Terkadang, aku benci pada seluruh dunia, masyarakat, serta orang yang berada disekitarku. Hampir seluruhnya memandangku aneh, entah kenapa, mengapa entah aku dan sebangsaku adalah orang yang paling hina dina di muka bumi.
Keberadaanku pun sama sekali tidak diakui oleh Pemerintah, terbukti di dalam setiap kartu identitas yang ku punya, tidak ada satupun yang mencantumkan perbedaan selain pria dan wanita.
Padahal, aku pun ingin seperti kalian, bercanda, tawa dan berderai kebahagiaan. Tetapi itu semua hanya mimpi belaka untukku.
Usia 12 tahun, saat teman sebayaku gemar bermain kelereng, layang-layang dan juga meniru ala Ksatria Baja Hitam, memang aku sendiri rada aneh. Malah aku asyik dengan yang namanya congklak, main lompat karet bak anak perempuan, dan yang parah lagi adalah hobby mengoleksi boneka barbie...
Padahal, aku sebenarnya tak tahu, toh aku hanya anak usia belasan tahun yang sama sekali belum mengenal apa itu baik dan buruk. Hingga usiaku tepat 17 tahun, datanglah sebuah olok-olok yang mengerdilkan sebuah gender. Yakni, Bencong!
Sedih, kecewa, kesal, dan gelisah bercampur aduk menjadi satu.
Semua saling menjauhkanku, mulai dari teman sekolah, teman main di rumah, bahkan beberapa tetangga juga enggan untuk mendekati. Hanya tersisa Adik dan dua Kakak yang saling mengasihiku.
Mulai saat itu, aku sangat membenci dunia, sama halnya ketika seluruh dunia membenciku. Kecuali beberapa orang, ingin ku menampar semuanya yang telah mengolok-olok diriku, mencapku dengan konotatif negatif, serta mencemooh hingga merasuk ke tulang sumsum.
Hingga aku memutuskan untuk hijrah dari tempat tinggalku dulu, dan berkelana entah kemana hingga tak tahu rimbanya.
Namun, lagi-lagi tiada satupun yang menerima. Hanya komunitas sebangsaku saja yang menganggap aku saudara karena berperangai sama dengan mereka.
Ya, sebutan bencong yang suka mangkal.
Itulah yang acapkali mereka ucapkan kepadaku dan kawan-kawan baruku itu. Setiap aku melangkah ke sebuah warung, ada tatapan aneh dari masyarakat, setiap aku melewati gang-gang, selalu saja ada anak kecil hingga remaja belasan tahun yang meledek dengan gaya yang dibuat-buat. Pernah aku marah kepada mereka semuanya, dengan emosi langsung aku hardik hingga untungnya dipisahkan beberapa kawan.
Setelah itu, balok kayu serta acungan celurit yang kudapat dari sebagian masyarakat karena tidak terima anak-anak mereka dimarahi.
Namun siapa yang perduli ketika aku diledek sedemikian rupa?
Apakah aku memang tidak pantas untuk hidup normal seperti mereka?
Apakah memang aku ini haram, selayaknya yang didengungkan dalam agama?
Atau, itu hanya perasaanku saja?
Entahlah kalau anggapanku ini terlalu pesimistis, dan juga agak melankolis. Namun, bagaimanakah rasanya bila ada salah satu dari kalian kalian, Abang, Mas, Mbak, Kakak dan sebagainya apabila ada yang seperti diriku?
Masihkah mencela, mencaci, menghardik dan merasa jijik?
Atau bagaimana kalau suatu saat kalian menjadi diriku?
Enakkah rasanya menjadi orang yang paling terasing, di dunia yang ramai ini?
Toh, aku yakin di dunia ini tiada yang ingin terlahir sebagai orang yang tidak normal...
*Â Â *Â Â *
*Kisah ini menurut penuturan seorang Waria di sebuah sudut kota Jakarta.
Nama, tempat, waktu, sengaja disamarkan atas permintaan beliau.
Menelaah sisi lain dari kehidupan mereka yang keras dan di cap "negatif".
*Â Â *Â Â *
Muara Baru, 16 Januari 2012 (09:30 wib)
- Choirul Huda (CH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H