Dalam sejarah politik di Indonesia atau barangkali juga di dunia, peristiwa tersebut belum pernah terjadi dan mustahil untuk terulang kembali. Fakta sejarah ini, untuk sementara, hanya terjadi di Indonesia dan hanya seorang Novanto-lah  yang bisa memerankannya. Tanpa memainkan intrik-intrik seperti Pondi dan Popo, tentu musyikil Novanto dapat kembali pada posisi Ketua DPR RI.
Demikian pula dalam menghadapi dugaan korupsi e-KTP sekarang ini, tampak jelas Novanto sedang memerankan intrik-intrik Pondi dan Popo lagi. Ketika KPK menetapkan statusnya sebagai saksi dan tersangka, Novanto mendadak langsung sakit, seolah-olah sakitnya permanen.Â
Sehingga penyidikan kepadanya ditunda. Namun Novanto melalui pengacaranya, melakukan gugatan praperadilan atas statusnya itu dan dinyatakan menang. Novanto serta merta langsung sehat dan bisa bekerja kembali. Ini intrik-intrik aneh dan jenaka tapi nyata.
Novanto ternyata belum puas dengan kemenangannya di praperadilan. Ia terus bergerilya melakukan perlawanan dan serangan balik kepada KPK. Melalui pengacaranya, ia mempidanakan dua pimpinan KPK kepada Mabes Polri dengan kasus dugaan korupsi. Anehnya, Mabes Polri juga seolah-olah terhipnotis dan segera meresponnya tanpa melalui diagnosa hukum yang komprehensif.Â
Padahal itu hanyalah  intrik-intrik a'la Pondi dan Popo yang sedang dimainkan oleh Novanto untuk mengadu dua benteng pertahanan hukum negara dengan tujuan memperlemah KPK dan supaya dirinya bisa luput dari jaring hukum KPK.
Namun KPK bukanlah lembaga Taman Kanak-Kanak, yang terlampau lugu dan takut serta bisa dimain-mainkan. Rupanya KPK sudah siaga terlebih dahulu, dengan bukti-bukti yang lebih lengkap, maka KPK menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP dan segera menindaklanjutinya dengan panggilan pemeriksaan atau penyidikan.
Novanto seolah-olah sudah mendalami intrik-intrik Pondi dan Popo, sehingga ia merasa tidak perlu untuk segera memenuhi panggilan KPK itu. Bahkan Novanto berusaha berkelit dengan mencoba menggandeng dan sekaligus bersembunyi di balik baju Presiden Jokowi sebagai benteng pertahanannya atas nama undang-undang MD3. Ketika benteng pertahanannya itu dapat ditembusi oleh KPK, maka mau tidak mau Novanto bersedia untuk memenuhi panggilan KPK.
Lagi-lagi aneh-jenaka tapi nyata, ketika Novanto hendak menuju KPK untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Novanto sakit lagi. Diopname lagi. Gara-garanya konon ada benjolan di testanya. Tapi jenakanya, benjolan kok diperban. Pemeriksaan terhadap dirinya tertunda lagi. KPK menunggu lagi. Beruntung kesabaran KPK ada batasnya, sehingga Novanto segera dijinakkan dengan bius rompi orange KPK. Ternyata Novanto sehat-walafiat saja.
Kisah Sokal Pandan
      Di dalam kerangkeng rumah lembaga anti rasuah itu pun, Novanto masih saja melakukan tindakan aneh-jenaka tapi nyata juga. Ia menulis surat kepada DPR RI untuk tidak diganti sebagai Ketua DPR RI. Ia juga menulis surat kepada Partai Golkar untuk tidak diganti sebagai Ketua Umum Golkar. Sampai sekarang ini kedua lembaga tersebut seperti mati suri terbius dengan surat sakti Novanto itu. Ada apa sebetulnya dengan kedua lembaga itu? Sekali lagi, ini hanya ada di Indonesia dan hanya Novanto saja yang bisa melakukannya.
      Novanto sepertinya memiliki kekuatan luar biasa untuk kedua lembaga terhormat dan bermartabat tersebut. Jangan-jangan Novanto telah memainkan terlebih dahulu "kisah sokal pandan a'la Pondi dan Pondi". Penggalan kisah itu sebagai berikut, "Suatu waktu Pondi dan Popo berkeliling dari kampung ke kampung sambil memikul sokal pandan yang cukup besar.Â