Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Kuda Sumba Disebut Kuda Sandelwood?

21 Desember 2017   23:36 Diperbarui: 22 Desember 2017   09:44 6885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DARI masa ke masa, sampai saat ini, tidak sedikit orang luar, baik domestik Indonesia sendiri maupun manca negara, juga baik yang sudah sempat berkunjung maupun hanya mendengar ceritera dan melihat panorama lewat foto-foto, yang sangat "rindu" dengan Pulau Sumba. Aneka alasan impresi menggoda, mereka tuturkan, dan salah satunya tentang "Kuda Sandelwood" yang  menghiasi padang savana-sabana sejuta bukit tana humbanusa Marapu.

Memori kisah para orang tua dan literasi yang mesti terbatas, dapat menuntun kita menguntai sepenggal kabar seputar kuda sandelwood. Konon, sejak nenek-moyang tau humba, toyo humba, ata zuba(orang Sumba), sebelum abad ke-18, ternak kuda sudah ada dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sumba.

Secara genetis, jenis asli (plasma nutfah) kuda Sumba adalah "kuda poni". Penampilan morfologisnya, ukuran postur tubuhnya kecil dan tinggi punggungnya di bawah 150 cm. Sehingga sering pula disebut kuda poni mungil-imut. Namun bentuk kaki dan kukunya kuat, lehernya besar, dan daya tahannya tangguh. Warna rambutnya bervariasi yaitu hitam, putih, merah, kuning emas, krem, abu-abu, dan belang. Singkatnya, kuda poni ini meski kecil tapi lincah, indah, tangguh dan menakjubkan.

Dokumentasi Oleh Rofinus D Kaleka
Dokumentasi Oleh Rofinus D Kaleka
Trade Mark Sandelwood

Nama "Kuda Sandelwood" yang melekat indah pada kuda poni Sumba, tampaknya merupakan sebuah predikat  identifikasi yang dimateraikan oleh para pedagang dari luar yang berburu kekayaan alam Sumba tempo dulu. Mereka berasal dari manca negara dan domestik nusantara. Para pedagang manca negara berasal dari Inggris, Portugis, Arab, India, Madagaskar dan juga Belanda yang sedang menjajah nusantara. Sedangkan para pedagang domestik berasal dari Bali, Sulawesi, Sumatera, Jawa dan Madura.

Sumba pada masa itu, memang populer sebagai sentra perdagangan di wilayah timur nusantara, karena merupakan habitat penghasil kayu cendana (sandelwood) terbesar dan terbaik di dunia dengan aromanya yang luar biasa. Bangsa-bangsa luar itu berkompetisi memasuki wilayah Sumba untuk membeli sandelwood sebagai komoditi perdagangan yang digandrungi di pasaran dunia dan domestik.

Para saudagar luar tersebut, rupa-rupanya juga jatuh cinta dengan kuda poni Sumba. Mereka meliriknya sebagai komoditi perdagangan alternatif dan ternyata diminati di pasaran. Tampaknya, demi kepentingan promosi usaha dagang, para saudagar itu memberikan label pasar atau trade mark pada kuda Sumba dengan predikat "Kuda Sandelwood".

Keistimewaannya

Kuda sandelwood Sumba memang lebih kecil dibandingkan dengan kuda-kuda dari daerah lain. Namun ia mempunyai daya tarik istimewa tersendiri, terutama keunggulan bentuk kaki dan kuku, leher dan daya tahannya. Ia sangat cocok sebagai sarana transportasi dan pacuan. Tercatat, kuda sandelwood termasuk dalam salah satu jenis kuda pacu asli Indonesia.

Keistimewaannya itu, telah menyebabkan para pehobi kuda pacu dan saudagar kuda jatuh cinta padanya. Ibarat ungkapan, tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, daya tarik kuda sandelwood terus legendaris sepanjang masa.

Dalam satu dekade belakangan ini pun, sempat terunggah di publik, bahwa tidak sedikit tokoh papan atas yang tetap terpikat dengan kuda sandelwood,diantaranya yaitu Billy Mamola, Brad Pitt, dan Joko Widodo. Billy Mamola, putra Jawa Barat, pengusaha dan peternak kuda terkemuka di Indonesia, termasuk yang jatuh cinta pada kuda sandelwood Sumba. Ia mengembangkannya di peternakannya. Bisa jadi lantaran itu pula, sehingga Hotel dan restoran miliknya yang ada di Lembang diberinya nama "Sandalwood Boutique Hotel".

