Mbak Audrey yang kuat ya ...
Tepat nya pagi tadi kubaca kronologi kejadiannya. Sadis karena di lakukan berkelompok dg usia yg lebih tua, lebih besar, lebih dominan. Bukan lagi gender yg berbeda tetapi sama" perempuan.
Lebih 3 jt sudah ttd, terus kemana nasib Mbak" yg 12 org ini? Berakhir di penjara anak? Balik lg ke pembullyan media sosial berjamaah yg sadis tanpa ampun terus menerus bagaikan rantai makanan. Mbak Audrey gmn? Trauma, malu atau sebaiknya memutar keadaan lebih kuat lebih tegar.
Mengapa bisa setega itu sama "adek yg sama" perempuan? Di culik dan di rencanakan, ada geng nya, ada yg dianggap ketuanya. Mengapa bergerombolnya tidak ke positif, misal kegiatan OSIS bergabung dalam sangga di Pramuka atau club" yg asyik kalo di boomerang aktivitas nya. Bukan sesuatu yg salah, kelihatan sok paling jagoan, hilang malu apalagi patuh dan hormat guru.
Mereka anak yg lahir diatas tahun 2000, generasi Z sangat millenial, berdekatan dg media sosial, ruang privacy selebar layar HP. Berpikir sampai melukai "kema*an" perempuan adalah kesadisan luar biasa, ketika Audrey lemah terus semakin ditindas merasa yg paling punya power, paling kuat. Paling bisa tertawa karena menunjukan jenis karakter kekuasaannya. Yang tentunya salah langkah, belum merasa salah dan menyesali.
Mengapa demikian?
Ada yg ditiru, baik secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung bisa dari pola didikan di keluarga, otoriter atau bebas tanpa batasan. Bisa dari guru" yg mendidik, merasa tidak di perhatikan sehingga cari " perhatian " atau sebaliknya otoriter merasakan mendapatkan hukuman yg dibedakan.
Yang tidak langsung pastinya akses media, YouTube yg bnyk like, film atau game yg menuntun perilaku sadis dan tidak peduli. Logika nya sama seperti anak yg dengan bangga nya upload insta membunuh macan dahan, memajang hasil tembakan elang Jawa, apalagi 'keberanian' menyakiti manusia lainnya. Krisis identitas demi famous like supaya diperhatikan bahwa dirinya dan geng nya ada.
Mereka seperti autopilot mencari benar salah, agama dan PKn yg menjadi pola kurikulum karakter tak mampu memahami. Kebayang nggak lingkungan mereka, di CUEKIN, masuk rumah hny bermain dg mobile phone dan yg saling memperhatikan adalah the geng nya. Orang tua tidak mampu menjadi kawan, sahabat curhat dan bicara, anak ogah ngobrol krn pasti paham nnt di jawab apa.
Guru?
Mungkin lg sibuk ngurusin administrasi, biar sertifikasi tidak terhambat atau mengejar akreditasi sekolah. Atau harus mencari kesibukan lain untuk menutup honor yg jauh dari kelayakan.
Masyarakat?
Kontrol media, laporkan kalo mengandung kekerasan, persekusi atau pornografi. Sahabat terdekat dan benteng aman bagi anak adalah keluarga, sekolah dan tetangga. Apakah tetangga terdekat juga memperhatikan apa yg salah atau di luar kebiasaan bagi anak di sekitarnya. Jangan " malah tidak kenal bahkan kenalpun cengkrah krn beda nomor saat nyoblos nantiÂ
Harapan MeSRA Menuju Sekolah Ramah Anak sepertinya tidak hny sekedar keinginan, tetapi kebutuhan :
1. Bapak Ibu Guru yg menyapa, menyalami bahkan " menyentuh " dg kasih sayang selayaknya orang tua.
2. Anak bisa curhat, tidak malu melapor krn system sekolah sudah terbangun "anti bullying"
3. Tidak ada jenis kegiatan semacam ospek atau orientasi pengenalan sekolah dg celah kekerasan baik fisik maupun verbal
4. Sekolah adalah tempat yg menggembirakan bagi semua, beban belajar tidak membebani, mencari ilmu dan membangun karakter baik dg cara yg fun dan bahagia.
Tentunya tidak akan pernah bisa jika orang tua keluarga di rumah tidak melakukan hal yg sama. Family time, taroh gadget ajak anakmu camping atau mancing. Sumber Pict : google
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H