Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Madesu

13 Agustus 2013   04:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:23 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terkadang banyak orang merasa iba menyaksikan kehidupannya yang luntang-lantung. Bagaimana tidak, di usianya yang menginjak hampir seperempat abad masih menganggur. Ya, setiap hari pekerjaan Sugali tidak jelas. Adakalanya sebagai juru parkir liar di kolong jembatan layang yang terdapat di pelataran sebuah mal. Kadang dia mengamen di sekitaran deretan ruko dan rukan atau bus kota.

Tak jarang dia juga ikut memunguti kaleng minuman bekas dan botol plastik air mineral yang di jual perkilo. Tapi, dia lebih sering kongko-kongko tidak jelas di depan gang kediamannya yang terdapat di belakang terminal. Rutinitasnya setiap hari? Menggoda perempuan yang lewat dengan suitan identik dari bibirnya. Mulai dari siswi SMU, gadis kantoran, hingga mbak-mbak konveksi dan sablon.

Malam harinya? Seperti biasa, dia tetap nongkrong bersama teman-temannya  senasib sepenanggungan yang juga pengangguran yang terdapat di belakang terminal. Kerjaannya, ya kalau tidak main catur, gaplek, bahkan nyimeng!

Hal itulah yang membuat Pak Junaidi, ayahnya kerap naik pitam. Juragan kambing di Tenah Abang itu sudah berulangkali memarahinya, hingga pernah mengusir keluar rumah. Namun, Sugali tetap saja membandel. Dia seperti seorang bocah yang masa bodoh dan tidak perduli pada keluarga bahkan dirinya sendiri. Jika bokek, selalu kembali ke rumah menadah kepada sang Bunda yang tidak tegaan. Atau merayu Engkong Rojali, Kakeknya yang mantan jawara Rawa Denok.

Padahal, selain masih menganggur, kehidupan Sugali tidak kekurangan satu apapun. Dia lulusan perguruan tinggi ternama di negeri ini. Warga sekitar menjulukinya sebagai pemuda teladan yang menjadi contoh kaum remaja karena giat beribadah. Orangnya ramah, supel, baik, ringan tangan, dan berbakti kepada Orangtua. Sugali juga aktif sebagai salah satu pengurus organisasi kepemudaan dari tingkat RT hingga Kecamatan. Tampangnya pun lumayan, hidung mancung dengan mata tajam dan senyum menawan yang membuat gadis-gadis seantero Rawa Denok klepek-klepek dibuatnya.

Tapi, itu dulu. Tepatnya tiga tahun silam sebelum pria bernama asli Muhammad Ali Idrus itu terjerumus dunia abu-abu. Memang, benar kata pepatah, ada asap tentu ada api. Menurut penuturan masyarakat setempat, Sugali berubah drastis sejak gagal mengikuti tes jadi polisi. Penyebabnya sepele, gara-gara gagal memberi pelicin pada salah satu oknum yang nominalnya hampir 50 juta.

*      *      *

"Ayo mandi, terus berangkat, jangan celentang aja. Katanya abis lebaran mau cari kerja? Ini udah lewat dua minggu, tapi masih kelempat-lempit aja," ujar Pak Junaidi, membuka percakapan seusai pulang Salat Subuh.

Namun tetap saja putra pertamanya itu masih bergerilya di ranjang. Tidur? Tidak, melainkan sibuk mengutak-atik ponselnya hingga beberapa saat tidak terdengar lagi sahutan ayam yang berkokok.

"Li, Li, apa ga capek ngerasain tiga tahun begini terus, lama-lama masa depan kamu bisa suram. Percuma punya gelar arsitek kalo ga digunain. Kamu ga malu, udah bangkotan masih nadah sama Orangtua? Gimana ntar kalo udah kawin?"

"Kawin? Nikah kali Beh. Gampang itu, tinggal ke KUA. Beres..."

"Terus, kalo nganggur mau kasih makan apa anak sama bini kamu? Dedak!"

"Yaelah Beh. Kalo udah kawin mah, rezeki mah ada aja. Kan, udah diatur, jadi Babeh sama Nyak ga usah pikirin."

"Emangnya kalo ga kerja bisa menuhin kebutuhan dapur? Terus berharap kalo udah kawin ntu duit bisa turun dari langit tanpa usaha?"