Ekspektasi Billy Mamola terhadap kuda sandelwood Sumba sungguh luar biasa. Ia telah menguji keunggulan daya tahannya dengan melakukan perjalanan, menunggang kuda sandelwood sejauh 500 kilometer dari Lembang, Jawa Barat, sampai di Pangandaran, perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Agustus 2008. Museum Rekor Indonesia (MURI) telah mencatat, kuda sandelwood Sumba sebagai kuda dengan daya tahan tubuh yang tangguh.

Lantaran pesona keistimewaan kuda sandelwood tersebut, juga telah menggaet hati aktor Hollywood kawakan, Brad Pitt, untuk membeli enam ekor kuda sandelwood, sebagai hadiah untuk anak-anaknya. Meskipun mungkin kuda sandelwood yang dibeli oleh Brad Pitt bukan langsung berasal dari Sumba, namun menegaskan, jenis kuda sandelwood berkelas internasional.

Demikian pula dengan Presiden RI, Joko Widodo, gara-gara kuda sandelwood, dapat menginjakkan kakinya di Sumba, tepatnya di Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, 12 Juli 2017. Bahkan Jokowi pun sempat merasakan bagaimana unik dan indahnya menunggang "kuda sandelwood". Di atas punggung kuda sandelwood, tampak Jokowi berwibawa, seperti sedang mereinkarnasikan peran Pangeran Rato Nale, imam adat khusus tradisi nale,k etika memantau perkembangan hasil populasi ternak dan tanaman pangan serta perkebunan masyarakat di wilayah adatnya. Rato Nale melakukan hal itu, selepas masa kabukut(semedi) pada bulan paddu (bulan pemali, penuh larangan). Sungguh luar biasa, bukan!

Fungsinya Majemuk

Dalam kehidupan masyarakat Sumba sendiri, sejak zaman nenek-moyang sampai sekarang ini, kuda memiliki manfaat atau fungsi yang sangat penting dan majemuk. Pertama, sebagai kendaraan angkutan. Tempo dulu, sekarang sudah tinggal sedikit, hampir semua orang Sumba memiliki kuda tunggang dan kuda beban. 

Kuda tunggang digunakan sebagai sarana transportasi ketika bepergian dengan jarak yang jauh, baik ke acara pesta adat, silaturahmi ke rumah sahabat maupun mengawasi hewan peliharaan yang digembalakan di padang. Sedangkan kuda beban, digunakan sebagai sarana transportasi untuk mengangkut barang, misalnya hasil dari kebun dan mengambil air dari mata air atau sungai.

Kedua, sarana pacuan kuda. Orang Sumba secara umum, sekarang ini termasuk para pejabat negara/pemerintah, sangat hobi pacuan kuda. Arena pacuan kuda ini sebagai ajang persahabatan, rekreasi dan popularitas, namun ada juga yang menjadikannya momentum perjudian terbuka.

Lantaran hobi pacuan kuda inilah, sejak dahulu orang Sumba sendiri sudah tertarik untuk memperbaiki performance dan mutu kuda asli Sumba, untuk meningkatkan ukuran postur tubuhnya, kecepatan dan daya tahannya. Ini sudah dimulai sejak abad ke-18, ketika itu para saudagar bangsa Arab mendatangkan jenis kuda dari negara asalnya. Sehingga terjadilah persilangan (grading up) antara kuda Sumba dengan kuda Arab. Wajar juga jika ada yang berasumsi bahwa kuda sandelwood memiliki moyang kuda Arab.

Masih dalam konteks perbaikan performance dan mutu kuda Sumba, dalam beberapa dekade terakhir ini, pemerintah mengimpor bibit-bibit kuda ras Amerika dan Australia, diantaranya kuda Cross dan Thoroughbred.  Sehingga terjadi pula persilangan (grading up) antara kuda asli Sumba dengan kuda Amerika dan Australia.

Ketiga, sarana berburu dan perang. Orang Sumba dikenal juga suka berburu rusa dan babi hutan, serta gemar perang tanding. Disinilah kuda difungsikan untuk mengejar rusa dan babi hutan, serta menghalau musuh dalam medang perang tanding. Sekarang ini memang sudah jarang terdengar.

