Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pelabuhan Sunda Kelapa, Banyak Sampah dan Airnya Tercemar Limbah

18 Februari 2012   23:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:29 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_172076" align="aligncenter" width="614" caption="Sampah berserakan dan air berwarna hijau saat beberapa warga sedang berpose didepan kapal "][/caption] Senja menginjak di ujung kota Jakarta, hempasan debu yang berterbangan serta pemandangan penuh sampah mewarnai bibir laut yang hanya dipisahkan tembok. Di depannya terlihat beberapa orang sedang asyik berfoto ria bersama tanpa menghiraukan lalat-lalat yang berterbangan di dekatnya. Sementara itu, tidak jauh dari tempat mereka tampak beberapa ABK sibuk dengan kegiatan mereka sehari-harinya dengan memindahkan barang dari satu kapal ke sebuah truk. Pelabuhan Sunda Kelapa, sebagai pelabuhan tertua di Indonesia sekaligus dahulunya adalah pintu masuk dan pusat perdagangan di pulau Jawa kini terlihat sangat sangat semrawut dan tak terawat. Di sepanjang bibir perairan Jakarta di setiap sela-sela perahu, baik besar maupun kecil banyak terdapat sampah yang bertebaran. Air lautnya tidak lagi tampak kebiruan, namun sudah berwarna hijau kecokelatan tanda tercemar limbah di sekeliling pelabuhan, mulai dari gerbang masuk hingga ujung dermaga. Debu yang menempel di jalan pun terlihat sangat tebal hingga masker dan penutup wajah tidak berguna sama sekali. "Namanya juga pelabuhan, Mas, ya seperti ini. Kalau ga mau ada debu sama sampah, ya di mall aja..." Ucap salah seorang pekerja sambil tertawa yang sedang asyik mengopi di pinggir dermaga, ketika saya ngobrol dengannya yang juga diamini penjual kopi keliling. Ya, beginilah wajah asli pelabuhan Sunda Kelapa yang dahulunya termahsyur hingga terdengar sampai belahan dunia utara. Sampai bangsa Eropa, yakni Portugal dan Belanda tertarik untuk singgah dan membuka kantor dagang mereka, sebelum akhirnya malah menjajah negeri ini. Dengan letak yang strategis, kala itu Sunda Kelapa memang menjadi primadona, sebab berbagai kebutuhan tersedia, mulai dari lada, kopi, garam, beras, keramik, bahan tenun dan lainnya yang  terdapat di penjuru nusantara. Tetapi itu dulu, meski sekarang aktivitas bongkar muat tetap ada setiap harinya dan menjadikan sebagai pintu masuk barang di Ibukota yang kedua, setelah Tanjung Priok. Kini Sunda Kelapa tidak lagi terkenal seperti pada era keemasannya di abad yang lampau. Padahal kalau Sunda Kelapa lebih terawat lagi dan dijadikan sebagai kawasan wisata, tanpa mengganggu aktifitas pekerja, bukan mustahil akan banyak dikunjungi orang. Sebab, banyak juga warga yang datang ke pelabuhan ini untuk berfoto sekaligus menikmati keindahan alamnya. Apalagi saat matahari mulai terbenam, sering dijadikan objek fotografi oleh berbagai wisatawan baik dalam maupun dari luar negeri. Karena selain dekat dengan kawasan wisata Kota Tua, di pelabuhan Sunda Kelapa juga tersedia perahu kecil yang bisa disewakan untuk berkeliling menyusuri perairan Jakarta dengan tarif sekitar rp 40-50 ribu rupiah. Namun dengan kondisi yang sekarang ini kotor dan penuh sampah, membuat orang yang datang ke pelabuhan Sunda Kelapa untuk berpikir ulang lagi. Saya jadi teringat dengan ucapan dari seorang pekerja, bahwa namanya juga pelabuhan ya, seperti inilah keadaannya. Semoga saja kedepannya, pelabuhan Sunda Kelapa dapat lebih bersih lagi agar namanya tetap terkenal seperti dahulu...

*    *    *

[caption id="attachment_162043" align="aligncenter" width="614" caption="Terlihat dari menara Syah Bandar dengan Sampah menumpuk di berbagai penjuru"]

1329604615533021467
1329604615533021467
[/caption]

*    *    *

[caption id="attachment_162044" align="aligncenter" width="614" caption="Di setiap sela kapal, pasti terdapat sampah yang menumpuk"]

1329604715914447737
1329604715914447737
[/caption]

*    *    *

[caption id="attachment_162045" align="aligncenter" width="614" caption="Sekeluarga berkunjung ke pelabuhan Sunda Kelapa"]

1329604932627010007
1329604932627010007
[/caption]

*    *    *

[caption id="attachment_162046" align="aligncenter" width="614" caption="Beberapa wisatawan berdatangan untuk memotret saat matahari terbenam"]

1329605037139143786
1329605037139143786
[/caption]

*    *    *

[caption id="attachment_162047" align="aligncenter" width="614" caption="Tidak ketinggalan turis bule pun sering berkunjung"]

132960510676302133
132960510676302133
[/caption]

*    *    *

[caption id="attachment_162048" align="aligncenter" width="614" caption="Lukisan Sunda Kelapa di abad 17 dahulu yang padat didatangi berbagai negara"]

13296067492097716089
13296067492097716089
[/caption]

*    *    *

*    *    *

Djembatan Lima, 19 Februari 2012 - Choirul Huda (CH)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun