As the time goes by, hari-hari di saraf terlewati perlahan-lahan. Semakin lama, stamina semakin menurun. Semangat mulai melemah, Kesadaran mulai berubah. *makin ngawur*. Semakin pengen mutung, berhenti sampai disini. Tapi kalau sayastop, bagaimana nasib teman-teman sekelompok saya? Mereka harus meng-covertugas saya dan tentunya semakin berat. Terasa sekali beban mental dalam hati, ingin berteriak sekeras-kerasnya, namun semua itu tidak semerta-merta menyelesaikan masalah. Neurologi belum selesai.
Ditengah kebuntuan mengembalikan motivasi bekerja sekaligus belajar, saya bertanya kepada teman koas yang stase sebelum kelompok saya, yang juga hanya enam orang. Bagaimana cara dia tetap waras selama berada di neurologi. She said, “Kelompokku udah komitmen dari awal kalau stase neurologi bakal berat. Apapun yang terjadi, seneng maupun susah ditanggung bareng. Hasilnya dalam sehari 6 orang bisa jaga semua karena ruangan dibagi 4 shift, ugd 2 shift. Temen sekelompokku juga lucu-lucu, jadi ya ketawa-ketawa aja tiap hari. Temen-temen dari kelompok lain yang nggak stase saraf juga sering main ke kamar koas saraf, jadi kita ngerasa tetep rame. Terus kalau lagi jaga ruangan, aku kerjain semuanya sendiri. Nggak minta tolong ke perawat. Bodo amat orang lain mau ngomong apa. Aku udah siap jadi dokternya J sampai akhirnya perawatnya jadi luluh sama kita gara-gara semuanya dikerjain sendiri. Hohoho. Kita juga nyimpen camilan sama obat di kamar koas. Biar kalau lagi bête, bisa langsung nyemil, kalau sakit langsung minum obat. Baik-baik sama ppds yang jaga ugd, karena mereka yang akan banyak membantu kita untuk ujian osce. ” saran diterima.
Kemudian saya stase di poli saraf, akhirnya merasakan nensi-nensi juga. Alhamdulillah nggak sampai kena CTS :p. Perawat di poli baik, saya malah diajak bergosip -,- . Inti dari gosipnya adalah, lekaslah menikah selagi masih koas. Karena wanita, kalau sudah enak berkarir sering “lupa” menikah. Tau-tau sudah lewat masa emas untuk menikah. Sampai akhirnya memutuskan untuk tidak menikah. Sayang sekali, bukan? Di poli saya banyak menemui kasus-kasus unik yang tidak saya temui pada pasien ruangan. Saya bisa memeriksa pasien baru serta mengarahkan diagnosis untuk kemudian dikonsultasikan lagi ke ppds. So much fun I guess kalo tanpa nensi-nensi. Hihihii.
What did I get from this neurology shift? Yang paling terasa adalah kemampuan berinteraksi dengan paramedis di rumah sakit. Diantaranya adalah perawat serta radiografer. How to deal with nurses waktu jaga ruangan, and how to deal with radiographer waktu jaga ugd. Salah satu trik yang ampuh untuk membaur dengan perawat adalah dengan memberikan cemilan. Nggak perlu mahal, yang penting bisa untuk rame-rame. Terbukti ampuh XD Untuk melebur dengan radiographer, caranya hampir sama. Bisa menggunakan jurus makanan, tapi untuk personal. Misal bisa untuk rame-rame ya lebih bagus lagi. Hehe. Jangan lupa minta ijin apa kita sudah boleh mengirim pasien untuk difoto. Hemat waktu, hemat tenaga, pasien juga nggak nunggu lama. Waktu minta ijin, mintalah dengan intonasi yang tidak menyuruh, melainkan kita yang membutuhkan. Pakai senyum paling ramah yang kamu miliki. Trust me, it works. *lo kira L-m*en* ^^
Skill lain yang terasah ketika stase neurologi adalah melihat mana pasien yang gawat dan benar-benar harus di observasi ketat, mana pasien yang bisa dilonggarkan pengawasannya. Hal ini tidak lain tidak bukan adalah karena keterbatasan semata. Saya berani menjamin, pasien tidak terlantar. J
Ada empat kisah yang akan saya ingat dari neurologi. Yang pertama dan paling membekas dalam ingatan, ketika seorang gadis 16 tahun meninggal dunia denganmeningoencephalitis. Saya berada disana saat salah seorang keluarganya memanggil karena gadis itu kejang. Saya segera mengecek apakah benar itu kejang. Ketika saya hampiri, kejangnya sudah berhenti. Kemudian bagian tubuh sebelah kirinya seperti bergerak namun dalam frekuensi kecil, tidak sampai menghentak, tidak sampai 1 menit berhenti lagi. Apa benar ini kejang? Saya memastikan lagi kepada ppds. Sang ppds menyuruh saya untuk mengecek tanda vital. Tensinya 80/50 dengan perfusi pucat. Denyut nadi meningkat. Pasien ini syok. Segera diposisikan syok, kemudian dipasang infus lagi jadi double line. Setelah digerojok cairan, denyut nadi mulai kuat. Namun nafasnya hanya tinggal sepenggal-penggal. Alat bantu napas sudah disiapkan. Dokter memutuskan untuk KIE pasien, mengatakan bahwa saat ini kondisinya kritis, harap banyak berdoa. Kalaupun akhirnya meninggal, berarti menurut Allah itulah yang terbaik. Karena jika sembuh pun, kemungkinan besar akan cacat karena sel otaknya sudah banyak yang rusak. Tiba-tiba pasien tersebut tidak bernapas. Diberi napas buatan serta dipijat jantung. Dia tidak kembali. This is what I cannot forget for the rest of my life. When doctor told her mother that she was dead, the mother said, “Adek, semua dosa Adek baik yang besar maupun kecil sudah ibu maafkan, Nak. Adek nggak punya salah apa-apa ke Ibu. Adek anak sholihah, tunggu Ibu di pintu surga ya, Nak”. I can’t held my tears, so I just went out her room remembering my mother.
