"Oo... Berapa harganya?"
"Sembilan (juta) untuk S7 dan 10-an buat S7 Edge."
"Aih... Mahal bener. Hampir sama harganya kayak motor saya."
"Ya begitu. Produknya emang keren sih..."
Demikian percakapan saya dengan rekan Kompasianer -julukan untuk sesama blogger Kompasiana- di salah satu Services Center Samsung di kawasan Kuningan, Jakarta, Selatan, pada akhir Maret lalu. Kebetulan, sosok yang saya kenal sejak lima tahun lalu itu sedang memperbaiki Galaxy Tab-nya. Sambil menunggu gadget-nya selesai, saya pun berkeliling di Service Center tersebut. Khususnya, menyimak info Galaxy S7 dan S7 Edge.
"Apa kelebihan S7 dan S7 Edge ini hingga harganya selangit, mbak?" ujar saya kepada salah satu pegawai di Services Center itu.
"Fitur, kualitas, dan kemewahan mas."
"Kekurangannya mbak?"
"Mas bisa lihat sendiri spesifikasinya," tutur pegawai tersebut dengan manis sambil memperlihatkan berbagai fiturnya di dua perangkat itu yang awalnya saya kira hanya dummy alias pajangan.
Tentu, saya tertarik dengan kemewahan yang dimaksud. Maklum, harga keduanya dengan yang termurah Rp 9 juta itu sangat menarik perhatian. Lantaran yang termurah saja, nyaris enam kali lipat dari ponsel saya saat ini (J1). Apalagi, meski saya tidak bermaksud membeli karena hadir di Services Center itu hanya untuk menunggu perbaikan tab milik rekan Kompasianer, naluri saya sebagai blogger tetap bekerja.
Sebagaimana saya biasanya berusaha menulis artikel dengan dua sisi (cover both side), begitu juga dengan saat itu. Galaxy S7 dan S7 Edge sudah pasti memiliki banyak kelebihan. Bagaimana dengan kekurangannya? Ini yang menggugah rasa penasaran saya sambil menunggu antrean rekan.