Mohon tunggu...
Rofi Lutfiani
Rofi Lutfiani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan FISIP Undip

Sapere aude, incipe!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Inkonsistensi Revisi UU Pemilu, Maju Mundur Taktik Kepentingan Politik?

6 Maret 2021   20:14 Diperbarui: 6 Maret 2021   20:53 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 14 Januari 2021, Rapat Kerja Badan Legislasi DPR, Dewan Perwakilan Daerah, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyetujui 33 RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Namun, sampai dengan Rapat Paripurna yang digelar DPR RI pada 10 Februari lalu tak kunjung memberikan ketok palu pengambilan keputusan. Salah satu RUU yang memantik tarik ulur disahkannya Prolegnas hingga saat ini disinyalir adalah RUU Pemilu yang merupakan usulan revisi terhadap UU No.7 Tahun 2017. Komisi II DPR RI mengemukakan sejumlah alasan berkaitan dengan wacana tersebut sejak akhir 2020 silam.

Beberapa alasan itu di antaranya adalah pertimbangan perbaikan penyelenggaraan apabila Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pilkada digelar serentak. Perlu diketahui, serentaknya Pemilu yang berlangsung sebelumnya adalah buah dari Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang merupakan pengabulan atas pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008.

Poin-poin Utama Revisi UU Pemilu

Melansir keterangan dari Ahmad Doli Kurnia selaku ketua Komisi II DPR RI, setidaknya ada sembilan isu utama yang dibahas dalam RUU Pemilu. Kesembilan isu tersebut meliputi lima isu klasik dan empat isu kontemporer. 

Poin-poin isu klasik berkenaan dengan pembahasan sistem Pemilu (terbuka, tertutup, atau campuran), parliamentary threshold atau ambang batas parlemen, presidential threshold, mekanisme perhitungan suara ke kursi, dan district magnitude kuantitas kursi tiap dapil. Adapun pembahasan poin yang tergolong baru di antaranya adalah konsep keserentakan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, pasal-pasal guna menghilangkan praktik moral hazard dalam Pemilu, digitalisasi Pemilu, serta penguatan tupoksi penyelenggara Pemilu.

Dalam pasal 734 ayat (2) draf RUU Pemilu menyatakan bahwa,"Pemilu Nasional pertama diselenggarakan pada tahun 2024, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali". Pemilu Nasional sendiri merupakan prosedur yang dilakukan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan anggota DPR, pemilihan anggota DPD, pemilihan anggota DPRD Provinsi, serta pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota yang penyelenggaraannya digelar pada hari yang sama. Tak hanya itu, RUU Pemilu juga turut merambah rancangan konsep perubahan pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam rencana revisi, disebutkan bahwa Pilkada yang semula akan digelar pada tahun 2024 dicanangkan berubah menjadi dua bagian yakni pada 2022 dan 2023. Hal ini termuat dalam draf RUU Pemilu Pasal 731 ayat (2) dan (3) serta Pasal 734 ayat (1).

Isu ini juga sekaligus menjadi premis politis yang seksi karena banyak pihak mengasumsikan relevansinya dengan elektabilitas dan kalkulasi peluang Anies Baswedan. Kaum yang pro terhadap revisi UU Pemilu dianggap pendukung Anies. Pasalnya, jika Pilkada DKI Jakarta digelar pada 2022 mendatang, Anies Baswedan memiliki posisi tawar yang kuat karena menduduki peran sebagai Petahana. 

Berbeda halnya dengan kaum yang kontra, mereka disinyalir adalah golongan yang tidak ingin Anies tampil lagi di panggung DKI. Analisanya, jika Pilkada akan digelar 2024, Anies telah dianggap 'menganggur' terhitung sejak 2022 dan berpotensi keluar dari pusaran bursa Cagub DKI karena bisa jadi elektabilitasnya menurun sebab digantikan Pejabat Plt.

Berkenaan dengan ambang batas parlemen, ada beberapa versi parpol yang mengajukan prosentase berbeda. Mengacu pada UU Pemilu yang digunakan pada Pemilu 2019, parliamentary threshold adalah sebesar 4% yang naik dari Pemilu sebelumnya 3,5%. Partai Golkar, PKB, dan Nasdem mengajukan opsi kenaikan PT menjadi 7% dengan argumen untuk membangun lembaga parlemen stabil melalui penyederhanaan parpol. 

Di sisi lain, PDIP, PKS, serta Gerindra satu suara dalam memberikan pendapat perihal nominal PT sebesar 5%. Alasannya masih nampak serupa, diperuntukkan bagi pembentukan sistem kepartaian dan lembaga parlemen yang ringkas. PDIP juga meminta pemberlakuan PT bisa diterapkan secara berjenjang sampai level kabupaten/kota. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun