[caption id="attachment_133780" align="aligncenter" width="614" caption="Karena ladang yang terbakar, hampir saja merenggut nyawaku..."][/caption]
* * *
Sebenarnya, tulisan ini tidak bermaksud untuk Curhat atau menumpahkan rasa geregetanku saat bekerja dahulu. Namun hanya sebagai Catatan pribadi dan dokumentasi untuk pelajaran kepada anak - cucu saya kelak, sekaligus berbagi pengalaman dengan Kawan-kawan Kompasianer lainnya tentang dunia pertambangan yang abu-abu. Lagipula, di Kompasiana sebelumnya saya pernah menulis beberapa pengalaman saya selama bekerja di Batubara, yaitu di akhir bulan Februari dan awal Maret. Kisahnya bermula ketika saya bekerja di tambang batubara di provinsi Sumatera Barat. Saat itu, medio Juli-Agustus 2009 adalah saat-saat yang paling berkesan. Sebab, selain saya diangkat menjadi Pengawas tambang, juga saya mendapat salah satu cobaan terberat dalam hidup saya. Posisi saya sebagai pengawas hampir setiap hari bergaul dengan orang-orang di tambang maupun masyarakat sekitar. Pada awalnya tidak masalah, namun seiring waktu berjalan timbul juga riak-riak kecil yang menghadang dalam perjalanan karier saya. Waktu itu, berhubung sudah dua bulan lagi menielang Idul Fitri, maka banyak masyarakat sekitar yang melamar pekerjaan di tambang kami. Ada empat orang yang diterima sesuai dengan kemampuan mereka, seperti Checker BBM, Cheker Pompa, Keamanan, dan Pembantu umum. Nah disinilah letak masalahnya, berhubung lokasi kami bersebelahan dengan rumah penduduk dan hanya berjarak kurang dari 3 km, maka banyak juga masyarakat yang mendatangi kami untuk sekadar minta air atau beristirahat di mes. Dari belasan pelamar kerja yang kami tolak (belum diterima), ada satu orang yang sangat gigih menghampiri kami di setiap waktu, ia selalu bilang ingin kerja. Padahal sudah tidak ada lagi yang hendak dikerjakan, semua tugas telah ada dalam bagiannya masing-masing. Sekali-dua kali ia terus merayu kami untuk memperkerjakannya, lalu dengan sopan kami pun mengatakan bahwa bukannya tidak mau menerima, tetapi memang sudah tidak ada lagi posisi yang kosong, semua tugas telah ditentukan. Tapi ia tetap tidak menyerah, bahkan setiap waktu mendatangi kami, dengan alasan sembari menjaga ladangnya. Ke betulan ia mempunyai sebidang tanah yang diisi dengan sawit, tepat bersebelahan dengan tambang kami. Karena setiap waktu hampir selalu merengek, maka salah satu Humas kami, Uda Y, yang kebetulan berasal dari Padang mulai kesal dengan sikapnya yang jumawa itu, lalu dengan tegas mengatakan kalau sudah tidak ada pekerjaan lagi untuknya, titik. Karena ditegur baik-baik si A tidak terima, malah semakin bersikeras, membuat Uda Y yang temperemental emosi, kemudian diantara mereka berdua terlibat cekcok. Hampir saja keributan terjadi, kalau tidak dilerai oleh beberapa operator alat berat dan sopir truk. Tidak lama kemudian Ketua Pemuda setempat datang untuk mendamaikan mereka, setelah dirunut masalahnya dari awal, kemudian Ketua Pemuda menyatakan bahwa mereka berdua harus saling meminta maaf, dan diputuskan kalau diantara pihak masing-masing tidak boleh saling mengganggu. Si A tidak boleh memaksa kami untuk memasukkannya kerja, dan kami diminta untuk tidak mengganggu kebun sawitnya, serta mengalihkan jalur excavator sejauh 10 meter dari ladang si A. Akhirnya mereka berdua bersalaman, dan kami pun penghuni mes kembali tenang.