"Iya Li, Li. Nyak sama Babeh udah tua. Kami juga kan pengen nimang cucu dan liat kamu jadi orang sukses. Wajar kan kalo Nyak sama Babeh berharap begitu. Rezeki sama jodoh emang udah diatur, alias ga kemana-mana. Tapi kan tetap juga harus dicari di mana-mana. Apalagi kamu itu anak sulung, harapan di keluarga ini sekaligus sebagai contoh yang baik buat adikmu. Emang mau dilangkahi duluan nikahnya?" tutur sang Bunda menimpali.

*      *      *

Dengan wajah memerah, Sugali beringsut dari kamarnya. Bagaimanapun keras kepalanya, dia tetap seorang manusia yang masih mempunyai liangsim. Apalagi, jauh dalam lubuk hatinya, Sugali membenarkan perkataan kedua Orangtuanya. Pemuda berpostur atletis itu ingin segera menghapus memori kelam yang menderanya selama ini.

Ya, kegagalam menjadi seorang penegak hukum meski sudah menyetor 20 juta sempat membuatnya terpukul. Perasaan bersalah karena terlalu percaya pada oknum hingga uang hasil penjualan kambing Ayahnya di musim kurban ludes seketika akibat tertipu. Pada saat bersamaan, dia gagal menyelamatkan sang kekasih hingga harus kehilangan selama-lamanya.

Dengan semangat membara, pengagum Kurt Cobain itu segera menyelesaikan sarapan pagi untuk segera melamar kerja. Untuk pertama kalinya sejak tiga tahun terakhir, sebelum keluar rumah Sugali kembali mencium tangan Nyak dan Babeh. Itu membuat kedua Orangtuanya girang tak kepalang. Terbayang sudah dalam beberapa tahun lagi rumah besar ini menjadi ramai dengan kehadiran cucu dan menantu.

Maklum, sebagai salah satu keluarga terpandang di Rawa Denok, kehidupan mereka sangat kesepian. Babeh, yang asli Betawi, selain punya usaha penjualan kambing juga mempunyai puluhan rumah kontrakan. Sementara, Nyak, membuka gerai butik yang tersebar di beberapa mal elite di Jakarta. Kelimpahan materi tidak membuat mereka bahagia sebelum melihat putra-putrinya memberikan cucu sebagai pewaris di masa depan.

Sebelum menuju kawasan SCBD, Sugali singgah sejenak di belakang terminal. Tujuannya satu, meminjam uang untuk transportasi dan bekal di jalan. Lantaran dia sudah tidak ingin meminta uang kepada kedua Orangtuanya sebagai bukti telah berniat mencari kerja.

Hanya, untuk meraih keberhasilan, niat saja tidak cukup. Melainkan harus dibarengi dengan tekad bersungguh-sungguh. Dan, itu yang terjadi pada Sugali. Sesampainya di belakang terminal, dia kembali tergoda. Adagium lawas mengatakan, siapa yang berada dekat cat akan terkena cipratannya. Baik tinta berwarna putih, abu-abu, atau hitam.

Maksud hati Sugali baik, agar tidak mengecewakan teman-temannya yang menawarkan segelas wine sekaligus salam perpisahan terakhir meneguk minuman haram tersebut. Apa lacur, dia malah keasyikan menenggak hingga puluhan botol berkadar alkohol di atas 50 persen sampai ayam kembali berkokok pada esok harinya. Sementara, dari samping wc umum terminal, terdengar alunan tembang khas dari Iwan Fals.

Lihat Sugali menari
Di lokasi WTS kelas teri
Asyik lembur sampai pagi
Usai garong hambur uang peduli setan

Ramai gunjing
Tentang dirimu
Yang tak juga hinggap rasa jemu
Suram hari depanmu

*      *      *

Sejak saat itu hingga waktu yang tidak bisa ditentukan, warga Rawa Denok menjuluki Sugali dan beberapa temannya sebagai Madesu!. Ya, kelompok pemuda yang mempunyai masa depan suram...

*      *      *

Ket:
Liangsim: perasaan malu atau masih punya nurani
Cimeng: sejenis ganja
Dedak: pakan ternak terbuat dari limbah padi

*      *      *

- Jakarta, 13 Agustus 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun