[caption id="attachment_167729" align="aligncenter" width="614" caption="Ilustrasi dalam film Negeri 5 Menara"][/caption]
"Disini, kalian akan kami didik untuk jadi orang besar. Apakah jadi pengusaha besar, jadi menteri, ketua partai, ketua Dpr/Mpr atau ketua ormas Islam. Bukan itu yang saya maksud orang besar..." Itulah sepenggal kalimat yang diucapkan oleh Kyai Rais, pimpinan Pondok Pesantren Madani dalam film Negeri 5 Menara yang hingga kini lewat sebulan lamanya masih terngiang dalam pikiran saya. Apalagi saat melihat tayangan sebuah Masjid yang terdapat sebuah tulisan, "Ke Madani Apa Yang Kau Cari". Kemudian dalam benak saya timbul suatu pemikiran untuk membandingkannya dengan Kompasiana yang banyak disebut orang sebagai media warga terbesar di Indonesia, juga tempat saling berbagi pengalaman dan saling belajar layaknya dalam kelas di pondok Madani. Hingga akhirnya, terlintas juga sebuah pertanyaan yang sampai kini masih belum terjawab, yaitu: "Di Kompasiana, Apa Yang Kamu Cari?"
* Â Â * Â Â *
Secara langsung maupun tidak langsung, bergabung di Kompasiana mirip dengan apa yang di ucapkan oleh Kyai Rais tersebut. Sebab, banyak warga yang ikut berpartisipasi menuangkan tulisan hasil pengalaman yang terjadi di sekitarnya, gagasan atau ide yang bermanfaat juga tentang opini langsung mengenai suatu pemberitaan yang sedang terjadi. Mulai dari warga biasa seperti Ibu rumah tangga, pekerja pasar, karyawan biasa, pelajar, Guru, Dosen, Profesor, artis, Menteri, mantan Wakil Presiden hingga Ketua Dpr turut serta menuangkan apa yang didapatnya dalam kehidupan sehari-hari untuk diketahui khalayak ramai. Tidak sampai situ saja, sebab kehebatan dari pewarta warga yang di kehidupan sehari-harinya bukanlah sebagai seorang Jurnalis profesional layaknya wartawan. Dapat juga menghasilkan beberapa berita yang membuat heboh di masyarakat ataupun pihak yang bersangkutan. Seperti halnya tentang pelarangan mie instan di Taiwan, lelucon soal alamat email anggota Dpr, hebohnya rambut jambul ala Syahrini, jalanan rusak hingga mirip kubangan kerbau, dan baru-baru ini mengenai ulah oknum bandara yang membuat resah TKI dan juga tanggapan langsung dari pihak Angkasa Pura sebagai pengelola. Tidak ketinggalan tahun 2011 lalu ketika ada beberapa postingan dari beberapa Kompasianer mengenai pembangunan gedung Dpr langsung ditanggapi oleh sang ketua, Marzuki Alie bahkan hingga ikut membuat konfirmasi dalam tulisannya tersebut. Menilik kenyataan seperti itu, tentu semakin membuat anggotanya (Kompasianer) semakin terpacu untuk ikutan menulis baik reportase, opini maupun fiksi. Sebab ada kebanggaan tersendiri apabila sebuah tulisan dari Kompasianer bisa menjadi sebuah berita dan turut di publikasikan juga di media mainstream seperti harian Kompas dan situs berita Kompas.com hingga di beritakan kembali oleh beberapa media sejenis. Lalu, apakah itu jawaban dari pertanyaan, di Kompasiana apa yang kamu cari?
