"Intelligence without ambition is a bird without wings"- Salvador DaliÂ
Jika membahas tentang inteligensi, mungkin sebagian orang awam akan mengartikan hal tersebut sebagai kecerdasan. Padahal pengertian inteligensi tidak hanya sebatas itu. Bahkan saking luasnya penggunaan kata inteligensi, para psikolog pun tidak hanya berpatokan pada satu definisi saja. Namun, yang perlu diketahui secara garis besar inti dari pembahasan inteligensi adalah bentuk kognisi yang lebih tinggi (higher-order form of cognition). Hal ini meliputi pembentukan konsep, penalaran, pemecahan masalah, kreativitas, serta memori dan persepsi yang memiliki kaitan dengan inteligensi masnusia.Â
Menurut Geray (2005) inteligensi adalah perbedaan seseorang dalam bereaksi terhadap waktu, waktu inspeksi, dan kerja memori yang pada kenyataannya diukur melalui tes inteligensi standar. Kemudian Howard Gardner (1985), seorang tokoh psikologi berkebangsaan Amerika mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk memecahkan masalah, atau menciptakan suatu produk dalam berbagai macam setting dan dalam situasi nyata. Maka, dari beberapa definisi inteligensi yang ada dapat disimpulkan bahwa inteligensi yang dimiliki manusia merupakan kemampuan untuk memperoleh, memanggil (recall), dan menggunakan pengetahuan untuk memahami konsep abstrak atau konkret serta hubungan antara ide dan objek, juga dalam menerapkan pengetahuan dengan teapat.Â
Setelah diketahui gambaran umum tentang inteligensi yang menjadi kemampuan dasar manusia dan kemudian berkembang menjadi beberapa teori, antara lain:
- Teori Uni faktor
Teoiri uni faktor dianggap teori paling tua. Psikolog bernama Alfred Binet adalah salah satu orang yang mengatakan bahwa inteligensi bersifat monogenetik. Artinya yakni berkembang dari satu faktor satuan atau faktor umum. Binet berpendapat bahwa inteligensi adalah sisi tunggal dari karakteristik yang akan berkembang seiring proses perkembangan seseorang. Binet juga memiliki gambaran tentang inteligensi sebagai sesuatu yang fungsional sehingga kemungkinan orang lain dapat mengamati atau menilai tingkat perkembangan seseorang berdasarkan kriteria tertentu. Jadi, hal inilah yang dimaksud komponen arah, adaptasi dan kritik dalam definisi inteligensi. - Teori Dwi faktor (The Two-Factor Theory)
Teori ini dikembangkan oleh psikolog asal Inggris bernama Charles Spearman. Usulan Spearman yakni teori kecerdasan dua faktor yang dapat menjelaskan pola hubungan antara kelompok tes kognitif yang dianalisisnya. Teori ini menyatakan bahwa kinerja setiap tugas kognitif bergantung pada faktor umum (g) ditambah satu atau faktor yang lebih spesifik dan unik untuk tugas tertentu (s). Seluruh faktor yang spesifik akan membentuk single common factor "g" faktor. Menurut Spearman tindakan seseorang dalam setiap situasi bergantung pada kemampuan umum maupun khusus. - Teori Multifaktor (Multiple factor Theory)Â
Teori multifaktor ini dikembangkan oleh Edward Lee Thorndike (1916). Inteligensi menurut teori ini terdiri atas hubungan neural antara stimulus dan respon. Hubungan neural tersebut yang kemudian mengarahkan tingkah laku seseorang. Teori Thorndike menyatakan bahwa inteligensi terdiri dari berbagai kemampuan spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku intelegen. Thorndike juga menyebutkan empat poin inteligensi, yakni tingkatan, rentang, daerah, dan kecepatan.Â
Ternyata akhir-akhir ini laporan tentang angka tes IQ di seluruh dunia mengalami penurunan.
Ketika ingin mengetahui bagaimana tingkat inteligensi seseorang, maka yang sering dilakukan adalah dengan tes IQ (Intelligence Quotient). Â Namun, tahukah kita? Ternyata akhir-akhir ini laporan tentang angka tes IQ di seluruh dunia mengalami penurunan. Hal ini menajdikan para peneliti bertanya-tanya apakah kini saatnya memperluas pemahaman tentang maksud dari kecerdasan.Â
Psikolog asal Perancis Alfred Binet adalah pencetus tes IQ Â pertama kali dan menjadikan alat ukur kecerdasan yang paling banyak digunakan di dunia. Berdasarkan ketetapannya apabila angka IQ 100 mengartikan bahwa kecerdasan berada di tingkat rata-rata. Kemudian jika angka di atas 130 maka dianggap jenius atau berbakat. Sedangkan apabila angka di bawah 70 dikatakan memiliki cacat intelektual.Â
Menurut laman abc.net.au, seorang psikologi klinis dan dosen senior di Universitas New South Wales Sydney bernama Dr Tony Florio menuturkan bahwa tes IQ yang ada sekarang ini hanya mengukur kecerdasan di bidang tertentu saja. Dr Florio juga mengatakan bahwa bukan angka tes IQ sekarang menurun, mealinkan tes IQ tidak beradaptasi dengan bagaimana cara kerja otak kita. Oleh sebab itu kegunaan tes IQ saat ini sebenarnya terbatas.Â
Dr Florio sudah lama melakukan penelitian terkait kegunaan tes IQ. Ia mengatakan bahwa yang diuji dalam tes tersebut adalah penguasaan bahasa, pengetahuan umum, dan pemecahan masalah. Namun, dalam tes tersebut tidak menguji tentang motivasi, kepribadian, dan kreativitas. Â
Alfred Binet yang mencetuskan tes IQ sekitar 100 tahun lalu sebenarnya menyadari ketika ia mengembangkan tes tersebut. Pasalnya, di awal adalah digunakan untuk mengukur usia mental anak. Binet juga menekankan bahwa kecerdasan merupakan sebuah konsep luas yang tidak dapat ditentukan dengan angka tertentu.Â
Angka tes IQ seseorang memang tidak dapat dijadikan sebagai patokan tingkat kecerdasannya. Kondisi kesehatan dan psikis yang dialami seseorang ketika mengerjakan tes IQ juga akan berpengaruh terhadap hasil tes tersebut. Bisa jadi sebenarnya seseorang tersebut memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Namun, ketika proses mengerjakan tes kondisinya sedang tidak enak badan dan semacamnya sehingga angka tes IQ yang diperoleh adalah angka yang tidak sesuai dengan tingkat kecerdasan sebenarnya.Â
Salam hangat, semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H