Keempat, sarana adat-istiadat. Dalam tradisi perkawinan masyarakat Sumba, kuda menjadi salah satu bagian penting dari perangkat belis (mahar) yang diberikan oleh pihak orangtua laki-laki kepada pihak orangtua perempuan. Dalam adat-istiadat kematian, kuda juga berfungsi sebagai "barang bawaan (buah tangan)". Tradisi ini semacam kewajiban (tapi masih minimalis) yang dibawa oleh pihak anak perempuan yang sudah berkeluarga (kawin) kepada pihak orangtuanya ketika ada duka.

Keempat, sarana kebudayaan. Masyarakat Sumba, khususnya di Sumba Barat Daya dan Sumba Barat, mempunyai atraksi adat-istiadat kebudayaan terunik di dunia yaitu Tradisi Nale. Dalam tradisi ini ada satu pakem yang sangat pupuler yaitu Paholong / Pasola. Dalam Pasola wajib ada kuda, tanpa kuda bukan Pasola lagi namanya, tapi lebih pas disebut lempar lembing saja.

Kelima, sarana psikologi kebudayaan. Orang-orang berpengaruh di Sumba, khususnya di wilayah suku Kodi, nama mereka dikiaskan dengan nama kuda (Ndara). Misalnya, Ndara Kamodo, Ndara Jakamere, Ndara Iha, Ndara Kandi Hemba, Ndara Langa Dadi, Ndara Kanuru, Ndara Jaka Laki, Ndara Jappa Loka, dan Ndara Tanggu Kaha.  Juga kuda dan manusia dianggap mempunyai hubungan psikologis atau kejiwaan dan kesetiakawanan yang digambarkan dalam pitutur adat "Ndara Ole Ura, Bangga Ole Ndewa,  yang berarti kuda sebagai kawan segaris urat tangan, anjing sebagai kawan sejiwa ".

Dan keenam, sarana religius. Hal ini mudah kita jumpai ketika ada orang Sumba yang meninggal, terutama orang-orang besar dan kaya, saat dikuburkan disertakan kuda tunggang, sebagai kendaraannya menuju alam baka.

Komoditi Perdagangan

Sejalan dengan tuntutan perubahan kemajuan jaman,  maka kudasandelwood juga mempunyai fungsi dan manfaat ekonomi sebagai komoditi perdagangan. Dalam catatan J. de Roo pada 1890, perdagangan kuda sandelwood telah dimulai sejak abad ke-18. Diperkirakan pada 1840, para saudagar dari luar bekerjasama dengan para bangsawan Sumba, telah melakukan ekspor kuda sandelwood ke luar Sumba, baik ke daerah wilayah nusantara sendiri maupun manca negara. Sehingga populasi kuda sandelwoodsempat menurun pada pertengahan abad ke-20.

Populasi kuda sandelwood tersebut terus menurun dari tahun ke tahun dan makin tajam penurunannya pada era 1980-an sampai 1990-an, karena ketika itu terjadi ekspor kudasandelwood secara besar-besaran ke Jawa, Madura dan Bali. Memang penurunan populasinya itu, juga disebabkan oleh meluasnya wabah penyakit anthrax ketika itu.

Ada catatan mengejutkan berkaitan dengan penurunan tajam kuda sandelwood. Pada awal 2000, populasi kuda sandelwood yang ada di padang savana-sabana Sumba masih sekitar 214.000 ekor, namun di penghujung 2008, populasinya turun drastis mencapai angka 32%. Apakah angka ini masih bertahan atau sudah menukik ke bawah lagi?

Dampak dari menurunnya populasi kudasandelwood tersebut menyebabkan harga kudasandelwood sekarang ini sangat mahal, tentu dari sisi kondisi daya beli masyarakat Sumba sendiri. Dampak ikutan yang menyedihkan adalah seringkali tidak berjalan normalnya proses adat-istiadat perkawinan dan juga tradisi kematian, serta kurang ramainya kuda yang berlaga dalam penyelenggaraan iven Pasola.

Menghadapi kondisi riil makin menurunnya populasi kuda sandelwood ini, apakah kita berpangku tangan saja? Membiarkannya begitu saja sehingga kuda sandelwood menjadi langka dan akhirnya menjadi ceritera dongeng belaka? Atau, perlukah kita membangkitkan kembali semangat untuk memelihara kuda sandelwood Sumba?

Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik Tinggal di Sumba Barat Daya

                                                                                                                   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun