Mohon tunggu...
Rofidah Nur F
Rofidah Nur F Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi PIAUD UIN Malang

Dipaksa, terpaksa, terbiasa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Disgrafia, Bukan Berarti Tingkat Inteligensi Anak Rendah

20 April 2021   22:57 Diperbarui: 21 April 2021   00:04 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan menganggap anak dengan gangguan disgrafia sebagai anak bodoh atau pemalas, karena disgrafia tidak ada kaitannya dengan tingkat inteligensi anak.

Seorang guru yang menuliskan materi di papan tulis adalah suasana yang kerap dijumpai ketika duduk di bangku SD. Ketika papan tulis sudah penuh dengan catatan materi, kemudian guru akan meminta para muridnya untuk menyalin materi tersebut. Apabila dirasa waktu sudah cukup lama untuk murid menyalin materi itu, maka guru akan meminta salah satu murid untuk menghapus papan tulis dan guru akan melanjutkan catatan materi yang disampaikan. Namun, hal ini dirasa berat bagi anak-anak yang mengalami disgrafia. Wait! Sebenarnya apa yang dimaksud disgrafia serta bagaimana penanganan bagi anak yang mengalami hal tersebut? 

Yaa.. disgrafia merupakan sebuah gangguan dalam proses belajar, tepatnya pada bidang menulis. Sebelum membahas lebih dalam tentang disgrafia, saya ingin sedikit berbagi kisah terkait menulis. Sejak Mts saya senang sekali menulis, terlebih dalam menulis catatan-catatan penting menyangkut materi yang saya pelajari. Rasa senang ini dibarengi dengan ditunjuknya saya sebagai sekretaris kelas ketika duduk di bangku kelas 9 MTs. Selanjutnya menginjak bangku Aliyah yang juga demikian, perasaan senang menulis masih terpatri dalam diri saya. Pada akhirnya masuklah saya di dunia perkuliahan, di mana terdapat salah satu mata kuliah yang diharuskan untuk mengekspos seputar apa yang dipelajari dalam mata kuliah tersebut, yaitu dalam bentuk tulisan atau video. JIka memilih untuk menulis, maka media yang digunakan salah satunya adalah kompasiana. Setiap mahasiswa harus mendaftar dan memiliki akun kompasiana terlebih dahulu sehingga dapat menulis pada blog ini. 

Saat pertama kali diberi tugas untuk menulis betapa senangnya saya, sehingga saya begitu bersemangat dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan ini. Seiring berjalannya waktu, dalam menulis saya merasakan sesuatu yang mungkin teman-teman juga pernah merasakannya. Rasanya seperti kehabisan kata-kata atau bingung dalam merangkai kalimat yang akan ditulis. Mengalami hal tersebut saya jadi sedikit aras-arasen untuk menulis atau yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan malas. Namun, saya teringat dengan sebuah kalimat yang dikatakan dosen saya. Bunyi kalimat tersebut kurang lebih seperti ini "Menulis karya itu berharap dapat masukan, kalau mengerjakan tugas itu berharap nilai tapi takut masukan". Dari sinilah saya mulai termotivasi lagi untuk menulis dan saya mengubah mindset yang awalnya tugas menjadi karya. Mengapa demikian? Karena jika kita mnganggap sebagai tugas pasti akan terasa berat. Lain halnya dengan karya, pasti kita akan bersemangat untuk mengerjakan serta menghasilkan karya yang bermanfaat dan dapat dinikmati banyak orang. 

Baiklah, sekarang saya akan kembali membahas disgrafia yang disebut-sebut sebagai gangguan dalam menulis. Biasanya disgrafia terjadi pada anak SD awal-awal yang baru saja pindah dari bangku TK. Namun, tidak menutup kemungkinan disgrafia juga dapat dialami oleh seorang remaja. Pada umunya anak yang mengalami disgrafia sama dengan anak normal, hanya saja yang membedakan adalah kesulitan dalam belajar dan lambatnya dalam menulis. Menurut Abdurrahman (1998) dalam Suhartono (2016) anak disgrafia ditandai dengan kesulitan dalam membuat huruf (menulis) dan simbol matematis. Sebagai orang tua atau guru alangkah baiknya tidak menganggap anak dengan gangguan disgrafia sebagai anak bodoh atau pemalas, karena disgrafia ini tidak ada kaitannya dengan tingkat inteligensi anak. Melainkan yang harus dilakukan adalah terapi atau melakukan penanganan yang tepat, agar anak mampu berkembang dengan baik. 

