Mohon tunggu...
Oom Roes
Oom Roes Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Solo, sekolah di FE Undip Semarang dan University of Oregon, AS, bekerja di Bank BRI sampai tahun 2002, sekarang tinggal di Bintaro Jaya, Tangerang. Twitter @roesharyanto FB: Oom Roes

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stand Up Comedy

8 Juni 2015   06:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:17 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stand-up comedy (SUC), secara sederhana dapat didefinisikan dengan melawak sendirian. Caranya dengan melakukan monolog yang menghasilkan cerita lucu, bukan dengan menceritakan anekdot-anekdot  atau cerita-cerita humor yang sudah sering didengar orang.  Juga bukan dengan bahasa tubuh atau riasan wajah dan kostum yang aneh-aneh untuk memancing orang ketawa. Jadi harus bisa membuat orang ketawa murni dari monolognya, bukan dari lain-lainnya. Jauh sebelum TV-TV menyiarkan acara SUC, kita sudah mempunyai tokoh-tokoh SUC yang hebat.  Tahun 50-an, orang-orang yang seusia saya pasti mengenal pelawak dari Jogya dengan nama Guno Taruno. Menurut saya, beliau ini (pekerjaan aslinya guru STM) adalah artis SUC yang belum ada tandingannya.  Grup lawak Srimulat adalah gudangnya SUC. Dalam setiap pementasan, sebelum masuk ke cerita pokoknya selalu diawali dengan SUC. Biasanya diperankan oleh tokoh pembantu yang melakukan analisa amatiran tentang situasi saat itu (yang dipleset-plesetkan), atau menceritakan pengalamannya sendiri sebagai pembantu. Ada Basuki, Gepeng (dua-duanya sudah almarhum), Polo, Bambang Gentolet, untuk sekedar menyebut beberapa artis Srimulat yang ahli SUC. Kalau seandainya saya mendapat kesempatan tampil di acara SUC, kira-kira saya akan bercerita sebagai berikut.

 

Kisah hidupku dan Soto Ngasem

Perkenalkan, nama saya Roes Haryanto, tapi di media sosial saya lebih dikenal dengan nama Oom Roes, lahir di Solo tahun 1945. Jadi sekarang saya sudah berusia lebih dari 70 tahun. Alhamdulillah, masih diberi kesehatan dan kebugaran. Diusia yang boleh dikatakan lanjut  ini,  saya masih kuat  tiap hari mandi air dingin. Kenapa saya selalu mandi dengan air dingin? Karena dirumah tidak ada air panas. Saya hanya mandi air panas kalau nginep di hotel saja. Kalau pas nginep di hotel, sehari saya mandi 3 kali, semuanya pakai air panas. Mumpung ada fasilitasnya. Saya kalau check in  ke hotel, begitu masuk kamar langsung semua lampu  saya nyalakan, nyalain AC, TV dihidupin walaupun ngga ditonton. Kapan lagi bisa nyalain semua alat-alat  listrik tanpa dimarahin istri.

Sekali lagi alhamdulillah, saya juga tidak ada pantangan makanan, semua bisa di-embat.  Tidak takut kolesterol, asam urat, atau diabetes. Syaratnya satu, asal tidak bayar sendiri. Kalau bayar sendiri, makan udang sedikit saja cholesterol langsung naik. Tekanan darah juga normal, 130/80. Khususnya kalau tanggal-tanggal muda, habis ambil pensiun.  Kalau tanggal tua tensi biasanya agak sedikit tinggi. Herannya, kalau pas lagi ke dokter, dicek tekanan darah biasanya juga cenderung tinggi. Terutama kalau dokternya masih muda dan cantik lagi. Untuk mata, saya ada sedikit kelainan, sudah lama ngga sembuh-sembuh.  Pernah saya periksakan ke dokter. “Keluhannya apa pak?” tanya dokternya.  “Ini dok, mata saya itu kalau lagi lihat uang kok berubah warnanya jadi ijo, terus kalau lihat cewek cantik jadi agak melotot, susah berkedip.” kata saya. “ Ooh itu bukan sakit, itu namanya mata duitan sama mata keranjang.” Kata dokternya.

Saya dulu sekolah di SMA 4 Manahan.  Jendral Wiranto itu dulu 2 tahun adik kelas saya. Setiawan  Jody juga satu almamater dengan saya.  Untuk kegiatan diluar sekolah, kalau sekarang mungkin namanya ektra kurikuler, saya memilih karawitan Jawa alias nabuh gamelan.  Di grup karawitan saya pegang instrumen gong. Alat ini gampang-gampang susah. Tidak terlalu sering dipukulnya, tetapi harus tepat timing-nya. Saya sering dimarahi kawan-kawan gara-gara telat mukul gong. Belum lama ikut karawitan saya sering diejek teman-teman, ngapain jaman sekarang masih nabuh gamelan. Ngga ranking, kalau istilah gaulnya. (Sekarang saya nyesel kenapa dulu saya tidak selesai menekuni kegiatan seni yang adiluhung ini)  Akhirnya saya jadi ikut-ikutan ngeband. Di band saya mendapat  tugas sebagai penyanyi, karena semua alat musik sudah ada yang  pegang. “Roes, sementara kamu sebagai penyanyi latar dulu, alias  bagian cuap-cuap yeah-yeah.  Nanti kalau penyanyi utamanya  berhalangan kamu boleh nyanyi sendiri.” kata Djoko, pemimpin band. Tapi karena penyanyi utamanya ngga pernah absen, jadinya saya cuap-cuap terus. Selepas sekolah, sebelum mendapat pekerjaan, dengan berbekal pengalaman ngeband, saya mencoba berkarir dibidang tarik suara. Saya sempat menjadi penyanyi solo selama 2 tahun. Bosen sebagai penyanyi Solo, saya pindah jadi penyanyi Jogya

