Saya tidak menyadari ada buah-buah bidara yang saya kumpulkan. Sambil memakan kelopak buah rosela yang masam itu saya terus menangis. Pokoknya menangis dengan suara keras tidak ada tujuan untuk didengar oleh siapa, pokoknya saya menangis dan terus menangis.
 Sayup-sayup terdengar suara-suara bercakap-cakap terdegar mereka berkata, "Ada suara tangisan anak kecil dari kebun." Tidak lama kemudian datanglah seorang wanita dewasa, dan dia langsung menanyakan namaku, nama orang tuaku, dan juga menanyakan keluarga tempat menginapku di Waiteba. Saya digendongnya ke pondok dan diberi minum air dingin. Memang saya menangis cukup lama membuat haus dan juga lapar. Ada harapan bahwa saya tidak hilang karena berada di tangan orang-orang yang baik.Â
Dari kejauhan terdengar suara orang menyanyi, rupanya pondok itu dekat dengan Kapela. Nyanyian yang terdengar adalah nyanyian pertanda misa berakhir, berarti saya sendirian cukup lama, karena misa jaman dulu biasanya berlangsung lebih dari dua jam.Â
"Itu misa sambut baru sudah keluar, antar dia ke kapela kepada om Bala Gule, istrinya adik kandung mama Tuto," perintah seorang wanita dari antara mereka yang kelihatannya lebih tua dan berkuasa.Â
Wanita yang tadi menggendong saya di ladang rosela, mengangkat dan menggendong saya lagi serta membawa saya ke Kapela. Di sana sebagian besar umat masih menonton grup suling yang membawakan beberapa lagu di depan rumah pastor.Â
Rupanya bapak kecil termasuk anggota grup suling, dan mereka sedang meniup suling. Â Wanita itu langsung menghantar saya ke sana, dan bapak kecil menggendongku sambil terus meniup suling. Waktu itu usiaku mungkin hampir 6 tahun, namun tubuhku kecil sehingga mudah digendong.Â
Pengalaman itu tidak terlupakan dan saya tidak mau menyerah kepada tipu muslihat setan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H