Sebelum melakukan terapi, perlu kita ketahui hal-hal yang menyebabkan terjadinya gangguan disgrafia ini. Sebenarnya gangguan disgrafia tidak diketahui secara pasti, tetapi jika gangguan ini terjadi secara tiba-tiba pada anak ataupun kalangan remaja dan dewasa, maka dapat memunculkan beberapa dugaan. Dugaan tersebut adalah trauma kepala atau mungkin seseorang yang bersangkutan pernah mengalami kecalakaan dan mungkin disebabkan penyakit lainnya. Adapun penyebab yang paling umum yaitu, berhubungan dengan neurologis. Seperti yang diungkapkan Suhartono (110: 2016) penyebab yang paling umum adalah neurologis, yaitu adanya gangguan pada otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Sedangkan penyabab terjadinya disgrafia menurut Lerner (2000) dalam Suhartono (2016) antara lain: 

1. Gangguan motorik anak
2. Gangguan perilaku yang dialami anak  
3. Gangguan persepsi pada anak
4. Gangguan memori  
5. Gangguan tangan pada anak
6. Gangguan anak pada saat memahami intruksi
7. Gangguan kemampuan melaksanakan cross modal  

Dari beberapa penyebab di atas dapat diketahui apa saja gejala yang terjadi apabila anak mengalami disgrafia. Beberapa hal ini dikemukakakn oleh Julie Kendell dan Deanna Stefanyshyn (2012) dalam Suhartono (2016), yaitu: 

1. Kemampuan verbal kuat tapi keterampilan menulis miskin
2. Banyak kesalahan tanda baca atau malah tidak menggunakan tanda baca sama sekali
3. Banyak melakukan kesalahan ejaan atau bisa juga terjadi tulisan terbalik
4. Terdapat inkonsistensi dalam penggunaan huruf besar dan huruf kecil
5. Ukuran huruf tidak teratur, bentuk berubah-ubah, besar kecil, tegak dan miring
6. Terjadi unfinished (penghilangan huruf atau kata)  
7. Terjadi ketidakkonsistenan dalam penggunaan halaman, spasi (antara kata), antara huruf, dan penggunaan margin
8. Ada kesalahan dalam memegang pensil
9. Berbicara dengan diri sendiri saat menulis
10. Ketika menulis atau menyalin sangat lambat   

Melalui beberapa penyebab dan gejala di atas, maka guru ataupun orang tua dapat melakukan penanganan atau terapi yang tepat bagi anak yang mengalami disgrafia. Salah satu caranya adalah melatih dan mendampingi anak untuk sering menulis. Lebih jelasnya seperti yang dipaparkan Abdurrahman (1998) dalam Suhartono (2016) antara lain: 

  • Aktivitas menggunakan papan tulis
  • Bahan lain untuk latihan gerakan menulis  
  • Posisi 
  • Kertas
  • Cara memegang pensil
  • Kertas stensil atau karbon
  • Menjiplak
  • Menggambar di antara dua garis
  • Titik-titik
  • Menjiplak dengan semakin dikurangi
  • Buku bergaris tiga
  • Kertas dengan garis pembatas
  • Memperhatikan tingkat kesulitan penulisan huruf
  • Bantuan verbal
  • Kata dan kalimat

Dalam latihan dan pendampingan pada anak yang mengalami disgrafia, guru ataupun orang tua haruslah sabar dan teliti agar anak juga merasa nyaman serta tekun dalam berlatih untuk menulis. 

Semoga bermanfaat bagi teman-teman pembaca! :)

Referensi: 

Suhartono. 2016. Pembelajaran Menulis Untuk Anak Disgrafia di Sekolah Dasar. Transformatika. Volume 12 , Nomer 1, Halaman 107-119

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun