Lantaran, ada filosofi dan nilai nasionalisme yang dipetik dari kematian Kumbakarna saat menghadapi Ramayana. Bukan untuk membela kakaknya yang diselimuti angkara murka, Rahwana, melainkan, demi mempertahankan negaranya, Alengka, dari serbuan bangsa asing. Momentum seperti itu yang rasanya sulit diteladani dari para pesohor dan pejabat negeri ini.
Sementara, untuk tokoh pewayangan, sejak Juventus menjuarai Liga Champions 1995/96 hingga musim lalu gagal di final, idola saya tetap Wisanggeni. Ya, putra dari Arjuna, sang penengah Pandawa ini murni ciptaan nenek moyang kita. Alias, tidak ada dalam kisah aslinya di India. Beberapa tokoh wayang terkait yang saya tahu seperti Antareja dan Antasena, serta empat punakawan.
Selain "produk lokal", Wisanggeni itu merupakan tokoh yang unik. Sakti mandraguna dan memiliki kekuatan dari Gatot Kaca yang dijuluki otot kuat tulang besi, Antareja (bisa tembus ke dasar bumi), serta Antasena (dapat menyelam di air). Tutur kata Wisanggeni bahkan lebih menyerupai pamannya, Bima, yang tidak pandang bulu, ketimbang Arjuna yang sangat halus.
Meski begitu, karena bukan berasal dari India, keberadaan Wisanggeni bersama Antareja dan Antasena, tidak seperti Gatot Kaca. Penciptanya terdahulu, sengaja "mematikan" ketiga tokoh muda itu sebelum perang Baratayuda yang jadi puncak Mahabharata. Lantaran, nenek moyang kita tidak ingin melanggar pakem dari kisah aslinya.
Ya, masih banyak lagi tentang wayang yang akan saya tulis dalam artikel berikutnya untuk memperingati 13 tahun wayang diakui sebagai warisan dunia sekaligus menyambut Hari Wayang Nasional yang entah kapan ditetapkannya.
- Jakarta, 8 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H