Saya hadir sebagai anak yang diajak ikut saja apa yang diperbuat oleh orang dewasa. Biarpun tidak mengerti, saya mengikuti acara dengan tenang sampai selesai dan keluar dari kapela. Ternyata di luar sudah berdatangan banyak orang untuk misa kedua, misa sambut baru.
Setiba di rumah belum ada api, maka kakak Sula diminta pergi mengambilnya di pondok tetangga yang kelihatan ada asap api. Sesampai di sana kakak Sula masuk ke pondok itu untuk mengambil api, sedangkan saya menunggu di luar.Â
Waktu menunggu itu tampak sebuah pohon bidara di seberang jalan dan banyak buah matang terlihat berjatuhan di bawah pohon, dan saya tertarik kesana.
 Di bawah pohon ada banyak sekali buah bidara yang besar, bagus, matang, berwarna kuning kemerahan. Saya asyik mengambil beberapa buah, lalu mengangkat muka untuk melihat kakak Sula yang ada di pondok di seberang jalan dekat pohon bidara itu. Â
Tetapi... di manakah pondok itu? Di manakah kakak Sula? Pondok itu tidak ada lagi apalagi kakak Sula. Segala sesuatu berubah dengan cepat, saya sendirian ada di tengah hutan.Â
Saya berjalan ke arah ketika saya datang, tiba-tiba ada pagar tinggi ada di depanku, saya tidak bisa melewatinya sama sekali. Rumah-rumah dan pondok di seberang jalan yang jaraknya kurang dari lima meter sudah tidak kelihatan lagi.Â
Di sekelilingku hanya hutan, tidak ada pondok dan rumah-rumah. Saya balik badan ternyata di belakangku ada sebuah kali mati yang besar, dan benar-benar saya ada di tengah hutan dan bukan lagi ada di tengah kampung. Saya berjalan menuruni kali mati itu sambil menangis dengan suara keras agar bisa terdengar mereka di kejauhan. (Waktu menulis ini badan saya merinding seperti setan ada di dekat saya).
Saya benar-benar ada di hutan, tidak ada tanda-tanda adanya kampung. Pohon-pohon besar, bunyi tekukur di kejauhan, suasana sangat sepi dan mencekam.Â
Saya meratap keras tapi di hutan yang sepi itu siapa dapat mendengar? Tiba-tiba dari arah bukit ada seekor anjing berwarga hitam berlari kencang seperti dikejar. Ternyata anjing itu berlari di sebuah jalan kecil, dan dari jalan kecil itu saya dapat melihat air laut dari kejauhan.Â
Saya tidak tertarik berjalan mengikuti anjing hitam itu, melainkan sebaliknya berjalan ke arah bukit. Walaupun saat itu saya tidak tahu akan sampai di mana. Tidak berani lagi saya melihat ke belakang, tetapi terus berjalan ke arah bukit sambil terus menangis.
Terasa haus dan lapar, tiba-tiba di pinggir jalan ada tanaman rosela yang buahnya berwarna merah dan rasanya masam. O... ya buah bidara yang tadi saya kumpulkan tidak ada satu pun yang saya bawa, atau mungkinkah buah-buah itu hanya kamuflase sehingga semuanya lenyap?Â