Â
HANYA butuh setengah jam dari Jakarta, biaya yang relatif murah, dan memiliki berbagai kelebihan yang mewakili Pesona Indonesia. Demikian kesimpulan yang saya dapat saat mengunjungi Pulau Bidadari, pada April lalu.
Sebagai blogger yang gemar jalan-jalan meliputi travelling, tamasya, wisata, dan apapun sebutannya, saya harus mengakui, faktor jarak dan biaya, sangat memengaruhi pilihan. Itu mengapa saya sangat senang ketika akhirnya bisa menginjakkan kaki di Pulau Bidadari. Maklum, destinasi di pulau seluas enam hektare (Ha) ini merupakan yang kedua di Kepulauan Seribu, Jakarta, setelah dua tahun lalu mengunjungi Pulau Pari.
Bagi saya, Pulau Bidadari sangat ekostis yang membuat saya terkesan hingga kini. Â Lantaran saya seperti bisa menikmati berbagai keindahan di tempat wisata lain yang digabung jadi satu.Â
Misalnya, sebagai penggemar sejarah, saya dapat menelusuri berbagai peninggalan masa lalu. Salah satunya, Benteng Martello, yang masih kokoh meski dibangun sudah lewat lima abad! Yang menarik, konon, menurut salah satu pemandu wisata, benteng ini memiliki jalur bawah tanah hingga ke Pulau Keloryang lokasinya beberapa ratus meter dengan dipisahkan laut.
Nah, masih di sekitar benteng, terdapat sarang Elang Bondol. Bagi saya yang sehari-hari bepergian membelah ibu kota, tentu tidak asing dengan burung tersebut. Lantaran sering melihatnya sebagai logo di bus Transjakarta. Oh ya, dalam kesempatan tersebut, pemandu wisata juga turut memberi tahu bahwa di Pulau Bidadari masih terdapat hewan langka. Yaitu, Biawak yang memiliki populasi 100 ekor. Beruntung, beliau mengatakan karnivora yang sekilas mirip Komodo ini tidak bakal menggangu manusia.Â
Selain fauna, jangan lupakan keberadaan aneka ragam flora yang sangat memesona. Saat menyusuri pulau yang dulunya diberi nama Pulau Sakit -lantaran dulunya digunakan pihak kolonial Belanda sebagai tempat "pembuangan"- ini memiliki banyak tanaman. Beberapa yang saya ingat seperti Pohon Kayu yang memiliki nama latin Diospyros Maritama, Pohon Glodokan (Polyalthea Longifolia), Pohon Perdamaian (Baringtonia Exelsa), dan Pohon Kepuh (Sterculia Foetida) yang berusia 200 tahun.
Oh ya, keberadaan Labirin Tanaman membuat saya seperti bernostalgia dengan masa lalu. Tambahan lain, di Pulau Bidadari, konon -saya belum bisa membuktikannya- terdapat Pohon Jodoh. Katanya sih, jika ada pasangan yang berfoto di bawah pohon ini, hubungannya akan tetap langgeng. Tentu, ini patut dicoba terlepas benar atau tidaknya. Sayangnya, saat ke Pulau Bidadari, saya hanya sendiri. Alias memang belum berjodoh.
Meski begitu, saya sempat terhibur karena ketika sudah berada di dermaga, bisa menyaksikan beberapa pasangan yang sedang melakukan sesi pemotretan sebelum melangsungkan pernikahan (Pre Wedding). Ya, siapa tahu, dalam beberapa waktu ke depan, giliran saya yang berada di sana.
Menelusuri setiap sudut di Pulau Bidadari sangat menarik. Termasuk ketika melongok ke pondok terapung (floating cottage) yang total berjumlah 60 kamar. Termasuk merasakan sensasi menginap dengan pandangan langsung ke laut lepas. Debur ombak dan semilir angin pada sore hari di pondok membuat pengunjung enggan balik ke rumahnya. Terlebih, pada pagi harinya, jika pengunjung malas mandi, tinggal nyebur ke laut yang dalam keadaan pasang kedalamannya hanya dua meter.
* Â Â Â * Â Â Â *
Selamat datang di Pulau BidadariÂ
* Â Â Â * Â Â Â *
 Prasasati yang menandakan keberadaan pulau ini
* Â Â Â * Â Â Â *
Benteng Martello yang konon menyambung ke pulau sebelahÂ
* Â Â Â * Â Â Â *
 Sarang Elang Bondol
* Â Â Â * Â Â Â *
 Pembibitan Tanaman Bakau
* Â Â Â * Â Â Â *
 Duh... Melihat pondok ini serasa ingin balik lagiÂ
* Â Â Â * Â Â Â *
Entah kenapa, setiap menyaksikan pemandangan ini bikin gimana gitu
* Â Â Â * Â Â Â *
- Senayan, 20 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H