Sejak kecil saya sangat mengagumi angka 7 (tujuh). Entah kenapa, bilangan yang terdapat setelah enam dan sebelum delapan itu sangat memesona. Ibarat gadis, tujuh itu seksi. Di sepak bola, tujuh itu keramat. Dalam berbagai literatur yang saya baca, baik kuno maupun post, tujuh adalah penghabisan (selesai). Begitu juga dalam setiap harinya, pasti berjumlah tujuh, mulai dari Jumat hingga Kamis.
Saya pernah diceritakan tentang tujuh tingkatan surga dan neraka, sering memainkan tujuh not balok, menonton film The Magnificent Seven, rutin menyaksikan sinetron 7 Tanda Cinta yang diperankan aktris favorit Ananda Lontoh, menghayati jagoan kungfu seperti Butong Cit Hiap dan Thiansan Cit Kiam, dan mengidolai pemain sepak bola bernomor punggung tujuh seperti Erik Cantona, David Beckham, Raul Gonzalez, Alessandro Del Piero, dan Cristiano Ronaldo.
Selain tujuh, terdapat angka tiga yang selanjutnya paling saya ingat. Minimal karena tiga merupakan angka yang kerap bersinggungan dalam keseharian, khususnya di dunia olahraga. Mencetak tiga gol beruntun dalam satu pertandingan disebut hattrick, meraih tiga gelar pada periode yang sama dinamakan treble seperti yang terjadi pada Bayern Muenchen, FC Internazionale, dan Manchester United.
Jika tujuh bisa disebut penyempurnaan, tiga adalah puncak. Itu bisa dilihat kalau seorang atlet ingin bertanding, pasti dihitung mulai dari satu, dua, dan tiga. Meski pesonanya tidak seseksi tujuh, tapi tiga tetap mempunyai daya tarik tersendiri. Nirvana, contohnya, band yang memiliki tiga penggawa dan tetap dikenal hingga kini. Atau di dunia politik, wartawan senior Budiarto Shambazy beberapa hari lalu menulis di kolomnya dengan memelesetkan Trias Politica pada eksekutif, yudikatif, dan legislatif menjadi Trias Corruptica!
Puncak. Itulah yang mewakili keberadaan angka tiga. Pelatih sepak bola yang paling saya kagumi, Jose Mourinho, harus dipecat dari Real Madrid pada tahun ketiganya. Penyebabnya, pria asal Portugal ini gagal membawa tim berjuluk "Los Galacticos" itu meraih trofi Liga Champions. Pasalnya, dalam tiga musim terakhir, Mourinho hanya mampu membawa Madrid hingga semifinal dan bukan juara! Label gagal pantas disematkan pada sosok kelahiran Portugal ini karena dalam rentang waktu tiga tahun tidak mampu mewujudkan ambisi Madrid dalam merebut gelar yang terakhir dicapai 2002 lalu.
Begitu juga dengan Josep Guardiola yang "harus" mengundurkan diri sebagai pelatih Barcelona di tahun keempatnya. Lantaran, pria yang pernah ke Indonesia tahun lalu itu sudah mengalami periode puncak pada musim ketiga: Meraih trofi Liga Champions dan La Liga Spanyol. Sementara di musim keempat, Guardiola cuma mendapat "trofi" Piala Raja. Itu membuatnya harus mengakui kehebatan Mourinho dan lebih memilih meletakkan jabatan. Padahal, dua musim sebelumnya, sukses memborong banyak gelar bagi tim yang identik bermain ala tiki-taka tersebut. Sebuah kesimpulannya, Guardiola mencapai puncak pada musim ketiga dan selanjutnya, tenggelam.
Di sisi lain, Antonio Conte masih melatih tim favorit saya, Juventus. Ini musim ketiga dari pria bermata biru tersebut bersama "Si Nyonya Tua". Target Conte jelas: Berprestasi di Liga Champions ketimbang mempertahankan gelar penguasa Seri A. Sebelumnya, pria temperamental itu sukses membawa Juventus meraih scudetto beruntun dalam dua tahun terakhir. Namun, gelar domestik itu kurang bergengsi kalau tidak menjadikan "I Bianconeri" sebagai Raja Eropa. Dan, kesempatan itu hanya terdapat tahun ini yang bisa jadi musim terakhirnya bersama Juventus. Jika tidak, pada 29 Mei mendatang Conte harus siap-siap mengemas kopernya dari Kota Turin.
* Â Â Â * Â Â Â *
"Ingat, lompatan besar (prestasi) selalu dimulai dari langkah kecil. Jika itu sudah berjalan sesuai jalur, konsistensi dalam hal apapun akan membuatmu berhasil. Di Indonesia ini banyak orang baik dan benar, tapi mereka ga konsisten. Kalau mau baik, ya baik sekalian. Atau tidak sama sekali."
Ungkapan tersebut masih saya ingat dengan jelas saat menghadiri acara peluncuran novel bergenre komedi dari seorang kawan Kompasianer di Pejaten Village. Mungkin, bunyi kalimat yang diucapkannya tidak persis seperti itu, tapi hampir mirip karena percakapannya terjadi lebih dari dua tahun lalu, tepatnya 14 Mei 2011.
Meski sudah lama berlalu, tapi sedikitnya masihbisa diingat karena itu merupakan momentum pertama saya saat menghadiri suatu acara di Kompasiana. Sebab, sejak itu sampai akhir bulan lalu sudah puluhan kali mengikuti kopi darat (kopdar), mulai dari launching Kompas tv, dua Kompasianival, hingga yang berkesan, Kompasiana Blogshop.