Ibu sang gadis ikhlas dengan kepergian anaknya. Berbeda dengan apa yang saya lihat siang hari selesai kuliah. Saya mendengar ada kegaduhan di dekat ruangan saraf. Awalnya saya mengira kegaduhan itu berasal dari pasien jiwa, karena ruang rawat inap saraf memang berdekatan dengan jiwa. Namun saat saya melewati ibu yang sedang menangis histeris, saya merasa familiar dengan wajah beliau. Siapa yang meninggal dunia? Untuk menuntaskan rasa penasaran, saya bertanya kepada perawat. Ternyata yang meninggal dunia adalah suami ibu yang histeris. Suaminya terkena stroke perdarahan. Beliau tidak siap kehilangan, mungkin karena usianya masih relatif muda, suaminya ‘baru’ berumur 33 tahun. But death will always comes never too early, never too late right?
Hah? 33 tahun meninggal dunia karena stroke? Don’t be surprised. Saya bertemu pasien di ruangan usia 14 tahun terkena stroke karena dia memiliki kelainan jantung bawaan. Memang kelainan jantung dapat memperbesar risiko untuk terkena stroke jenis penyumbatan. Akan tetapi yang saya terlintas di pikiran saya,how can he survive 14 years with congenital heart disease? he must be really strong and patient.
Kisah keempat tentang seorang istri yang dengan telaten merawat suaminya yang tergolek lemah diatas bed rumah sakit. Beliau membasuh tubuh suaminya, mengganti pempers, memberikan uap agar tidak sesak, mengusap dahak jika suaminya batuk, meminumkan obat dan susu, mengompres saat demam, bangun tengah malam saat suaminya susah tidur, dan sekalipun saya tidak pernah melihat sang istri marah ataupun menyalahkan keadaan. Memang beliau terlihat lelah, namun sama sekali tidak ada kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya. Membuat saya bertanya dalam hati, jika saya berada dalam posisinya, apakah saya bisa ikhlas mengabdi pada suami saya seperti beliau?
Neurologi tidak seburuk yang saya kira. Dengan banyak ppds baik hati yang suka sekali nentir dan menjawab apapun pertanyaan kita, membuat kelelahan kami agak sebanding dengan ilmu yang diperoleh.
Memasuki minggu terakhir, minggu ujian dan masih harus jaga. Rasanya sangat denial meskipun lebih tepatnya sudah pasrah dengan ujian. Hehe. Alhamdulillah ada teman koas lain yang bersedia membantu jaga (bukan joki!). Jaga terasa berkurang bebannya dan pastinya bisa istirahat cukup. Menyiapkan mental untuk ujian. ;D
Jeng jeng jeng!!! Ujian pun datang. Pikiran agak kosong di soal-soal awal. Masak iya disuruh cek meningeal sign malah cek untuk low back pain. Masio agak mirip tapi yaaa semacam kaya saya sama Dian Sastro. Persamaannya sih cuma sama-sama cewek. Itu aja. Hahahaaa. Untuk ujian osce ini saya sangat berterima kasih kepada ppds yang menjadi pasien simulasi, yang kebetulan sudah jaga ugd tiga kali bersama saya. Tanpa beliau mungkin nilai saya benar-benar nol di pos ini akibat ngelamun. “Untung kamu kalo jaga sama aku nggak matol, Dek. Lek matol ya pasti nggak aku bantuin,” begitulah kata beliau. XD
And it finally comes. Jaga ruangan terakhir, Bener-bener terasa sekali jadi dokternya. Ask me why. I won’t tell you here. ^^
Perasaan setelahh lewat stase saraf, subhanallah. I did it. We did it! Semoga ilmunya tetep nyantol. Terima kasih doanya, saya nggak jadi mutung. J
Salah satu teman sekelompok koas saya berkata, dia ingat apa yang dekan kami ucapkan ketika kami akan menempuh koas.
“Yang paling dibutuhkan saat jadi koas adalah mental baja.
Mau diamuki, dihina-hina, disuruh-suruh, tetap tidak menyurutkan semangat. Bangun, bangun dan bangun lagi. Semua itu media belajar. Pasti mendapatkan ilmu, pasti. Asal ikhlas, sabar dan terus dijalani. Allah akan memberikan ilmu dan kemudahan dengan cara yang tidak disangka-sangka,”. He is right, absotulety right.. J
Ps : tulisan ini dibuat setelah stase neurologi berakhir. Compare to the previous one…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H