Sedangkan empat pertempuran yang dipimpin oleh Wona Kaka, yaitu  Benteng Wikit Ndimu, Pahandango Kalulla, Benteng Kawango Wulla, dan Benteng Rambe Manu. Ketiga benteng yaitu Wikit Ndimu, Kawango Wulla, dan Rambe Manu, yang masih kokoh ini, berada di wilayah Kecamatan Kodi Utara. Bahkan Benteng Rambe Manu sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai situs bersejarah. Sedang pertempuran di Pahandango Kallu tidak ada benteng.
Setelah pertempuran di Benteng Rambe Manu, Wona Kaka merubah strategi perangnya dengan sistem Gerilya. Sistim perang gerilya ini memang sangat efektif, termasuk dapat membangun pengaruhnya ke wilayah suku Loura dan Wewewa, sehingga membuat gerakan perlawanan rakyat terhadap Belanda makin meluas.
Dampak Perang
Perang tersebut membawa dampak kerugian yang sangat besar terhadap kedua belah pihak, baik Belanda maupun rakyat Kodi. Pihak Belanda tidak nyaman melaksanakan proses kolonialismenya di wilayah Kodi dan Sumba umumnya, karena banyak anggota pasukannya yang tewas, markas dan logistiknya sering dihancurkan, serta meluasnya gejolak perlawanan rakyat se-Sumba. Sehingga biaya operasi militer Belanda makin meningkat. Sebetulnya Belanda tidak bisa bertahan lebih lama lagi di wilayah Kodi, jika tidak ada beberapa bangsawan dan tokoh orang Kodi, yang memberikan dukungan pasukan dan logistik kepada Belanda, karena dipengaruhi oleh ambisi kepentingan kekuasaan untuk tahta kerajaan.
Sedangkan pihak rakyat Kodi mengalami dampak yang lebih tragis lagi. Harus kehilangan seorang raja karena ditangkap melalui siasat licik perjanjian damai dan meninggal secara tidak terhormat setelah ditawan di Mamboro, pusat pertahanan Belanda, kini termasuk wilayah Kabupaten Sumba Tengah. Juga banyak anggota pasukan rakyat Kodi yang tewas, termasuk isteri Wona Kaka sendiri, sebagai salah seorang patriot perempuan, tewas tertembak peluru pasukan Belanda pada masa perang gerilya.Â
Disamping itu, rakyat Kodi umumnya juga mengalami penderitaan kelaparan yang hebat, akibat blokade ekonomi secara ketat yang diterapkan oleh pihak Belanda. Akibat kelaparan yang meluas inilah, yang meluluhkan hati Wona Kaka, sehingga dengan sangat terpaksa menerima tawaran perjanjian damai dari pihak Belanda, yang saat itu dipimpin oleh Letnan Barendzen.
Perjanjian Damai di Lamete
Perjanjian damai antara pihak pasukan rakyat Kodi yang diwakili oleh Wona Kaka dan pihak Belanda yang diwakili oleh Barendzen ketika itu dilaksanakan di Parona Lamete. Perjanjian ini disaksikan juga oleh Raja Kerajaan Kodi yang baru, Rato Ndera Wulla, keponakan dari Hangandi Rato Loghe Kanduyo, dan J. R. Thedens, telik sandi sekaligus utusan Belanda yang berhasil mempengaruhi Wona Kaka untuk melaksanakan perjanjian damai di Lamete. Perjanjian damai ini menghasilkan keputusan untuk melaksanakan upacara deklarasi perdamaian secara terbuka di Bondo Kodi, kini ibukota Kecamatan Kodi.
Deklarasi di Bondo Kodi pada 1913 itu, berubah rupa menjadi momentum penangkapan Wona Kaka dan anggota pasukan laskar rakyat Kodi yang berjumlah 68 orang. Mereka kemudian diangkut dengan kapal laut untuk ditawan di Kupang, ibukota Keresidenan Timor waktu itu, kini ibukota Provinsi NTT. Dari Kupang mereka dibawa ke Surabaya dan selanjutnya dipisah-pisahkan ke berbagai tempat tahanan di seluruh Indonesia dan ada juga yang bergabung dengan pasukan Belanda yang dikenal dengan sebutan Marcuse ketika melawan Aceh.
Wona Kaka sendiri dibuang ke Nusa Kambangan. Kemudian ia dipindahkan ke Sawah Lunto, Sumatera Barat. Di sana Wona Kaka dipekerjakan pada perusahaan tambang batu bara milik pemerintah Belanda. Di tempat inilah, sekitar tahun 1933, Wona Kaka dan para pekerja lainnya meninggal dunia, terkubur di dalam terowongan tambang tersebut yang longsor akibat terjadinya bencana banjir.
Apresiasi Kepahlawanan