* Â Â Â Â * Â Â Â Â *
"Tiada gading yang tak retak."
Demikian adagium lawas berkata yang selalu saya percaya. Sebab, layaknya kehidupan, tentu terdapat dua sisi berbeda. Hitam dan putih, tua-muda, pria-wanita, dan positif-negatif. Itu yang saya ketahui pada Krishna sejak 28 Oktober lalu. Khususnya dalam dua bulan terakhir setelah insiden 14 Januari yang kebetulan terjadi hanya sehari sebelum pemilik akun twitter @krishna_bd ini genap berusia 46 tahun.
Sudah pasti, saya tidak mengenalnya secara pribadi. Namun, bisa dibilang dalam dua bulan terakhir ini saya intens menyimak perkembangan Krishna di berbagai medsos dan mainstream. Kebetulan, saya kerap melihat berbagai postingannya di Facebook. Nah, di jejaring sosial inilah, Krishna sering berinteraksi dengan teman atau pengikutnya yang mencapai 355 ribu orang.
Ironisnya, saya kerap menyaksikan Krishna terpancing emosinya saat menjawab komentar dari teman atau follower-nya. Salah satunya ketika penulis buku "Geger Kalijodo" ini membalas pernyataan dari salah satu Facebooker pada Rabu (9/3).
"Orangnya berwibawa jago debat.. Yg bilang saya sinting.. Mudah2an saya diberi kesabaran," ujar Krishna terhadap komentar salah satu akun Facebook sambil menampilkan foto orang tersebut. Sudah pasti, jawaban dari sosok yang pada 1996 ditunjuk sebagai Komandan Kontingen Polri untuk misi perdamaian PBB di Bosnia ini mendapat respon yang ramai. Pro dan kontra pun mengalir di status Facebook tersebut hingga mendapat 10 ribu likes, 471 komentar, dan 1.180 kali dibagikan ulang.
Sejatinya, apa yang dilakukan Krishna itu beralasa, lantaran dimaki oknum tersebut sebagai "orang sinting" hingga membuat wibawa Polri hancur. Ya, siapa sih yang ga panas mendapat cercaan seperti itu? Saya pribadi pun tidak dapat menyalahkan Krishna. Pasalnya, mencaci seseorang di dunia maya bisa berujung Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) no 11 tahun 2008.
Itu seperti tertera dalam pasal 27 ayat 3 yang berbunyi: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
Di sisi lain, sebagai publik figur, khususnya aparat kepolisian yang tugasnya melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat, tentu Krishna harus menahan diri. Jujur, saya agak ngeri membaca sepenggal komentarnya yang bisa jadi nadanya bersayap, "Mudah2an saya diberi kesabaran." Tentu, saya enggan membayangkan jika saat itu Krishna tidak bisa menahan amarahnya.
* Â Â Â Â * Â Â Â Â *
Mengamati Krishna dari kejauhan dalam dua bulan terakhir di medsos dan mainstream, bagi saya ibarat menyantap gado-gado. Ada manis, asam, asin, ramai rasanya. Ya, adakalanya perwira menengah (Pamen) itu sangat jenaka dengan menjawab komentar atau menanggapi pertanyaan secara jenaka. Saya akui, faktor humoris dan keramahannya itu yang membuat Krishna mendapat perhatian lebih dari masyarakat luas.
Bahkan, sekilas sosok yang aktif mengampanyekan Turn Back Crime untuk memerangi kejatahan ini mirip Sjafrie Sjamsoeddin ketika dielu-elukan publik karena sikapnya yang ramah di layar televisi setelah Kerusuhan Mei 1998. Saya masih ingat, dulu, ibu-ibu di sekitar kediaman saya sangat heboh jika menyaksikan sosok yang saat itu menjabat sebagai Pangdam Jaya tampil di TV. Selain ramah juga karena Sjafrie dikenal sangat tampan (saat itu belum ada Facebook dan Twitter) dan jadi idola kaum hawa.
Meski begitu, Krishna juga bisa tegas. Itu bisa dibuktikan dengan berbagai pernyataan yang berkaitan tentang Insiden Thamrin, Kopi Sianida, dan Penggusuran Kalijodo. Bahkan, Krishna tidak pernah main-main jika sedang bertugas. A adalah A, B adalah B. Ibarat pendekar silat, jika sudah kewajibannya, bagi Krishna, 'nyemplung ke laut atau lompat ke api', maka hal tersebut bakal dilakoninya.