Belalang kumbara (Locusta migratoria), seperti yang eksplosif menyerang di Kabupaten Sumba Timur pada Juni 2017,adalah hama penting yang dikenal paling ganas pada sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan. Hama belalang tersebut sangat menyukai dan sekaligus menjadi perusak terhebat dan tercepat yang menyerang komoditi tanaman padi dan jagung. Juga menyukai dan memakan daun jenis tumbuhan seperti bambu, glagah (robbo), dan kelapa.
Artinya, belalang adalah salah satu hama yang menjadi musuh masyarakat tani. Karena eksplosi serangan hama belalang yang tidak mampu atau terlambat dikendalikan atau diatasi, apalagi dibiarkan begitu saja, sesuai pengalaman empirik yang terjadi selama ini, menyebabkan bencana yang membawa penderitaan bagi masyarakat yaitu kelaparan dan rawan gizi karena terjadi krisis sumber bahan makanan pokok.
Upaya pengendalian hama belalang di Sumba Timur beberapa bulan lalu, adalah tindakan kuratif yang tepat dan memang harus dilakukan oleh pemerintah dan stakeholders lainnya, dalam rangka untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana kelaparan dan rawan gizi.
Tindakan kuratif tersebut berhasil secepat sehingga masyarakat merasa nyaman dalam menghadapi musim tanam pertama tahun ini. Di samping itu, upaya pengendalian secara preventif atau antisipatif perlu juga dilakukan sedini mungkin dengan melakukan refleksi yang cermat dan serius terkait permasalahan yang menjadi faktor penyebab sering munculnya eksplosi hama belalang di Pulau Sumba.
Kasus eksplosi serangan hama belalang kumbara di Indonesia sudah terjadi sejak 140 tahun yang lalu, ketika menyerang tanaman padi di Pulau Halmahera pada 1877. Beberapa daerah provinsi yang pernah dilanda hama belalang yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Khususnya di Provinsi NTT, tercatat bahwa awal mula eksplosi serangan hama belalang kumbara terjadi di Pulau Sumba sejak 1973. Serangan belalang ini berlangsung sampai dengan 1975. Dua puluh empat tahun kemudian, belalang yang sama muncul lagi di Pulau Sumba dan berlangsung dari 1999 sampai 2002. Empat belas tahun kemudian yaitu 2016 terjadi lagi serangan hama belalang yang sama juga, kemudian menghilang sebentar saja, dan tahun 2017 kembali lagi secara eksplosif.
Eksplosi belalang yang sering melanda Pulau Sumba ini, sebagaimana menjadi perbincangan banyak orang, termasuk di dunia maya seperti facebook, dianggap sebagai "bala" dari Tuhan dan juga para leluhur. Walaupun anggapan ini tidak merupakan kebenaran yang mutlak, namun ada benarnya juga.
Menurut penulis sendiri, eksplosi hama belalang kumbara di Sumba, diakui atau tidak, memang bisa dikatakan sebagai "bala" tapi "bala masalah lingkungan hidup". Perlu diketahui bahwa belalang jenis kumbara ini tidak datang dari mana-mana, senyatanya memang ada saja di Pulau Sumba. Besar kecilnya populasinya sangat ditentukan oleh faktor keadaan alam dan lingkungan hidup.
Pada keadaan ekosistem lingkungan hidup yang normal, maka perkembangbiakan dan populasi belalang tersebut normal juga. Karena burung-burung pemakan belalang akan menjadi predator yang menekan perkembangbiakan dan jumlah populasi belalang. Sehingga populasi belalang tidak mengalami eksplosi dan menjadi hama pada tanaman pangan.
Sebaliknya, pada keadaan ekosistem lingkungan hidup yang tidak normal atau rusak, maka perkembangbiakan belalang tersebut akan leluasa  dan jumlah populasinya terus meningkat. Karena burung-burung sebagai predatornya sudah sangat berkurang atau langka dan bahkan punah. Sehingga populasi belalang mengalami eksplosi dan menjadi hama pada tanaman pangan.
Kita tahu bersama bahwa ekosistem lingkungan hidup alam Sumba sudah lama mengalami masalah. Burung-burung endemik sumba seperti Julang Sumba, kaka tua, dan burung dara (rawa) sudah sangat langka dan bahkan hampir punah.
Demikian juga burung-burung lainnya yang menjadi predator belalang seperti gagak, perkutut, kutilang, dan nuri, juga populasinya tinggal sedikit. Artinya, sering terjadinya eksplosi serangan hama belalang di Sumba disebabkan oleh masalah ekosistem yang tidak normal lagi. Ini berarti pula merupakan peringatan keras terhadap masalah lingkungan hidup di Pulau Sumba.
Perilaku hidup buruk
Permasalahan alam, khususnya lingkungan hidup dan ekosistemnya, yang terjadi di Sumba sudah berlangsung lama dan dimulai sejak masa penjajahan. Ketika itu bangsa Portugis, Inggris dan belanda berlomba-lomba datang ke Sumba untuk membeli dan bahkan mengambil paksa hasil hutan Sumba berupa kayu cendana, kayu gaharu dan kayu kuning. Pada saat itulah perusakan dan perambahan hutan diawali oleh bangsa-bangsa penjajah dan tentu dibantu oleh orang-orang Sumba sendiri. Sehingga populasi ketiga jenis kayu tersebut kini sudah hampir punah.
Perilaku hidup buruk tersebut diteruskan oleh generasi orang Sumba berikutnya sampai sekarang ini. Pembabatan/pembakaran hutan, perambahan/pencurian kayu dan rotan di hutan, dan perdagangan burung-burung endemik yang dilindungi, selalu terjadi secara sistemik, baik untuk memperkaya diri maupun sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Demikian pula kebiasaan membakar padang untuk kepentingan penggembalaan ternak dan membuka kebun/ladang hampir tidak pernah berhenti.
Dampak dari perilaku hidup buruk tersebut, menyebabkan makin memburuknya keadaan alam dan timbulnya permasalahan lingkungan hidup serta buruknya kondisi ekosistem. Langkanya burung-burung yang menjadi predator belalang sehingga menyebabkan eksplosi serangan hama belalang seperti yang sedang terjadi di Sumba Timur sekarang ini, tidak lain merupakan konsekuensi logis dari buruknya kondisi ekosistem lingkungan hidup di Sumba.
Oleh karena itu permasalahan lingkungan hidup di Sumba harus segera dikendalikan sedini mungkin. Supaya dapat memulihkan kembali keadaan ekosistem secara bertahap. Keterlambatan dalam mengendalikannya, akan menyebabkan selalu terulangnya eksplosi serangan hama belalang dengan segala ikutan negatifnya bagi kehidupan masyarakat Sumba.
Disinilah diperlukan tekad bersama dari seluruh elemen yang ada di Sumba, baik unsur pemerintahan daerah dan penegak hukum, lembaga swadaya masyarakat, ormas-ormas kepemudaan, lembaga-lembaga keagamaan, para pengusaha dan masyarakat umum, untuk menjaga, melindungi, merawat termasuk melakukan penghijauan dan melestarikan kawasan hutan yang ada.
Disamping itu harus melakukan tindakan tegas kepada siapapun yang melakukan pembabatan hutan, pencurian kayu dan hasil hutan lainnya, serta pembakaran hutan dan padang. Inilah tindakan preventif nyata yang harus dilakukan mulai dari saat ini. ***
Oleh Rofinus D Kaleka
Penulis adalah pemerhati sosial politik, tinggal di Pulau Sumba tanpa wa, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTTÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H