Mohon tunggu...
ro fal
ro fal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Hukum Perkawinan Muallaf Sebelum Masuk Islam

13 Maret 2023   22:22 Diperbarui: 13 Maret 2023   22:31 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BOOK REVIEW

Judul: Pendidikan Hukum Perkawinan Muallaf Sebelum Masuk Islam.

Penulisa : Endang Sedia Ningrum

Penerbit : Penerbit Adab CV. Adanu Abimata

Terbit : 2022

Cetakan : Pertama, Juni 2022

Buku karya Endang Sedia Ningrum yang berjudul "Pendidikan Hukum Perkawinan Muallaf Sebelum Masuk Islam" ini mendeskripsikan tentang hukum perkawinan seorang muallaf sebelum masuk islam, status perkawinannya, akibat dari perkawinan tersebut dan tentang status anak dari hasil perkawinan seorang muallaf sebelum masuk islam itu sendiri secara lebih luas.

 Dalam kehidupan rumah tangga seringkali terdapat perbedaan agama antara suami dan istri yang disebut perkawinan antara agama, atau perkawinan di mana suami istri masih dalam bentuk non Islamnya, yang mana merupakan salah satu bentuk dari kehidupan bersama. Perbedaan itu terjadi sejak awal perkawinan mereka, atau dapat timbul dalam perjalanan mereka, seperti suami istri yang dulunya memeluk agama Katolik atau Kristen dan kemudian keduanya masuk Islam atau salah satunya sehingga demikian perpindahan agama mengakibatkan perbedaan agama antara suami dan istri. Dalam hal ini perkawinan yang dilakukan antara orang yang sama-sama masih dalam keadaan non Islam tidak menimbulkan masalah. Dan yang menimbulkan masalah serta persoalan adalah mengenai perkawinan antara orang berlainan agama. Yang dimaksud perkawinan antara orang yang berlainan agama di buku ini adalah perkawinan orang Islam (wanita atau pria) yang dalam masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :

1.Perkawinan antara seorang pria muslim dan wanita muslim.

2.Perkawinan antara seorang muslim dengan wanita ahli kitab.

3.Perkawinan antara seorang wanita muslim dengan pria non muslim (kafir).

Pada kajian buku ini yang mana perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluknya merupakan cara yang Allah tetapkan sebagai jalan bagi makhluknya untuk melahirkan keturunan, berkembang biak dan menjaga kelestarian hidupnya. Namun Allah menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan tidak ada aturannya, tetapi demi menjaga kehormatan dan bertangga kemuliaan manusia, maka Allah memberikan hukumnya sehingga hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat melalui yang disebut nikah.

Dalam perkawinan diatur siapa saja perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi menurut agama Islam diantaranya mengenai perbedaan agama. Dalam buku ini dituliskan salah satunya yaitu perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab. Dalam hal ini penulis mencoba mengemukakan pendapatnya yaitu bahwa penulis lebih condong kepada pendapat imam Syafi'i dan Muhammad Daud, sebagian dari Mazhab Syafi'i berkata pernikahan ini disunatkan apabila wanita ahli kitab yang akan dinikahi dapat diharapkan keislamannya diriwayatkan bahwa ia kemudian masuk Islam yang selamanya sangat baik, dan dari Muhammad Daud Ali berpendapat bahwa dalam surah al-maidah ayat 5 Allah memberi dispensasi berupa hak atau kewenangan pada pria muslim untuk menikahi wanita ahli kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dikatakan bahwa hak atau kewenangan tersebut dapat dipergunakan oleh pria muslim tergantung pada kondisi situasi dan keadaan dirinya. Karena pada dasarnya laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab asalkan agamanya itu merupakan agama keturunan nenek moyang yang dibawa sebelum nabi menjadi rasul. Akan tetapi untuk saat ini sudah tidak ada lagi wanita kita yang dimaksud dalam Alquran. Oleh karena itu menikah dengan wanita ahli kitab hukumnya haram sebab untuk sekarang ini sudah tidak ada wanita yang disebut dengan ahli kitab.

Dari sini dapat dilihat bahwa dalam buku ini penulis menyajikan sejarah dan pandangan mengenai hukum perkawinan muallaf sebelum masuk islam dari sisi hukum terdahulu dan hukum saat ini, bahwasannya hukum itu dapat berubah sesuai waktu dan kondisi. Dalam buku ini, penulis tidak hanya membahas mengenai hukum perkawinan seorang muslim dengan perempuan ahli kitab saja, melainkan mengenai status perkawinan istri masuk islam, suami istri keduanya masuk islam, dan suami atau istri masuk islam setelah murtad.

Adapun apabila yang masuk Islam istri sedang suami masih kafir atau non Islam maka dianjurkan untuk menguji wanita tersebut apakah wanita tersebut generasi muda kepada Islam atau hanya sekedar melepaskan dari suami dan untuk mencari kesenangan dunia sebagaimana firman Allah dalam surah al-muntahanah (60):10. Dengan demikian maka berarti bahwa perkawinan orang-orang non muslim tidak pernah dipersoalkan selama masih dalam garis-garis yang diperbolehkan untuk menjalani hubungan suami istri oleh Islam dan apabila telah menyimpang dari garis Islam maka perkawinan diputuskan.

Selanjutnya hukum bagi suami istri yang dulu non muslim kemudian masuk Islam maka dalam hal ini ada beberapa mazhab Maliki Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa bila suami istri yang bukan orang Islam lalu berdua masuk Islam maka pernikahan mereka harus diakui tanpa melihat sifat dan bagaimana cara pelaksanaan pernikahannya.

Jika suami atau istri masuk Islam setelah murtad. Jadi orang yang murtad sama dengan orang yang masih musyrik oleh karena itu sudah sepantasnya apabila orang murtad masuk Islam harus memperbaharui perkawinannya. Dengan demikian bahwa murtad adalah salah satu orang dari suami istri yang mengakibatkan orang tersebut menjadi terpisah dalam perkawinan dan untuk menjalin kembali harus melalui pembaharuan perkawinan tetapi dengan syarat sudah bertaubat. Dari uraian tersebut maka semakin jelas bahwa apabila seseorang yang murtad kemudian masuk Islam tetapi hanya suami atau istri atau dengan perkataan lain yang masuk Islam hanyalah salah satu dari suami atau istri maka perkawinan itu harus diputuskan dan apabila terjadi persetubuhan sesudah salah satu dari suami atau istri masuk Islam maka suami wajib membayar maskawin pada istrinya kemudian perkawinan itu harus diputuskan.

Dari perkawinan muallaf di atas maka akan menimbulkan beberapa permasalahan, diantaranya mengenai status atau kedudukan anak-anak dari hasil perkawinan muallaf ini mempunyai tiga golongan, yang pertama anak sah yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang sah maka apabila mengadakan persetubuhan dipandang sah. Yang kedua, anak pembuktian yaitu apabila seorang anak nasabnya tidak dapat ditetapkan dengan pengawasan karena syarat-syarat tidak lengkap maka boleh ditetapkan dengan pembuktian dengan kelahiran atau dengan kesaksian. Yang ketiga, anak pengakuan yaitu seorang anak untuk menetap kan nasab yang sebenarnya dengan memberi perkenan kepada ayah untuk mengakui seorang anak berdasarkan ketetapan sebelumnya bukan karena berzina.

Tapi apabila bersandar kepada fatwa MUI tanggal 1 Juni 1980 yang diulangi tanggal 8 November 1986 maka perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlul kitab maka haram hukumnya sehingga anak-anaknya hanya berasap kepada ibunya saja dan tidak kepada bapaknya. Demikian juga apabila suami istri keduanya masuk Islam maka anak tersebut menjadi anak sah.

Berdasarkan pembahasan dan analisis dari poin-poin sebelumnya maka dapat dikemukakan kesimpulan bahwa status pernikahan yang dilakukan oleh mualaf sebelum ia masuk Islam baik salah satu atau keduanya melalui catatan sipil maka hukumnya adalah tidak sah jika salah satu dari mereka tetap diperbolehkan menikah dengan wanita kita biar akan tetapi yang dimaksud dalam Alquran dan mereka termasuk dalam kategori wanita musyrik hingga haram hukumnya dengan mereka. Dan untuk akad nikah yang dilakukan oleh muallaf yang belum masuk Islam melalui catatan sipil di mana mereka masih tetap dengan agamanya masing-masing maka hukum akad nikah yang dilakukan oleh mereka adalah gugur dan harus diulang kecuali jika mualaf itu kedua-duanya masuk Islam maka akad nikahnya tidak dipermasalahkan karena hukumnya sudah sah dan tidak perlu mengulang akad nikahnya.

Terlepas dari pembahasan diatas, buku ini cocok untuk dijadikan pegangan atau rujukan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa program studi Hukum Keluarga Islam karena pembahasan dalam buku ini mengenai hukum-hukum pernikahan bagi seorang muallaf terpaparkan secara rinci dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembacanya dan memadukan hukum islam dan hukum positif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun