalah tradisi Nale tersebut merupakan salah satu prosesi massal sebagai perwujudan sembahyang (pemujaan dan persembahan) masyarakat tradisional aliran kepercayaan Marapu, suatu religi asli masyarakat Sumba, kepada Tuhan Maha Pencipta, yang mereka sebut sebagai Mori Mawolo Marawi.

sumber foto: tribunnews
sumber foto: tribunnews
Dalam rangka menyambut event Pasola Sumba tahun ini, yang akan dimulai di wilayah Kodi pada tanggal 7 sampai 10 Maret 2018 (jadwal ada di bawah), penulis ingin menyampaikan kepada publik, terutama yang berminat dengan wisata budaya dan religius, tentang Pasola dalam ruang religiusitas masyarakat adat pada wilayah suku-suku di atas.

Syukuran atas hasil panen dan ternak peliharaan

Pasola memang hanya bagian dari prosesi ritus Nale, namun karena merupakan pakem puncaknya, maka mau tidak mau menyedot perhatian dan energi masyarakat yang berada di empat wilayah suku di atas. Pasola dilaksanakan bersamaan dengan puncak masa panen musim tanam pertama, setelah panen padi, khususnya padi ladang. Masyarakat berbondong-bondong mudik ke kampung adatnya masing-masing. Mereka membawa hasil panen terbaik dan terbaru, berupa sirih, pinang, tembakau, kelapa, dan beras. Mereka juga membawa ternak kecil hasil peliharaan, seperti ayam dan babi.

Hasil panen dan ternak peliharaan tersebut, dijadikan sarana doa atau media komunikasi mistis sebagai persembahan kepada para leluhur mereka yang telah menjadi Marapu dan Marapu yang paling tinggi tingkatannya yaitu Mori Mawolo Marawi. Para orang tua, muda-mudi dan anak-anak secara berramai-ramai menyebar sirih, pinang dan tembakau di atas kubur para leluhurnya, hampir sama dengan menyebar rampai. 

Di dalam rumah adat, para orang tua mempersembahkan, mulai dari sirih, pinang dan tembakau, sampai dengan menyembelih ternak peliharaan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Marapu atas berkat-Nya terhadap hasil panen dan ternak peliharaan pada tahun yang telah dilalui dan memohon berkat yang sama atau lebih pada tahun berikutnya. 

Sementara itu para muda-mudi juga dapat menyampaikan persembahannya dalam rupa yang sama untuk memohon berkat dan restu dari Marapu, baik untuk segera mendapatkan jodoh yang baik maupun sukses dalam sekolah dan kerja. Ketika menyampaikan persembahan dan permohonan tersebut, dipandu oleh imam adat yang disebut Rato Marapu melalui doa-doa dalam bentuk pitutur atau syair adat.

Ucapan syukur di dalam rumah adat tersebut bersifat pribadi masing-masing keluarga dalam satu hierarki turunan. Oleh karenanya Pasola diselenggarakan sebagai ungkapan syukuran (massal) masyarakat atas berkat hasil panen dan ternak peliharaan dalam satu wilayah komunitas suku, yang terdiri dari berbagai rumpun kampung adat.

Simbol perdamaian adat

Masyarakat Sumba, khususnya Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, termasuk pada keempat suku di atas, sejak zaman nenek-moyang sampai sekarang, dikenal gemar berperang, bukan saja antarsuku namun bisa juga antarkampung adat atau antarkelompok. Perang yang terjadi bukan karena persoalan sepeleh tapi umumnya karena dua alasan mendasar, yaitu sengketa tanah dan pelecehan kaum perempuan atau memperebutkan seorang gadis untuk dijadikan isteri. Namanya saja perang, tentu menyebabkan korban baik harta maupun jiwa.

Kendati gemar berperang, masyarakat Sumba juga mempunyai solusi adat-budaya untuk dapat berdamai. Dengan perantaraan para tetua adat dengan meminta petunjuk dan restu dari Marapu, tidak ada jalan buntu menuju upaya damai. Dan perdamaian akan diwujudkan melalui suatu upacara adat, dengan korban darah hewan, seperti babi dan kerbau.

Upacara perdamaian adat dalam perang skala besar seperti antarsuku, antarkampung adat dan antarkelompok pada masa dahulu, dilaksanakan selepas masa panen. Karena pada saat-saat seperti itulah dapat tersedia bahan makanan yang cukup dan ternak peliharaan yang layak untuk korban perdamaian adat.

Pelaksanaan Pasola pada puncak masa panen dan melibatkan masyarakat dalam satu wilayah komunitas suku, kiranya bukan hanya kebetulan belaka jika bersamaan dengan masa waktu yang tepat untuk menyelenggarakan perdamaian adat. Sebab dilihat dari kuda-kuda yang digunakan dihiasi secara indah, lembing yang dipakai tumpul dan dipoles dengan warna (kambora), aturannya yang wajib menjunjung tinggi sportivitas, orang-orang yang menunggang kuda dan penonton berbusana adat lengkap rapih dan diawasi langsung oleh Imam Marapu Nale yang disebut Rato Nale, mempertontonkan secara jelas bahwa Pasola merupakan simbol perdamaian adat massal yang perlu diungkapkan dengan ekpresi penuh kegembiraan dan rasa syukur kepada Marapu. Di sini Pasola sungguh-sungguh mengekspresikan secara simulatif dan impresif bahwa "damai itu indah".

 

Oleh Rofinus D Kaleka

Pemerhati Sosial, Tinggal di Kabupaten Sumba Barat Daya

 

Jadwal penyelenggaraan Pasola tahun 2018 di Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai berikut :

  • Pasola Homba Kalayo, Waikaninyo, Kecamatan Kodi Bangedo, tanggal 7 Februari 2018
  • Pasola Bondo Kawango, Kecamatan Kodi, tanggal 9 Februari 2018
  • Pasola Rara Winyo, Kecamatan Kodi, tanggal 10 Februari 2018
  • Pasola Maliti Bondo Ate, Kecamatan Kodi Bangedo, tanggal 8 Maret 2018
  • Pasola Wai Ha, Kecamatan Kodi Balaghar, tanggal 9 Maret 2018
  • Pasola Wainyapu, Kecamatan Kodi Balaghar, tanggal 10 Maret 2018

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun