Seusai menunaikan salat dan istirahat sejenak dengan merebahkan tubuh, saya pun mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut dengan berkeliling areal tersebut. Yang menarik, selain terdapat makam yang kemungkinan merupakan para pendiri masjid atau keluarganya. Mata saya tertuju pada langit-langit dan jendela masjid yang mirip rumah adat Betawi.
Sambil meluangkan waktu sejenak di teras, saya pun mencoba untuk mencari tahu tentang masjid tersebut melalui layanan internet di ponsel. Berdasarkan informasi di website Jakarta.go.id, Masjid Hidayatullah masuk dalam daftar cagar budaya kategori B. Sementara, masih dalam situs yang sama namun dengan rincian lebih lengkap, ternyata melebihi ekspekstasi saya.
Lantaran, berdasarkan keterangannya, Masjid Hidayatullah awalnya musala yang dibangun pengusaha batik asal Tiongkok bernama Muhamad Yusuf pada 1921. Karena itu, wajar jika masjid ini memiliki pengaruh Tiongkok dalam arsitekturnya, khususnya pada atapnya yang memiliki dua lengkung di setiap sudut. Terlebih, ternyata tidak hanya gaya Tiongkok juga, melainkan juga pengaruh dari Persia dengan berdirinya dua menara.
Sayangnya, saya tidak berhasil menemui pengelola masjid untuk bertanya lebih lanjut walaupun sudah mendapat petunjuk dari juru parkir. Apalagi, waktu yang sudah sore yang membuat saya harus kembali ke kantor.
Meski begitu, saya sudah cukup puas menyambangi salah satu masjid bersejarah di ibu kota ini yang masih terjaga kendati dikelilingi gedung-gedung bertingkat. Ini mengingatkan saya pada salah satu cagar budaya lainnya di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, yaitu Candra Naya.
Sekilas Masjid Hidayatullah
Lokasi: Jalan Masjid Hidayatullah, Karet Depan (Dr. Satrio), Setiabudi, Jakarta Selatan
Akses: Peta (google maps)
Status: Cagar Budaya golongan B
Fasilitas: Toilet dan tempat wudu untuk pria/wanita, Perpustakaan, kamera CCTV
* Â Â Â * Â Â Â *