Lumbung dalam Tanah
Kiat kedua, adalah masyarakat tani perlu mengembangkan "Lumbung Makanan dalam Tanah". Lumbung ini adalah pengembangan khusus komoditi tanaman pangan umbi-umbian plasma nutfah daerah kita seperti ubi kayu, petatas, ubi manusia (lugha tana), gembili (kandeyo / laghuta), ubi gadung (iwi), ganyong (kapadi) dan keladi. Selama ini kita semua cenderung kurang peduli lagi terhadap umbi-umbian asli atau khas daerah kita.
Pengembangan umbi-umbian tersebut bukan pekerjaan yang sukar. Lahan untuk membudidayakannya bisa di kebun / ladang dan pekarangan. Sumber bibitnya mudah  diperoleh, karena ada di lingkungan sekitar. Pengolahan lahan, cara penanaman, pemeliharaan dan pemanenannya pun sederhana, tidak perlu menggunakan alat mesin pertanian. Khusus untuk umbi-umbian yang merambat seperti ubi manusia, gembili dan ubi gadung bisa ditanam dan tumbuh dengan baik di bawah tegakan pohon seperti jambu mente, rambutan, sawo, sirsak dan mangga.
Ketika umbi-umbian tersebut sudah cukup umur produksinya (jika diamati secara fisiologis), maka jika mau panen, panenlah seperlunya dan yang tidak dipanen diperlakukan dengan metode memotong rapih batang/jalarannya dan membiarkan umbinya terpendam dalam tanah, sebagai persiapan stok bahan makanan ketika (sewaktu-waktu) terjadi krisis bahan makanan utama seperti padi dan jagung.
Perlu Pendampingan dan Percontohan
Kedua kiat yang dikemukakan di atas memang sederhana saja, tapi jika sungguh-sungguh diterapkan oleh masyarakat tani kita, maka niscaya tidak akan muncul lagi kasus-kasus krisis atau rawan bahan makanan yang dialami oleh masyarakat tani kita pada masa-masa yang akan datang. Permasalahannya adalah bagaimana agar kiat-kiat tersebut mendarat sampai di masyarakat tani kita. Disinilah pentingnya intervensi partisipatif dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun lembaga swasta seperti LSM, untuk melaksanakan program dan kegiatan pendampingan yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, termasuk didalamnya  ketahanan bahan makanan, masyarakat tani kita.
Pemerintah dan LSM atau stake-holders lainnya, diharapkan tidak hanya memberikan pendampingan penyuluhan cara konvensional saja seperti sosialisasi, tapi sebaiknya perlu melakukan gerakan-gerakan nyata dengan membuat kebun-kebun percontohan di tengah-tengah masyarakat tani. Kebun-kebun percontohan tersebut, di bawah pengelolaan para penyuluh pertanian atau Kelompok Tani, harus mampu menjadi laboratorium lapangan yang memancarkan wajah seperti "Taman Eden", sehingga masyarakat tani bergairah belajar secara langsung untuk kemudian melakukan eksperimen di kebun dan pekarangan sendiri.
Dengan begitu, maka usaha tani tanaman pangan yang dilakukan oleh masyarakat tani melalui sistem tanam berlapis dan lumbung makanan, akan berhasil. Implikasinya tentu saja dapat mengantisipasi dan mengatasi masalah krisis dan rawan bahan makanan yang kerap membelenggu kehidupan masyarakat  tani kita di wilayah daerah pedesaan selama ini.  Â
Penulis adalahPemerhati Sosial Politik yang tinggal Kabupaten Sumba Barat Daya.
Â
Â