Di Solo saya tinggal di Baturan, bagian barat Solo, lebih dekat ke bandara Adisumarmo.  Kalau mau ke Semarang, tidak harus masuk kota lagi tapi pakai jalan pintas langsung ke luar kota lewat Ngasem. Ngasem ini terkenal dengan soto (saoto) dagingnya. Soto Ngasem, sejak saya SMA dulu sampai sekarang masih tetap ramai. Dulu hanya hanya ada 1 ruangan, ruang masak  dengan  tempat  pelanggan makan jadi satu. Setelah semakin laris, sekarang sudah jadi 3 ruangan. Ruang belakang  khusus untuk masak, ruang tengah untuk soto Ngasem asli, dan ruang depan untuk soto campur. Itu penjelasan pak Jito, pemiliknya. Saya penasaran, “Kok ada soto campur sekarang, maksudnya soto apa pak? “ tanya saya. Soto campur debu, karena yang  ruang depan persis pinggir jalan yang rame lalulintas kendaraan, katanya.

Pak Jito anaknya tiga. Paling besar laki-laki, namanya Sudaryanto, dipanggilnya Sudar. Nomer dua perempuan, namanya Lastri. Paling kecil laki-laki, namanya Warsito.  Sudar selepas  SMA tidak melanjutkan kuliah, karena harus membantu ayahnya yang sudah tua mengurus  restoran.   Belakangan dia menyesal melihat teman-temannya pada lulus  sarjana.  Akhirnya, walau agak terlambat, dia memutuskan sekolah lagi di Unversitas Terbuka (UT), ambil jurusan manajemen.  Berhasil selesai juga. Hanya sekarang kesehatannya agak menurun, sering  sakit  flu, batuk, masuk angin. Mungkin keseringan kepanasan dan kehujanan, gara-gara terlalu lama sekolah ditempat  terbuka.

Lastri begitu selesai SMA langsung meneruskan kuliah di fakultas kedokteran swasta, dengan status disamakan. Ketika saya tanyakan, disamakan apa? Disamakan “dukun” katanya. Sekarang,  dokter begitu lulus bisa langsung  praktek atau ambil spesialisasi kalau mau. Dulu, harus kerja di pemerintah selama beberapa tahun dulu, namanya program PTT (pegawai tidak tetap) dan ditempatkan di Puskesmas di daerah terpencil.  Menurut  cerita Lastri, dia pernah punya pengalaman yang mengaharukan ketika ditempatkan di daerah yang miskin selekali.  Suatu hari selesai memeriksa pasien, dia memberi obat 2 macam, syrup dan kapsul.  “Pak, ini syrup dan dan kapsulnya diminum sehari 3 kali, sehabis makan. “  kata Lastri. Orangnya segera keluar , tapi tidak langsung pulang. Dia perhatikan dari balik jendela ruang praktek, kelihatannya bingung, kayanya ada sesuatu yang difikirkan. Tak lama kemudian dia masuk ke ruang praktek lagi. “Ada apa pak, “ tanya Lastri. “Maaf bu dokter,” jawabnya, “ apa boleh obatnya diminum sekaligus sehari 1 kali.?”  “Ooh ngga boleh pak, itu sudah aturannya, kalau sekaligus  malah bisa berbahaya.  Memangnya kenapa pak?” tanya Lastri. “Maaf  bu dokter,” jawab si pasien sambil ragu-ragu,” saya dirumah makannya hanya sehari sekali.”

Warsito, yang  paling kecil, ini yang paling bandel. SMP saja ngga lulus, habis itu dia minta ijin mau mencari kerjaan ke Jakarta.  Lama sekali ngga kedengaran lagi kabarnya, tahu-tahu  dia muncul kembali pulang. Didepan rumahnya ada papan nama besar : Warsito, ahli terapi pijat dan urut.  Berijazah.  Ketika sempat ketemu, saya tanya:” War, kamu ahli urut berijazah, memangnya ijazah apaan?”  “Ijazah SD Oom,” jawabnya tenang.

 

Stand-up Comedy sekarang.

SUC sekarang tidak sepenuhnya memenuhi kaidah-kaidah diatas. Mungkin karena kurang persiapan, atau karena terlalu sering muncul, banyak yang kehabisan bahan dan lawakannya seperti dipaksakan. Saya jarang bisa ketawa nonton SUC di TV. Waktu Srimulat masih ada dulu, saya malah masih sering terpingkal-pingkal. Banyak juga yang tampil dengan riasan wajah, potongan rambut, dan kostum yang aneh-aneh, yang seharusnya tidak ditemukan di SUC. Bahkan ada yang sekarang tampil berdua atau bertiga. Kalau yang begini jelas bukan SUC lagi. Menurut saya humor itu serius. Untuk bisa mengarang cerita lucu yang orisinal perlu waktu, perlu pemikiran. Hasilnya bukan sekedar humor murahan, tetapi intelligent jokes. Untuk saat ini yang saya anggap paling berhasil sebagai Stand-up comedian hanya Cak Lontong. Sayang karena permintaan bisnis, terlalu sering tampil, akhirnya terjadi pengulangan-pengulangan juga. Di Amerika ada profesi yang namanya “gags writer” atau penulis cerita lucu. Mereka ini menerima pesanan atau menjual monolog lucu untuk para SU comedian. Itulah sekelumit kisah hidup saya. Jangan percaya, namanya juga stand up comedy.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun