Ketiga, kerja rodi dalam membangun jalan raya, jembatan dan rumah-rumah jabatan Belanja. Kerja rodi ini, dirasakan sangat berat oleh rakyat Kodi. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, peralatan masih tradisional dan waktu yang dibutuhkan sangat lama.
Keempat, penyiksaan terhadap bangsawan Kodi karena tidak bisa menyelam untuk mengangkat batu-batu besar dari dasar sungai sebagai bahan material utama pondasi jembatan Bondo Kodi yang sedang dibangun ketika itu. Peristiwa ini dianggap sebagai penghinaan status sosial bangsawan yang kedudukannya dihormati.
Kelima, perlakuan kasar dan penghinaan terhadap Hangandi Rato Loghe Kanduyo oleh Dijckman, karena Raja Kodi itu memerintahkan rakyatnya berhenti bekerja setelah mengetahui perlakuan militer Belanda terhadap para bangsawan Kodi.
Dan keenam, pemerkosaan terhadap dua orang perempuan Kodi, yang membawa bekal makanan dan sirih pinang untuk suami mereka yang sedang bekerja dalam pembuatan jembatan Bondo Kodi. Perbuatan biadab Belanda Inilah yang menyebabkan timbulnya reaksi spontan dan cepat dari keluarga dua ibu tadi. Sehari setelah peristiwa itu, suami dan keluarga korban, melakukan operasi balas dendam dengan membunuh dua orang prajurit Belanda, yang walaupun bukan pelaku pemerkosaan.
Musyawarah Perang
Perang melawan militer Belanda dipersiapkan melalui masyawarah adat di Parona (kampung adat) Tohikyo, tempat kedudukan Raja Kodi, Â Rato Loghe Kanduyo. Musyawarah adat ini, menghadirkan para bangsawan dan tokoh-tokoh pemberani dari berbagai kampung adat sewilayah Kodi.
Dalam musyawarah tersebut, dibentuklah laskar rakyat atau pasukan perang rakyat Kodi. Pemimpin pasukan perang adalah Raja Kodi sendiri. Wona Kaka diangkat menjadi panglima perang, karena bisa menggunakan senjata. Ketika itu Wona Kaka menerima sepucuk senjata api beserta beberapa butir peluru hasil rampasan dari kedua prajurit yang dibunuh tadi. Anggota pasukan perang rakyat Kodi ini bukan hanya laki-laki saja, tetapi juga ada sejumlah perempuan patriot, diantaranya yaitu Warata Wona, Raya Raya, Tengnge Mbolu dan Dairo Raya Mbeka.
Pasukan rakyat Kodi tersebut mempergunakan peralatan perang tradisional, yaitu tombak, tombak berkait, tamian runcing, pedang, parang, kayu kudung, ali-ali, sumpit dan perisai kulit kerbau. Mereka juga memperlengkapi diri dengan azimat leluhur, sebagai perisai tersembunyi atau obat kebal dari senjata tajam
Perang Terbuka dan GerilyaÂ
Selama masa perang yang berlangsung dari 1911 sampai 1913, meskipun tidak ada seorangpun yang sekolah, pasukan rakyat Kodi, menerapkan strategi yaitu perang terbuka dan gerilya. Ada enam perang (pertempuran) terbuka yang terjadi antara pasukan rakyat Kodi dan pasukan militer Belanda. Pertempuran pertama dan kedua dipimpin langsung Raja Kodi dan didampingi Wona Kaka. Karena selepas pertempuran kedua, Raja Kodi, telah ditangkap melalui siasat licik perjanjian damai yang ditawarkan Belanda, maka empat pertempuran berikutnya dipimpin Wona Kaka. Namun yang menjadi motor utama dalam enam pertempuran tersebut adalah Wona Kaka.
Dua pertempuran yang dipimpin langsung oleh Raja Kodi yaitu serangan pagi di jembatan Bondo Kodi, markas militer Belanda, dan Benteng Notor Koki. Kini jembatan Bondo Kodi, yang berada di wilayah Kecamatan Kodi, sudah modern, dan Benteng Notor Koki, yang masih tampak kokoh, berada di Kecamatan Kodi Utara.