Itu yang saya rasakan saat mengambil orderan food, tahun lalu. Sekaligus, kemungkinan yang terakhir kali saya ambil.
Kecuali, jika ongkosnya lumayan. Itu lain cerita.
Namun, kalo cuma ongkirnya delapan ribuan seperti yang didapat rekan ojol tadi, ya ogah. Sebab, udah aturannya ribet  harus kena parkir pula.
Padahal, di kawasan yang sama, ada mal yang menurut saya cukup ramah terhadap ojol. Yaitu, Pacific Place (PP) yang menyediakan parkir gratis untuk ojol dan kurir paket.
Mereka juga memperbolehkan ojol untuk memakai atribut dengan syarat jaketnya dibalik. Atau ditenteng, yang tidak dipermasalahkan.
Menurut saya aturan di PP cukup fair. Kendati, larangan memakai jaket ojol di beberapa mal, apartemen, atau gedung perkantoran, memang kerap mengundang pro dan kontra.
Namun, sebagai tamu, saya selalu menghormati aturan yang dibuat tuan rumah. Sesimpel itu.
Jika ada aturan lepas jaket, ya saya lepas. Kalo boleh dipakai, ya saya pakai.
Sebab, saya memahami, jaket ojol apa pun itu aplikasinya, jika dipakai di mal bisa diidentikkan sebagai iklan berjalan. Itu mengapa, hampir seluruh mal, plaza, atau pusat perbelanjaan di Jakarta, khususnya yang elite, memberikan larangan.
Hanya, aturan paling ekstrem yang saya ketahui ada dua. Yaitu, Ashta dan Plaza Indonesia (PI).
Keduanya mewajibkan ojol untuk menyimpan jaketnya di motor. Tidak boleh dipakai terbalik atau ditenteng.