Kemudian kami makan bersama. Kami, masing-masing dihidangkan satu ayam bulat yang di-lawar dan satu lagi ayam panggang. Nasi yang dihidangkan adalah beras pare gogo, beras wangi padi ladang yang terkenal di Sumba.
Kami makan dengan lahap sekali, maklum menunya sangat enak. Tentu saja daging ayam kampung tersebut tidak bisa kami habiskan, karena masing-masing mendapat jatah dua ekor. Sisanya dibungkuskan oleh mereka untuk kami bawa pulang. Tradisi kami memang begitulah, jadi tidak bisa ditolak lagi.
Setelah makan kenyang, salah seorang dari kami, namanya Emanuel Ndaha Takki, menyeletuk dalam nada humor, "Inilah unik dan asyiknya. Betapa sangat indahnya Natal di kampung adat. Kalau di kota, satu ekor ayam dimakan banyak orang. Ayam potong lagi, yang dipaksa cepat besar. Nasinya, dari beras oplosan lagi, yang diproduksi dengan pupuk kimiawi. Kita tidak boleh malas lagi datang ke kampung. Kalau kami datang lagi, masak yang lebih enak lagi ya! Jangan lupa ikan mentah juga ya!"
Komentar Emanuel tersebut, disambut gelak-tawa oleh semua yang ada. Suasana kembali dalam senda-gurau lagi.
Ketika mentari sudah condong ke ufuk barat, kami berpamitan. Dalam perjalanan, kami saling mengingatkan untuk selalu datang berkunjung ke kampung sesuai pesan Rato Nale tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H