Keinginan mereka menjadi pekerja ilegal di Malaysia dilatarbelakangi kejenuhan hidup tanpa pekerjaan tetap saat tinggal di kampung. Kejenuhan itu sirna oleh kabar menyenangkan tentang bekerja di Malaysia, termasuk sebagai pekerja ilegal. ‘Angin surga’ yang dihembuskan para perantau pendahulu itu akhirnya membawa mereka pada keputusan untuk meninggalkan kampung halaman, meski tanpa jaminan keamanan dan keselamatan baik dalam perjalanan maupun selama bekerja di sana sebagai pekerja ilegal.
Sebagian besar dari mereka memilih Batam sebagai tempat persinggahan sebelum masuk ke Malaysia Barat. Setibanya di Batam, mereka diterima di rumah persinggahan. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk dengan bayar sana-sini, mereka pun berangkat menggunakan perahu cepat (speed boat) sewaan.
Jika tidak ada petugas keamanan laut (Polisi Air Malaysia) yang berpatroli sepanjang rute perjalanan, penumpang perahu cepat itu bisa selamat tiba di pantai Malaysia. Tetapi, jika tertangkap basah, kejadian buruk akan menimpa mereka, entah dipenjara, dihukum cambuk, atau dideportasi oleh Pemerintah Malaysia. Jadi, keamanan perjalanan yang dijanjikan para pendahulu sangat diragukan kebenaranya.
Sesampainya di tempat kerja yang dijanjikan, mereka diperkenalkan pengantar kepada toke atau bos. Setelah sepakat dengan tawaran kerja,mereka diberi penjelasan tentang tata cara kerja serta upah yang akan diperoleh. Upah yang didapat memang cukup lumayan, yakni kira-kira 50 Ringgit per hari, sedikit lebih baik dibandingkan upah pekerja kasar umumnya di Indonesia.
Namun, gaji yang cukup memuaskan itu tetap minus jaminan keamanan. Karena tidak tercatat sebagai warga negara Malaysia dan tidak terdata sebagai tenaga kerja legal, sewaktu-waktu mereka bisa ditangkap, dicambuk, dipenjara, atau bahkan dihukum mati. Mereka selalu bekerja dalam ketakutan dan rasa was-was terjaring razia polisi Malaysia yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Tidur malam mereka di pondok di sekitar perkebunan pun sungguh tak aman. Karena itu, kerap kali pondok hanya jadi tempat persinggahan, tempat mandi dan berganti pakaian. Dan, agar bisa tidur malam dengan aman mereka mesti ‘mengungsi’ ke semak-semak di sekitar perkebunan.
Ada juga yang menceritakan, sudah banyak perantau gelap yang ditahan, dideportasi, dan dihukum sesuai aturan Malaysia. Banyak dari mereka tertangkap karena kurang waspada terhadap operasi polisi. Bila tertangkap di hutan atau saat bekerja, mereka masih punya kesempatan bernegosiasi dengan cara membayar polisi. Tapi, jika tak mampu membayar, mereka akan ditahan dan bisa saja dipenjara.
Ada satu cerita lagi yang saya dengarkan dari seorang mantan TKI gelap asal Nagekeo. Ia tertangkap setelah terjatuh dari sebuah gedung perkantoran di Malaysia saat dikejar polisi. Untungnya, ia tidak dipenjara. Ia akhirnya dideportasi dalam keadaan patah tulang pinggang dan cacat hingga kini. Kejadian yang sama terjadi pada beberapa pekerja ilegal lain yang saya kenal. Mereka sering disatroni patroli polisi pada malam hari.
Yang lebih menyedihkan, banyak dari perantau yang tak bisa kembali ke kampung halaman. Kabur kabar beritanya hingga kini. Kalaupun berhasil pulang, yang dibawa untuk keluarga bukanlah rezeki dari rantau, melainkan cedera atau cacat. Bahkan, ada juga yang tinggal nama dan kenangan karena pulang kampung dengan tubuh terbujur kaku dalam peti jenazah. Memilukan!
Demikian catatan saya untuk kita semua. Harapan saya, pemerintah benar-benar serius mengatur dan mengawasi pengiriman TKI ke luar negeri. Tentu jauh lebih baik lagi kalau negara kita tidak menjadi penyedia tenaga kerja murah untuk negara lain, apalagi negara dengan resiko keamanan dan keselamatan yang tinggi bagi pekerja kita. Untuk itu, pemerintah pusat maupun daerah harus memenuhi kewajibannya menyediakan lapangan kerja bagi rakyat serta menjamin upah kerja yang layak dan memadai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H