Waktu bergulir tidak terasa, kini kembali lagi masyarakat adat di empat wilayah suku yaitu Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, dan Wanukaka, Lamboya dan Gaura, Kabupaten Sumba Barat, (sedang) mempersiapkan diri untuk menyambut pelaksanaan event Pasola. Pasola atau Paholong, adalah atraksi tradisional perang berkuda dengan bersenjatakan lembing, ini merupakan hajatan tahunan secara reguler yang dilaksanakan oleh masyarakat (adat) di empat wilayah suku tersebut.
Pasola tersebut merupakan salah satu obyek wisata budaya terfavorit di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan salah satu atraksi budaya tradisional terpopuler Indonesia (2016). Bahkan Pasola juga menjadi destinasi adat-budaya yang sangat diminati oleh dunia internasional.
Pasola tersebut bukanlah suatu aktivitas permainan rekreasi massal belaka yang tanpa makna sama sekali. Pasola sesungguhnya adalah bagian tidak terpisahkan dari suatu Tradisi Nale atau Nyale. Tradisi yang berlangsung setiap tahun selama tiga bulan penuh, dari pertengahan Desember sampai pertengahan Maret ini, memiliki prosesi yang terstruktur, semacam pakem adat, yang meliputi, yaitu Kabukut (semedi), Kawoking (berpantun adat), Hangapung (sebar sirih-pinang), Pico Nale (panen nale), Pasola/Paholong,dan Tunu Manu Nale (bakar ayam nale).
Dan yang lebih mendasar lagi adalah tradisi Nale tersebut merupakan salah satu prosesi massal sebagai perwujudan sembahyang (pemujaan dan persembahan) masyarakat tradisional aliran kepercayaan Marapu, suatu religi asli masyarakat Sumba, kepada Tuhan Maha Pencipta, yang mereka sebut sebagai Mori Mawolo Marawi.
Syukuran atas hasil panen dan ternak peliharaan
Pasola memang hanya bagian dari prosesi ritus Nale, namun karena merupakan pakem puncaknya, maka mau tidak mau menyedot perhatian dan energi masyarakat yang berada di empat wilayah suku di atas. Pasola dilaksanakan bersamaan dengan puncak masa panen musim tanam pertama, setelah panen padi, khususnya padi ladang. Masyarakat berbondong-bondong mudik ke kampung adatnya masing-masing. Mereka membawa hasil panen terbaik dan terbaru, berupa sirih, pinang, tembakau, kelapa, dan beras. Mereka juga membawa ternak kecil hasil peliharaan, seperti ayam dan babi.
Hasil panen dan ternak peliharaan tersebut, dijadikan sarana doa atau media komunikasi mistis sebagai persembahan kepada para leluhur mereka yang telah menjadi Marapu dan Marapu yang paling tinggi tingkatannya yaitu Mori Mawolo Marawi. Para orang tua, muda-mudi dan anak-anak secara berramai-ramai menyebar sirih, pinang dan tembakau di atas kubur para leluhurnya, hampir sama dengan menyebar rampai.Â
Di dalam rumah adat, para orang tua mempersembahkan, mulai dari sirih, pinang dan tembakau, sampai dengan menyembelih ternak peliharaan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Marapu atas berkat-Nya terhadap hasil panen dan ternak peliharaan pada tahun yang telah dilalui dan memohon berkat yang sama atau lebih pada tahun berikutnya.Â
Sementara itu para muda-mudi juga dapat menyampaikan persembahannya dalam rupa yang sama untuk memohon berkat dan restu dari Marapu, baik untuk segera mendapatkan jodoh yang baik maupun sukses dalam sekolah dan kerja. Ketika menyampaikan persembahan dan permohonan tersebut, dipandu oleh imam adat yang disebut Rato Marapu melalui doa-doa dalam bentuk pitutur atau syair adat.
Ucapan syukur di dalam rumah adat tersebut bersifat pribadi masing-masing keluarga dalam satu hierarki turunan. Oleh karenanya Pasola diselenggarakan sebagai ungkapan syukuran (massal) masyarakat atas berkat hasil panen dan ternak peliharaan dalam satu wilayah komunitas suku, yang terdiri dari berbagai rumpun kampung adat.
Simbol perdamaian adat