* * *
Pertengahan Agustus, tepatnya menjelang tangga 17, aktivitas di perusahaan kami libur selama tiga hari untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Banyak pekerja yang pulang ke kotanya masing-masing, ada yang ke Sawah Lunto, Padang, Painan, dan juga Batusangkar. Kebetulan Uda Y pun ikut pulang bersama beberapa staf. Tinggal saya, dan dua orang kawan yang berasal dari Bandung, serta beberapa helper alat berat yang tinggal di mes dan menunggui bersama petugas keamanan. Nah, inilah awal terjadinya masalah, yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. Saat itu, cuaca sedang panas-panasnya, dan banyak angin yang bertiup kencang, pagi-pagi saya dibangunkan oleh helper Excavator untuk melihat ladang sebelah yang katanya terbakar! Langsung saja saya bergegas meninggalkan mes, tanpa mandi terlebih dahulu. Ternyata benar, beberapa tanaman termasuk sawit banyak yang hangus terbakar oleh percikkan batubara yang tertiup angin. Karena batubara yang berada di stockpile kami adalah batubara yang berkalori rendah (dibawah 5800 kcal), serta bersulfur tinggi (diatas 1-1,5), hingga menyebabkan gampang terbakar. Lalu kami beramai-ramai untuk memadamakannya dengan memakai pompa, dan menggilasnya dengan Excavator. Akhirnya dengan perjuangan selama setengah hari, api dapat padam juga. Dan semua orang yang berada disana menjadi kaget, sebab setelah dipadamkan apinya, ternyata ladang milik si A malah menjadi hancur tidak karuan. Kami yang takut terjadi apa-apa, karena kalau terlihat si A bisa ngamuk, akhirnya memutuskan untuk meminta tolong kepada seorang Satpam agar menjemput Ketua Pemuda, untuk menyelesaikan masalah ini (maklum, disana tidak ada sinyal untuk telepon seluler). Tidak berselang lama setelah Pak Satpam pergi, datanglah si A yang langsung menghampiri kami untuk menanyakan perihal kebakaran itu. Dengan matanya yang merah dan membawa parang, ia langsung menanyakan siapa yang bertanggung jawab atas kebakaran ini. Berhubung di mes, yang tersisa tinggal saya sebagai pengawas maka saya pun menjawabnya dengan baik-baik. Ia pun lantas membentak saya, dan meminta agar Uda Y keluar dan bertanggung jawab. Saya bilang bahwa Uda Y, sedang pulang ke Padang, tetapi ia tidak percaya. Bahkan mengatakan kalau Uda Y dan perusahaan kami melanggar janji yang sudah ditetapkan oleh Ketua Pemuda. Mungkin saat itu ia masih menyimpan dendam kepada Uda Y, jadi sebisa mungkin ingin melampiaskannya saat itu juga. Saat saya berhadapan dengannya, saya sangat ngeri, karena matanya yang melotot berwarna merah, tanda amarah yang sangat memuncak. Ditambah dengan ia mengacungkan parangnya, membuat seluruh penghuni mes menjadi takut akan terjadi sesuatu. Dengan memandangi kami semua, ia pun mengancam kepada saya untuk bertanggung jawab, dan saya bilang kalau saya akan bertanggung jawab utnuk mengatasi masalah ini dengan membicarakannya secara baik-baik. Ia tidak percaya, tiba-tiba saja tangan kirinya langsung memukuli wajah, dan kakinya menendang perut saya hingga terjerembab. Saat itu saya tidak berani melawan, disamping tubuhnya sangat kekar, juga takut karena ia memegang sebuah parang... Saat itu tidak ada yang memisahkan si A, karena rata-rata helper alat berat masih berusia belasan tahun jadi mereka pun takut. Apalagi, satpam sedang tidak ada ditempat, hingga saya hanya bisa meringis kesakitan saja… Puas saya digebuki dan ditendangi, saya hanya bisa menangkis seadanya tanpa sanggup melawan. Sampai saya terpojok di sudut mes, saking bernafsunya