Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Percakapan di Angkot

22 Januari 2014   03:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak yang mengatakan bahwa sepak bola merupakan alat pemersatu bangsa. Ya, sejak dulu, permainan mengolah si kulit bundar itu tidak sekadar olahraga semata. Melainkan juga sebagai simbol atau bahkan perekat antarsesama manusia.

Sejarah mencatat, meski Jerman Barat dan Jerman Timur sebelum unifikasi pada 1990 terlibat perang dingin. Maklum, kedua negara itu memiliki ideologi berbeda. Satu liberal dan satunya lagi komunis. Namun, jika berbicara sepak bola, masyarakat di kedua negara itu kompak. Bahkan, pada pertengahan 1980-an banyak remaja yang saling menyebarangi Tembok Berlin demi menyaksikan suatu pertandingan.

Sementara, di kawasan Timur Tengah yang hingga kini masih berkecamuk. Sekitar tahun 2010 lalu, dunia internasional sempat dikejutkan dengan duel persahabatan antara klub Palestina dengan Israel. Kendati pertandingan itu tidak terafiliasi FIFA sebagai induk resmi sepak bola tertinggi di dunia. Tapi, kenyataan itu mengingatkan kita bahwa, olahraga terutama sepak bola tidak memandang sekat antara ideologi, keyakinan, maupun SARA.

*      *      *

Hal sama terjadi di Indonesia. Tepatnya di kota Bandung yang kebetulan saya sendiri mengalaminya, meski dari aspek berbeda. Bermula dari percakapan di sebuah angkot jurusan Cibiru – Leuwi Panjang, Kamis (16/1). Saya iseng bertanya kepada sopir angkot berusia setengah baya yang menyebut namanya cukup dipanggil Ucok.

Awalnya, saya sempat heran ketika mendengar pria asal Sumatera Utara itu mengeluh terus. Kebetulan, saya duduk di kursi depan samping kemudi. Karena tak tahan mendengar dirinya terus bersungut-sungut yang diikuti dengan seringnya angkot berhenti setiap beberapa puluh meter sekali.

Saya yang meyakini sopir itu melakukannya demi mencari penumpang kemudian mencoba bertanya. Meski jawabannya sudah saya ketahui karena sepinya penumpang akibat cuaca di kota kembang itu agak gerimis.
Namun, rasa penasaran saya tergoda untuk melakukan perbincangan ketika angkot masih ngetem tidak jauh dari markas Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat di Jalan Soekarno-Hatta.

Alangkah terkejutnya saya ketika mendengar penuturan Ucok. Sebab, sosok berperawakan kurus itu menyebut sepinya penumpang bukan karena hujan yang memang dalam beberapa pekan terakhir terus mengguyur Bandung. Melainkan akibat adanya pertandingan sepak bola Inter Island Cup (IIC) 2014 yang disiarkan di salah satu televisi swasta.

Kebetulan, yang bertanding merupakan tim pujaan warga Jawa Barat, khususnya Bandung, yaitu Persib Bandung. Sementara, lawannya? Lagi-lagi tim asal Jawa Barat, Pelita Bandung Raya (PBR)! Pertandingan yang kerap dijuluki “Derby Bandung” itu disebut Ucok sebagai salah satu penyebab sepinya penumpang.

“Ya begini ni, kalo Persib lagi main. Hampir semua masyarakat, baik pria maupun wanita pada nunda buat pergi. Rata-rata mereka pada nonton dulu di tv. Apalagi, lawannya PBR yang diperkuat Bepe (Bambang
Pamungkas),” kata Ucok sambil menyalakan kreteknya.

Mendengar penturannya membuat saya tertarik untuk bertanya lebih jauh. Meski saya pribadi kurang menyukai sepak bola dalam negeri akibat stigma buruk yang selalu berantem di setiap pertandingan. Namun, keterangan dari Ucok tadi membuat saya tergerak.

Setidaknya, membayangkan fanatisme suporter Persib tatkala menyaksikan PBR diperkuat Bepe yang merupakan ikon Persija Jakarta. Terlebih, ketika Ucok dengan khatam-nya menceritakan secara detail persaingan Persib-PBR yang memikat warga Bandung. Fakta itu membuat saya yakin bahwa Ucok juga mengerti soal sepak bola. Itu yang membuat saya tertarik untuk memancingnya berbicara soal sepak bola.

Khususnya, karena provinsi kelahirannya pun memiliki tim yang tak kalah hebat, PSMS Medan. Ya, mumpung baterai ponsel habis hingga tidak bisa digunakan untuk browsing internet dan perjalanan masih lumayan karena sering berhenti. Saya pun agak terhibur mendengarkan cerita pria yang mengaku hijrah ke Bandung sejak muda.

“Saya sendiri, meski orang (suku) Batak yang fanatik PSMS. Tapi tetap dukung Persib. Beberapa tahun lalu, saya sempat mengajak anak sulung saya ke Stadion Siliwangi menyaksikan pertadingan Persib,” tutur sopir yang memasang mengidolai Panbers ini.

“Pengennya sih, saya nonton Persib di kontrakan. Tapi, berhubung saya dapat aplusan sore (narik angkot dari pukul 18.00-24.00 WIB) terpaksa ga nonton. Semoga aja, Persib menang, hujan berhenti dan penumpang ramai lagi,” Ucok, menambahkan.

Hampir setengah jam saya manggut-manggut mendengar ceritanya yang terkadang berapi-api saat membicarakan Persib dan PSMS. Terutama saat kedua tim melakoni final Perserikatan di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) pada 23 Februari 1985. Saat itu, Ucok remaja termasuk salah satu dari 150 ribu penonton yang konon jadi rekor pertandingan amatir paling banyak ditonton orang di dunia.

“Gila itu. Kalo ngebayangin sekarang, bulu kuduk jadi merinding. Saya yang waktu itu masih ingusan liat pertandingan di GBK benar-benar terkesan,” Ucok mengungkapkan. Sayangnya, lampu merah di perempatan Kiara Condong sudah terlihat yang berarti saya harus melanjutkan perjalanan menaiki angkot berikutnya.

*      *      *

- Cibiru, 22 Januari 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun