[caption id="attachment_155835" align="aligncenter" width="614" caption="Dahulu disini sering diadakan kejuaraan sepakbola Tarkam"][/caption] Anak-anak kecil asyik berlarian di sepanjang lapangan rumput yang sempit, sorak-sorai membahana di sekeliling pagar pembatas antara jalan dan tepi sungai. Tapi tiba-tiba suara mereka menjadi senyap, tidak lama kemudian langkah mereka terhenti karena bola yang mereka kejar jatuh dalam sungai. Tanpa membuang waktu yang lama, seorang dari mereka lantas mengambil galah bambu berukuran dua meter. Dengan hati-hati diiringi oleh tarikan nafaste kawan-kawannya, akhirnya dapat juga bola tercebur tadi terangkat ke permukaan. Sontak wajah ceria kembali menghiasi mereka dengan melanjutkan permainan bola plastiknya untuk menggapai cita-cita menjadi pemain Timnas yang berasal dari lapangan sempit. Itulah gambaran yang saya tangkap pada tahun 2001 - 2004 lalu di bantaran kali jeling (sungai Ciliwung). Kebetulan sekolah saya mulai dari SD hingga SMA berada di kawasan tersebut, tepatnya di Jakarta Pusat. Jadi saat pulang sekolah acapkali mampir kesana untuk bermain layang-layang, menebar burung merpati dan tak ketinggalan bermain bola. Namun kini sudah berubah, satu windu lamanya semenjak keluar dari sekolah menengah, saya pun tidak pernah bermain bola di lapangan sempit tersebut. Lapangan yang dahulunya banyak dikerumuni massa terutama saat sore hari untuk bermain bola, kini telah berubah menjadi kubangan lumpur. Sungai Ciliwung atau biasanya kami menyebut sebagai kali Jeling, letaknya sangat strategis karena di apit oleh dua pusat perbelanjaan seluler terbesar di Indonesia. Sekaligus terkenal akan daerah yang rawan, terutama pada malam hari. Kalau melihatnya sekarang tampak di sekeliling sungai dipagari batu beton yang memanjang bak pembatas kota. Belum lagi airnya bertambah cokelat, kehitaman atau juga butek. Padahal dahulunya, meski daerah tersebut konon terdapat buaya putih namun tidak menyurutkan langkah beberapa warga untuk mandi atau mencuci pakaian serta peralatan makan. Bahkan beberapa anak kecil asyik melompat dari jembatan rel kereta jurusan Duri - Tangerang untuk berenang di sungai menjelang sore hari. Sekarang semua itu telah berubah, mereka tidak takut terhadap kedalaman air juga tidak gentar akan adanya buaya putih. Namun, yang mereka khawatirkan justru luapan air dari sungai Ciliwung yang akan menerjang perumahan warga seperti tragedi 2007 lalu. Ya, kalau alam sudah berbicara, maka manusia pun hanya bisa berusaha untuk mencegahnya agar tidak berdampak luas. Saat saya mengutarakan kepada kawan yang tinggal tepat dibawah bantaran sungai tersebut, beliau hanya geleng-geleng kepala. Menurutnya, setiap di awal bulan Januari, warga selalu waspada dan sering kerja bakti untuk membersihkan lingkungan di sekitarnya. Namun tetap saja banjir datang lagi, dan yang paling di khawatirkan adalah terjadinya lagi siklus tragedi banjir 5 tahunan yang biasanya setinggi satu meter. Alam kah, yang membuat itu semua? Tentunya tidak bisa juga menyalahkan alam, meski tragedi banjir bukanlah buatan manusia sendiri. Namun, setidaknya manusia turut andil dalam menciptakan banjir dan membuat cuaca menjadi ekstrem. Sebab kalau di lingkungannya sendiri bersih, maka tidak mungkin bisa terjadi banjir yang banyak di bicarakan orang terjadi setiap tahunnya. Ingin menyalahkan Pemerintah? Ini yang sulit, sebab siapa suruh dahulu telah memilih sosok yang dahulu berkoar-koar Ahlinya dalam mengatasi banjir. Atau mengkambing hitamkan dengan dalih banjir merupakan kiriman dari Bogor? Tentu tidak juga, sesuai hukum alam, air bergerak dari tempat tertinggu menuju tempat terendah. Dan, kebetulan Jakarta sebagai tempat pertemuan antara daratan dengan perairan di laut jawa. Tinggal bagaimana kita menyikapinya untuk tidak membuang sampah sembarangan. Toh, bangsa Mesir dahulu pernah mengalami hantaman banjir hingga ketinggian sepuluh meter lebih ketika sungai Nil meluap pada tahun 2000 sebelum masehi. Justru karena sering menghadapi ancaman seperti itu, mereka jadi lebih sigap dan kuat dalam menghadapi bencana yang lain. Dan, kita masyarakat Indonesia, tidak seharusnya kalah dengan mereka yang peradabannya sudah jauh lewat ribuan tahun lamanya. Yang diperlukan adalah niat dan semangat yang tertanam dari warganya untuk bergotong royong membersihkan lingkungannya. Dan mencanangkan agar tidak buang sampah sembarangan. Sebab, yang paling berbahaya bukan cuaca ekstrem, melainkan kelakuan ekstrem dari manusia itu sendiri yang merusak sistem. Buang sampah sembarangan, penebangan pohon dengan serampangan, pembangunan pusat perbelanjaan tidak pada tempatnya hingga malas untuk kerja bakti membersihkan lingkuangannya sendiri. Berharap agar cuaca ekstrem tidak terjadi, hingga akhirnya warga bisa menyaksikan permainan sepak bola di pinggir sungai Ciliwung lagi...
*Â Â Â Â *Â Â Â Â *
[caption id="attachment_155836" align="aligncenter" width="614" caption="Tanggul yang mengelilingi Bantaran sungai Ciliwung atau biasa di sebut Kali Jeling"]
*Â Â Â Â *Â Â Â Â *
[caption id="attachment_155837" align="aligncenter" width="614" caption="Jalan Latumenten, tepat di bawahnya debit air kian meninggi dan hampir rata dengan jembatan"]
*Â Â Â Â *Â Â Â Â *
[caption id="attachment_155838" align="aligncenter" width="614" caption="Air berwarna kecoklatan"]
*Â Â Â Â *Â Â Â Â *
[caption id="attachment_155839" align="aligncenter" width="614" caption="Tempat (segelintir) warga kalau malam, untuk buang hajat!"]
*Â Â Â Â *Â Â Â Â *
[caption id="attachment_155843" align="aligncenter" width="614" caption="Bermain bola di samping tumpukan sampah yang menyengat (Foto koleksi tahun 2010 lalu)"]