"The first step toward change is awareness. The second step is acceptance"-Nathaniel Branden
Kita mungkin pernah menjumpai anak yang ketika disuruh tampil di depan teman-temannya merasa malu atau sempat mengatakan "aku tidak bisa", "aku takut", dan sebagainya. Hal serupa pernah saya alami sendiri. Ketika itu saya sedang mendampingi keponakan yang di mana pada masa pandemi ini sekolahnya dilaksanakan secara daring. Pembelajaran yang berlangsung saat itu kalau saya tidak salah ingat adalah tentang seni cetak. Sang guru meminta anak didiknya menyiapkan cat air, air, dan kertas. Kemudian cat air tersebut diratakan di telapak tangan dan ditempelkan pada selembar kertas. Setelah itu anak diminta untuk berkreasi dari bentuk telapak tangan yang sudah ada. Akhirnya saya mencontohkan kepada keponakan saya dengan menambahi gambar mata, paruh, dan kaki sehingga cetakan telapak tangan tadi tampak seperti hewan ayam. Selanjutnya saya memberi arahan untuk menambah gambar rumput. Tidak lama kemudian ia mengatakan "Tante saja, aku enggak bisa". Saya pun segera memberi motivasi bahwa kamu bisa. Kenyataannya ia bisa melukiskan gambar rumput dengan perlahan-lahan.Â
Peristiwa tersebut berkaitan dengan self concept atau gambaran anak tentang self awareness yakni kesadaran diri. Pada kejadian di atas anak masih belum memiliki kesadaran diri secara utuh. Loh, kesadaran diri? Memangnya dia pingsan? Hehehe, kesadaran diri yang dimaksud bukan berarti pingsan atau tidak sadar ya teman-teman.Â
Self Awareness (kesadaran diri)
Kesadaran diri merupakan sebuah kemampuan seseorang dalam mengenali maupun memahami perasaan serta bagaimana pengaruh perilaku seseorang terhadap orang lain. Menurut Papalia (2008: 223) dalam Dessy Putri W (2019: 16) kesadaran diri adalah dasar kecerdasan emosional. Â Setiap orang mempunyai berbagai macam potensi kecerdasan pada dirinya, hanya tingkat kecerdasannya saja yang berbeda. Apabila tingkat kecerdasan emosi pada seseorang itu bagus, maka ia akan berusaha untuk menyadari setiap emosinya. Kemudian Goleman (2007: 143) dalam Dessy Putri W (2019: 16) menuturkan bahwa kesadaran diri merupakan perhatian terus menerus terhadap keadaan batin seseorang. Adanya kesadaran diri pada setiap manusia menjadikan diri kita untuk lebih bisa merasakan, memahami, memilah perasaan, dan mengetahui penyebab munculnya sebuah perasaan.Â
Dikutip dari laman www.goodnewsfromindonesia.id bahwa terdapat dua jenis self awareness, yakni public self awareness dan private self awareness.Â
- Public self awareness:Â jenis ini tampak ketika diri kita mulai menyadari bagaimana penampilan kita menurut orang lain. Menurut hasil riset apabila kita memiliki public self awareness yang baik maka kita juga mampu melihat sebuah peristiwa dari berbagai perspektif, serta dapat memiliki rasa empati/ peduli yang baik.Â
- Private self awareness:Â jenis ini tampak ketika diri kita menyadari adanya beberapa aspek dalam diri kita sendiri. Contohnya adalah kita dapat mengenali wajah kita ketika bercermin, mengenali apa yang ada dalam pikiran kita, dan sebagainya.Â
Tidak hanya orang dewasa saja yang perlu memiliki self awareness, anak sejak usia dini pun juga penting memiliki self awareness. Seberapa pentingkah self awareness atau kesadaran diri ini dimiliki oleh anak usia dini? Lantas bagaimana upaya menumbuhkan kesadaran diri pada anak usia dini? Â
Ketika anak mulai mampu menggunakan kata "saya" dan "kamu" di sinilah artinya anak mulai sedikit mengenali siapa dirinya. Selain itu lingkungan sekitar anak juga mendukung dalam menumbuhkan self awareness pada dirinya. Dalam menumbuhkan self awareness atau kesadaran diri pada anak usia dini salah satunya dapat dilakukan dengan bermain melalui bercermin. Kemudian sebagai orang tua juga dapat melalukan beberapa stimulasi, antara lain:
- Memberikan rasa aman dan nyaman
Ketika anak merasa aman dan nyaman, maka kesadaran pada dirinya akan tumbuh dan akan merasa bahwa ia diterima oleh lingkungannya. - Memberikan pujian atas pencapaiannya
Anak perlu diberikan apresiasi positif dalam setiap pencapaian yang baru dikerjakannya. Meskipun tidak berupa barang setidaknya sebuah pujian pun mampu mengembangkan rasa percaya diri pada anak. Contohnya, "Adik pintar sekali, makannya habis, nanti biar cepat gedhe ya."Â - Memberikan tanggapan positif
Sebisa mungkin hindari emosi negatif pada anak. Contohnya seperti cerita singkat yang saya sampaikan di awal tadi, yakni ketika Si anak berkata "tidak mau" atau "tidak bisa" maka kita sebagai orang tua baiknya memberikan tanggapan positif bahwa ia pasti bisa, bukan malah men judge anak dengan tanggapan negatif. - Mengenalkan beragam emosi
Ketika anak tiba-tiba menangis tanpa kita ketahui apa yang ia inginkan, maka sebagai orang tua dapat menanyakan pada anak, seperti "Adik ingin apa?" atau "Adik kenapa menangis? Apakah adik sedih?", dan semacamnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat membantu anak dalam mengetahui perasaan yang tengah dialaminya.
Selain dapat menumbuhkan self awareness atau kesadaran diri beberapa stimulasi di atas juga bermanfaat dalam menumbuhkan rasa kemandirian pada diri anak.Â
Demikianlah tulisan saya semoga bermanfaat, salam hangat!Â
Referensi:Â
Wahyuningtyas, Dessy Putri. 2019. Optimalisasi Personal Awareness Anak Usia Dini Melalui "The 7 Habits". Jurnal Warna. Vol. 3, No. 1, Halaman 15-30
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H