Memasuki tahun politik 2018-2019, bencana-bencana besar berskala nasional terjadi semakin beruntun. Kapal roro terbakar, jembatan ambruk, kebakaran pemukiman penduduk, penyerangan orang gila terhadap kaum ulama serta rumah ibadat, dan lain sebagainya, seperti sudah direncanakan. Bahasa politik, "Ada aktor intelektual di balik bencana itu" kecuali bencana alam.
Dosen kuliah Kewiraan dari UGM, pada tahun 1994 menjelaskan bahwa pembunuhan terhadap orang-orang terkenal, bencana kebakaran, tabrakan, pasti tidak terjadi secara kebetulan. Target atau sasaran perancang bencana itu biasanya lawan politik yang berusaha menanamkan opini kepada masyarakat konstituen, bahwa kepemimpinan tokoh itu lemah.
Rentetan kejadian jembatan ambruk di berbagai daerah, mungkin bukan karena kesalahan kontraktor semata. Ada kaki-tangan atau orang suruhan mungkin dengan bayaran sejumlah uang yang cukup besar, janji jabatan, pekerjaan, dan lain-lain.
Himbauan agar tidak percaya kepada berita bohong atau hoaks, itu mempan menyadarkan para konstituen? Masyarakat kita pada Zaman Orde Baru dicanangkan sudah terdidik semua, sayangnya simbol B3B (buta aksara dasar, buta Bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan dasar) ditulis di atas atap rumah.
Dari fenomena itu saja menandakan secara gamblang bahwa konsep-konsep itu terlalu jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga hanya menjadi slogan belaka. Pada era teknologi informasi banyak masyarakat masih buta huruf, dan lain-lain.
Berita-berita bohong untuk menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, justru turut disebarkan oleh mereka yang notabene berpendidikan sarjana. Â Berarti B3B di atas, huruf B harus ditambah satu lagi untuk Buka Akhlak atau Moral, sehingga B3B berubah menjadi B4B.
Para tokoh politik yang menyerang lawan politik dengan berbagai ajaran kebencian, penyebaran berita bohong, pelemahan kepercayaan masyarakat dengan menimbulkan bencana, isu penaikan harga kebutuhan pokok, PHK tenaga kerja, bukanlah pemimpin yang kuat. Tetapi pemimpin yang sangat lemah karena mengerahkan masa untuk mencapai kemenangan. Pilkada DKI menjadi contoh yang sangat gamblang, bahwa orang yang sudah bekerja secara sungguh-sungguh dikalahkan secara sistematis.
Bencana menimbulkan kerusakan dan kerugian yang besar, yang berpengaruh terhadap kepercayaan konstituen terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Mengapa mau mengelola negara menjadi lebih baik, tetapi harus mengejar jabatan dengan menghancurkan? Para tokoh politik sebaiknya mempertimbangkan secara nalar dan hati nurani, untuk mengurangi kerugian bagi semua warga.
Marilah kita sebagai anak bangsa yang ber-Pancasila, berpikir, berkata serta bertindak secara bijak agar tidak merugikan orang lain. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan harus menjiwai sampai ke dalam hati, sehingga kita menjadi anak bangsa yang berguna secara solidaritas tanpa membeda-bedakan. Pencipta kita satu, tetapi agama kita berbeda-beda, tetapi perbedaan itu bukan untuk memecah-belah. Bhineka menjadi kekayaan dan kekuatan untuk mencapai  masa depan yang lebih baik.
*** Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H