"Sebuah bahasa yang berbeda dengan bahasa kita menandakan sebuah cara pandang yang berbeda terhadap kehidupan" - Federico Fellini
Sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah swt. sudah seharusnya kita mensyukuri nikmat yang tiada tara ini. Allah swt menciptakan manusia dengan dibekali akal. Dengan akal tersebut diharapkan manusia dapat menggunakannya untuk berpikir secara baik. Tidak terkecuali ketika kita mendengar apa yang dibicarakan orang lain, pastinya kita akan menyaring pembicaraan tersebut dan mengambil hal-hal positifnya saja. Begitupun ketika kita akan berbicara, sebisa mungkin kita berupaya untuk tidak menyakiti perasaan orang lain dengan perkataan kita.
Berbicara memanglah sesuatu yang tidak semua orang mampu melakukannya dengan mudah. Apabila seseorang tidak terbiasa berbicara di depan umum yang dirasakan adalah tegang ataupun gugup. Lain halnya dengan orang yang sudah terbiasa dan sudah menjadi passion, berbicara di depan umum dirasa enjoy meskipun audience yang dihadapi puluhan atau ribuan orang.
Bahasa merupakan sebuah media dalam berbicara atau berkomunikasi. Secara umum bahasa memiliki arti suatu yang berbentuk ucapan, tulisan, tanda atau simbol yang dapat digabungkan untuk mengkomunikasikan sebuah makna. Orang yang mampu berkomunikasi dalam artian dapat memproduksi bahasa yang baik serta memahami apa yang dikatakan orang lain padanya merupakan sebuah kemampuan yang berkaitan dengan fungsi otak pada manusia.
Otak merupakan organ vital yang dimiliki setiap manusia. Dikatakan vital karena dalam otak diperkirakan terdapat lebih dari 80 miliar sel saraf (neuron). Bahkan pada sebuah penelitian terakhir mengatakan bahwa terdapat 86 miliar sel saraf pada otak. Otak memiliki struktur yang secara umum kita ketahui adalah cereberum (otak besar), cerebellum (otak kecil), dan brain stain (batang otak). Cereberum ini terdiri dari dua hemisfer (kanan-kiri) dan empat lobus. Pada hemisfer bagian kiri terdapat area Broca dan area Wernicke, kedua area inilah yang berhubungan dengan kemampuan berbahasa seseorang. Dapat juga diartikan sebagai dasar nerulogis bagi bahasa. Sebenarnya bagaimana perbedaan area Broca dengan area Wernicke ? Simak penjelasan berikut !
1. Area Broca
Pada tahun 1861 seorang bernama Paul Broca merupakan dokter bedah asal Prancis melakukan sebuah analisis ilmiah paling awal terhadap bahasa.Paul Broca melakukan observasi pada seorang pasiennya yang mengalami paralisis di sebelah sisi tubuhnya dan hilangnya kemampuan berbicara yang diakibatkan kerusakan neurologis. Kemudian ia melakukan pembedahan pastmortem (pasca kematian) terhadap pasien tersebut. Ditemukan sebuah cedera di bagian lobus frontalis kiri pada otak pasien. Sehingga penemuan inilah yang dikenal sebagai area Broca. Pada studi-studi selanjutnya mendukung observasi Broca, yakni area frontal kiri terlibat dalam kemampuan berbicara.
2. Area Wernicke
Carl Wernicke adalah seorang dokter ahli anatomi berkebangsaan Jerman yang melakukan studi kasus klinis pada tahun 1875. Wernicke menemukan cedera pada otak pasien di bagian lobus temporalis kiri, hal ini berpengaruh dalam pemrosesan bahasa. Dampak yang diakibatkan dari kerusakan tersebut berbeda dengan dampak kerusakan akibat cedera di area Broca. Kerusakan di area Wernicke mengurangi kemampuan untuk memahami kata-kata lisan dan tulisan, namun masih mampu berbicara dengan normal.
Dapat disimpulkan bahwa area Broca berkaitan dengan produksi bahasa (languange production), sedangkan area Wernicke berhubungan dengan pemahaman bahasa (languange comperhension).
Pernahkah teman-teman menonton film berjudul Taare Zameen Par? Film berbahasa India yang rilis pada tahun 2007 ini menceritakan seorang anak bernama Ishaan yang mengalami penyakit disleksia. Apa itu disleksia? Disleksia adalah sebuah ketidakmampuan seseorang dalam memahami bacaan. Orang yang menderita disleksia cenderung tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah umum dan sering dicap sebagai orang bodoh. Disleksia tidak ada obatnya, namun dengan melakukan terapi maka akan membantu penderita disleksia untuk dapat berkembang secara normal. Seperti yang diceritakan dalam film Taare Zameen Par, seorang Ishaan mengalami kesulitan dalam membaca, menulis, serta mengenali huruf. Ishaan tidak dapat membedakan huruf "d" dengan "b" atau "p". Ia juga kesulitan dalam membedakan suku kata yang bunyinya hampir sama, misalnya "Top" dengan "Pot" atau "Ring" dengan "Sing". Bahkan ia juga sering menulis huruf secara terbalik.
Masalah disleksia ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Neuroanatomi
Sebagian besar penderita disleksia bermasalah pada bagian neuroanatomi (susunan otak). Kasus yang paling sering muncul pada penderita disleksia adalah masalah pada bagian otak kiri, tepatnya pada Broca's area dan Wernicke's area. Kedua bagian ini adalah bagian otak yang berperan penting pada proses bahasa.
2. Genetik
Berdasarkan penelitian Dearbon (1929), ditemukan bahwa orang yang dengan riwayat keluarga (family trees) buta huruf, akan cenderung memiliki keturunan yang beresiko buta huruf pula. Buta huruf itu yang saat ini kita kenal dengan disleksia. Hal ini kemudian mulai terbukti secara medis, bahwa disleksia diturunkan dari generasi ke generasi melalui faktor hereditas.
3. Masalah Visual dan Pendengaran
Masalah visual dan pendengaran merupakan masalah diluar faktor hereditas sebagai penyebab disleksia. Pada beberapa kasus, para penderita disleksia kesulitan untuk membaca sebab terdapat masalah pada fungsi visual, seperti pergerakan mata yang tidak fokus, masalah pada retina mata, serta masalah pada saraf-saraf yang menghubungkan mata dan otak sehingga tulisan yang dilihat tidak dapat diterjemahkan dengan benar pada bagian otak. Masalah ini sering kali muncul pada penderita disleksia yang kesulitan membaca dan menulis. Beberapa penderita disleksia juga bermasalah pada bagian pendengaran sehingga bunyi-bunyi dari setiap huruf yang ditangkap akan diterjemahkan secara berbeda. Masalah ini sering kali muncul pada penderita disleksia yang kesulitan untuk mengeja.
Dilansir dari laman alodokter bahwa disleksia tergolong gangguan saraf pada bagian otak yang memroses bahasa, dan dapat dijumpai pada anak-anak atau orang dewasa. Meskipun penderita disleksia kesulitan dalam belajar, penyakit ini tidak memengaruhi tingkat kecerdasan seseorang.
Referensi :
Solso, R.L., Maclin, M.K., & Maclin, O.H. (2008). Psikologi Kognitif, edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H