* Â Â Â * Â Â Â *
17 September 1904, Kartini harus meregang nyawa di usia muda, 25 tahun. Itu terjadi setelah empat hari sebelumnya Kartini melahirkan anak semata wayangnya, Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat. Kelak, putra tunggalnya itu menjadi seorang pejuang Indonesia melawan penjajahan Belanda dan Jepang, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.
Meski hidupnya singkat, tapi Kartini berhasil memberikan peninggalan penting bagi bangsa ini. Melalu persamaan derajat perempuan, yang tetap dikenang abadi. Di alam sana, mungkin beliau tersenyum karena pemikirannya menjadi tonggak bersejarah. Terutama karena hampir 100 tahun kepergiannya, sudah tidak ada lagi seorang istri yang mlaku ndodok -alias ngesot- di depan suami dan anak sendiri.
Di sisi lain, Kartono tetap meneruskan perjuangan Kartini. Kendati dengan cara sedikit berbeda. Beberapa tahun setelah kematian adik tercintanya, Kartono menjadi Kepala Perguruan Taman Siswa di Bandung dan menjadi senior aktivis pergerakan seperti Sukarno (Presiden RI pertama), Mr. Sunario Sastrowardoyo (mantan Menteri Luar Negeri), Mr. Usman Sastromidjojo (mantan duta besar RI), dan lainnya.
Selain sebagai wartawan dan pengajar, Kartono juga ahli dalam bidang pengobatan. Bahkan, sebelumnya, dia menjabat sebagai kepala penerjemah Liga Bangsa-Bangsa (sebelum PBB) di Jenewa, Swiss pada 1919. Alhasil, bagi saya, baik Kartono maupun Kartini sama-sama seorang tokoh pejuang meski Kartono belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, selayaknya sang adik.
Terima kasih untuk kawan-kawan Kompasianer yang telah memberi koreksi dan tambahan mengenai tulisan ini.
* Â Â Â * Â Â Â *
Referensi: - Manungguling Ilmu dan Laku (Kompas.com) - Proyek Patung Sosrokartono Terindikasi Korupsi (Antaranews.com) - Si Jenius Pujaan Adik (Majalah Tempo, 22 April 2013)
* Â Â Â * Â Â Â *
- Jakarta, 23 April 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H