* Â Â * Â Â *
Tentunya setiap individu berbeda persepsi saat pertama kali bergabung atau ketika menayangkan tulisannya. Ada yang ingin berbagi pengalaman, kemudian menceritakan peristiwa yang terjadi di sekitarnya, lalu sekadar meluangkan hobinya dalam bidang tulis menulis, atau ingin mencari teman, juga ada yang menulis di Kompasiana karena merasa tertarik dengan nama besar Kompas. Terlepas dari beberapa alasan tersebut, pastinya dengan jumlah anggota yang mencapai lebih dari seratus ribu dan dapat dikatakan sangat heterogen, antara satu sama lain bisa saling berbeda-beda. Salah satu alasan saya yang utama dalam bergabung (menulis) di Kompasiana adalah untuk mengisi waktu luang sekaligus menyalurkan hobi baru di bidang tulis menulis. Selain itu awalnya tertarik dengan nama besar Kompas yang merupakan koran terbesar di Indonesia sekaligus sering dibaca sejak kecil. Kemudian saat menulis ada sesuatu hal yang sangat di idamkan, yakni ketika hasil tulisan banyak terbaca baik oleh Kompasianer maupun pengguna internet lainnya juga dapat tembus dalam beberapa kriteria seperti masuk Headline (HL), Terekomendasi, di Hybrid dalam Kompas.com hingga terpampang di halaman tengah harian Kompas, Freez. Lalu, apakah dengan alasan tersebut dapat dikatakan melenceng dari kaidah Kompasiana sebagai media yang diperuntukkan warga dalam mewartakan suatu peristiwa? Tentu saja tidak, sebab sekali lagi setiap orang mempunyai alasan tersendiri saat bergabung, seperti ada yang memang ingin menambah banyak teman ataupun meraih popularitas dalam komunitas ini atau juga sekadar meramaikan suasana asalkan yang terpenting adalah tetap memaknai esensinya dan bukan ingin mencari sensasi. Tetapi memang benar bahwa masuk HL, Terekomendasi dan sebagainya adalah magnet yang sangat besar dan menggoda Kompasianer untuk berlomba-lomba membuat tulisan terbaiknya, termasuk saya sendiri. Sebab bohong saja ketika ada seseorang yang berkilah dengan menulis di Kompasiana hanya menulis thok dan tidak mengharapkan masuk HL atau apapun. Karena dengan masuk HL atau Terekomendasi maka tulisan kita kemungkinan besar akan banyak dibaca oleh orang lain dan syukur-syukur kalau itu sangat bermanfaat bagi yang membaca ataupun menjadikan sebuah inspirasi. Dan itulah makna sesungguhnya dari sebuah kalimat Berbagi dan saling Berinteraksi antar sesama. Bukan berarti dengan masuk HL atau Terekomendasi hanya sekadar untuk gaya-gayaan ataupun penunjukkan jati diri bahwa HL itu penting dan kalau tidak HL maka tulisannya kurang di anggap. Sampai saat ini salah satu tulisan saya yang sangat berkesan dan kebetulan mendapatkan HL adalah ketika menuliskan pekerjaan seorang tukang tambal ban di malam hari. Sebenarnya bagi saya sendiri apa yang saya tulis sangat sederhana dan terkesan sepele karena dapat terjadi setiap hari, namun saat itu sedang gencar-gencarnya pemberitaan mengenai aksi penyebaran paku yang ditujukan kepada hampir semua tukang tambal ban. Dan oleh beberapa orang yang simpati kepada tukang tambal ban, tulisan saya seolah menjadikan suatu jawaban bahwa tidak semua tukang tambal ban suka menyebar paku di jalan raya. Sejak itu sebagai seorang yang baru belajar menulis, saya pun merasa senang dan terpacu untuk bisa menuliskan hal seperti itu lagi, juga karena sedikitnya dapat membela profesi tukang tambal ban yang tidak seluruhnya berlaku curang di jalan.
* Â Â * Â Â *
[caption id="attachment_167887" align="aligncenter" width="614" caption="Catatan Ahmad Fuadi 24 tahun silam (6 Juni 1988) yang berguna di kemudian hari"]
* Â Â * Â Â *
Djembatan Lima, 23 Maret 2012 - Choirul Huda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H