saya melihat senyum yang menyeringai dari wajah si A. lalu tanpa sadar saya mendengar teriakan “jangan” dari beberapa helper, saat melihat tangan si A mengayunkan parangnya… Beruntung, dalam seperkian detik, tiba-tiba tubuh si A terdorong jatuh hingga membentur tembok. Dan parang yang dipegangnya sudah berpindah tangan. Ternyata orang itu adalah Ketua Pemuda, dan yang mendorongnya jatuh si A adalah Satpam yang barusan saya suruh untuk menjemputnya… Saya terduduk lemas dengan keringat dingin yang bercucuran dengan deras. Saat itu, lidah terasa kelu, tidak bisa berkata apa-apa saking shock. Yang terlintas dari hati dan pikiran saya adalah membaca Asma Allah, agar masalah ini cepat terselesaikan. Akhirnya sore itu juga kami dibawa ke balai desa, disana si A disidang secara adat oleh masyarakat setempat karena telah menganiaya saya selaku pendatang. Untungnya dengan turun tangan beberapa perangkat desa serta peran Ketua Pemuda, masalah dapat diselesaikan meskipun si A tetap ngotot untuk meminta ganti rugi. Dengan keras Ketua Pemuda mengancamnya, kalau sampai si A berbuat macam-macam dengan mengganggu saya ataupun pekerja di tempat kami, maka ia tidak segan-segan untuk menghukumnya dengan keras. Dengan tertunduk si A, kemudian menyesali perbuatannya dan mengatakan bahwa bagaimana dengan ladangnya yang telah terbakar, sementara ia mencari nafkah dari situ. Kemudian diputuskan, bahwa kami tidak usah mengganti ladang yang yang terbakar, sebagai ganti rugi saya yang telah digebuki. Hitung-hitung impas, Karena mereka takut kalau terjadi apa-apa, maka kampung mereka juga yang akan tercemar... Setelah kejadian itu, kemudian saya memutuskan untuk berhenti bekerja disana. Bukan karena takut atau trauma, tetapi disebabkan kekhawatiran Ibu dan Keluarga saya di Jakarta yang waswas setelah mendengar saya dipukuli dan hampir dibacok. Apalagi saya saat itu merantau sendirian tanpa sanak saudara, bahkan di tempat yang sama sekali asing. Saya yang bersikeras ingin tetap melanjutkan pekerjaan di tambang, dengan tegas ditolak oleh sang Ibu. Rupanya beliau sangat takut, apabila terjadi apa-apa lagi dengan saya. Dan saya sendiri dikasih tenggat waktu hingga usai lebaran untuk menyelesaikan pekerjaan terdahulu. Lalu Ibu berkata, meskipun di tambang gaji sangat besar dan kedudukan saya sudah mulai bagus, namun keselamatan tetap lah harus diutamakan. Dan beliau bilang kalau saya adalah anak laki-laki satu-satunya disamping adik saya yang perempuan, maka Ibu saya tidak mau kalau saya akan mengalami hal-hal yang sangat tidak diinginkan lagi, hingga pulang tinggal nama...
* * *
Akhirnya tepat sesudah Idul Fitri, saya memutuskan resign dari pekerjaan di tambang untuk kembali ke Jakarta. Berkumpul kembali dengan keluarga yang telah satu tahun tidak berjumpa. Untuk mencegah agar saya tidak tergiur dengan uang besar selama di tambang, kemudian Ibu dan Keluarga memasukkan saya di salah satu perguruan tinggi swasta untuk bekal masa depan selanjutnya. Dan kini meskipun sudah dua tahun lewat semenjak kejadian itu, kenangan akan ayunan parang yang sudah didepan mata, selalu membayangi diri ini.
[caption id="attachment_133783" align="aligncenter" width="614" caption="Inilah sudut mes yang sangat mengingatkanku pada tragedi yang kelam..."][/caption]
* * *
- Choirul Huda (CH)
Tulisan lainnya yang terkait: - Suka dan Duka selama bekerja di Tambang Batubara 1 (Sebuah Sisi Lain Kehidupan) - Suka dan Duka selama bekerja di Tambang Batubara 2 (Batubara = BArang TUhan BAgi RAta???)