Keterbukaan antar kami sebagai produsen dengan distributor kecil-kecilan seperti om Hema tentu mengantarkan kami pada titik bahwa kami bisa saling percaya. Dinamika seperti ini tentu jarang terjadi di kota-kota besar yang penuh dengan manipulasi dan politisasi. Sebenarnya penghasilan yang didapat harus berdasarkan tingkat kesulitan dan resiko sebuah pekerjaan yang dilakukan. Di kota-kota besar, seperti Jakarta saat ini malah sebaliknya. Para buruh dan pekerja kasar yang tingkat kesulitan dan resiko kerja lebih tinggi diberikan penghasilan di bawah rata-rata, akan tetapi kepada mereka yang kerjanya tak menyita banyak waktu dan keringat diberikan gaji dan tunjangan yang sangat tinggi. Sungguh sangat disayangkan jika hal ini dibiarkan. Hukum dan peraturan di negara ini sungguh memalukan dan carut-marut.
Sekilas pandangan saya tentang hukum dan aturan di atas tentu hanya kata-kata dan sekedar basa-basi, sebatas pembicaraan yang timbul setiap saat mengingat nasib orang-orang kecil yang sering diabaikan.
Kembali lagi mengenai alam yang memberi berkah, pantai dengan batu indah yang memberi nafkah tambahan. Pantai-pantai di daerah kami, termasuk pantai Aeawe adalah pantai selatan yang berombak dengan arus lebih kuat bila dibandingkan dengan pantai bagian utara. Hempasan arus dan ombak yang cukup tinggi pada musim angin laut tentu mengubah siklus dan mempengaruhi struktur batu ditepi pantai termasuk batu-batu yang kami kumpulkan. Setiap bulan hamparan batu akan berubah karena ombak. “Stock” batu yang kami butuhkan selalu tersedia kapanpun karena mengais rejeki dari alam dengan tulus dan mencintai ciptaan Tuhan tersebut.
Yah, tentang Pidi Watu, kami belajar tiga hal: kerja keras, saling percaya dan menghargai usaha, dan menghormati berkah dari alam.
Tulisan ini pernah dimuat di http://jipijara.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H