Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filosofi Hidup ala Penjual Kue Putu Mayang

18 Desember 2011   13:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:06 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_149579" align="aligncenter" width="614" caption="Display gerobak kue Putu Mayang, sederhana namun menghasilkan manfaat yang lebih untuk Keluarga"][/caption]

"Biar sedikit asal bermanfaat..." Itulah kalimat yang sangat membekas di hati saya, saat berbincang dengan Pak Sukanda, penjual kue Putu Mayang. Sore tadi, saat saya asyik mengemong anak dari Keponakan yang masih berusia tiga tahun, lewat seorang Penjual Kue Putu Mayang, yang biasanya selalu mengitari perkampungan kami setiap sore hari. Kebetulan, hari ini saya libur, jadi bisa asyik bercanda dan leluasa bermain dengan bocah lucu yang masih kecil dan juga menyuapinya makan. Ketika saya sedang mengarahkan sendok berisi nasi pada bibirnya yang mungil, tiba-tiba saja bocah kecil ini menunjuk pada sebuah gerobak yang mangkal di seberang tempat kami berdiri. Ternyata ia ingin meminta dibelikan kue Putu. Saya yang awalnya tidak setuju, karena nasi di piring belum juga habis, mau tidak mau harus menuruti kemauannya, karena terus merengek minta dibelikan. Akhirnya karena tidak bisa menolaknya lagi, juga karena tertarik mendengarkan bunyi dari "nguing-nguin" dari kaleng asap yang disumbat sang Penjual, saya pun menggendongnya ke arah penjual kue Putu Mayang itu. Lalu anak dari Keponakan saya menunjuk kue Onde-onde yang berwarna kehijauan. Sambil melayani beberapa pembeli, saya pun mengajak ngobrol penjual kue Putu Mayang, yang akhirnya saya tahu bernama Pak Sukanda. Pria paruh baya, yang telah lima tahun menggeluti usaha jajanan tradisional itu banyak berbicara mengenai cara pembuatan kue Putu Mayang ataupun Onde-onde ini. Saya pun mencoba untuk bertanya-tanya lebih jauh lagi, tentang bagaimana pengalamannya berjualan kue keliling perkampungan warga. Sambil tangannya dengan lincah menaburi kelapa pada kue-kue yang dibeli kami, beliau pun menceritakan awal mulanya berdagang kue. Dahulunya beliau adalah seorang sopir bus antar provinsi, dengan rute Jakarta - Surabaya, bahkan sudah hampir belasan tahun ia bekerja sebagai sopir bus. Sebuah profesi yang amat melelahkan karena harus keluar malam, namun terbayar saat mendapati penghasilannya setiap rit sangat lumayan. Maklum, kalau lagi ramai, dalam dua hari menarik bus (menyopir), bisa membawa pulang kerumah uang yang lumayan besar. Apalagi jalur Jakarta menuju Surabaya dan sekitarnya adalah lahan basah bagi angkutan umum seperti Bus, karena tidak pernah sepi penumpang. Tetapi semenjak Istri beliau menghkawatirkan kesehatannya yang sering terganggu sebab terkena angin malam terus, akhirnya dengan berat hati ia meninggalkan pekerjaannya sebagai sopir Bus. Dan beralih menjadi pedagang kue Putu Mayang, yang berkeliling perkampungan, sekolah dan kompleks warga setiap hari mulai pukul 09 wib hingga selepas Isya, pukul 19 wib. Sebuah pilihan yang awal mulanya sangat sulit, karena terbiasa melakukan aktifitas keluar kota, kini harus mendekam dalam ruang lingkup yang sempit. Hanya berkeliling antar kelurahan, atau beberapa kecamatan saja. Sudah begitu, jangan ditanya mengenai perbandingan pendapatan yang ia terima saat menjadi sopir dengan sekarang ini. Ketika menjadi sopir Bus, ia sama sekali tidak memerlukan uang untuk sehari-harinya, berbeda dengan menjual kue, ia paling sedikit harus menyisihkan setengah dari hasil pendapatan untuk modal membeli bahan hari esoknya. Meski begitu, beliau tetap menjalani dengan suka cita, sebab menurutnya, "Rezeki itu sudah ada yang mengatur, kita sebagai manusia, yang terpenting adalah tetap berusaha mengejar rezeki itu. Biar bagaimanapun caranya, dan yang pasti harus tetap dengan cara yang halal." Huff... Kaget dan bingung saat saya mendengarnya, sebuah pernyataan yang sangat menusuk, sebab saya sendiri terkadang tidak puas dengan apa yang telah saya dapati. Sudah dapat rezeki yang lumayan, ingin mencari lagi yang lebih. Ketika sudah mendapatkan yang lebih, masih penasaran dan ingin mendapatkan yang jauh lebih-lebih-lebih. Bagaikan serasa tidak ada puasnya. Saat melayani seorang pembeli lagi, beliau pun berkata kepada saya, "Ya, Dik. Biar kata jualan ini cuma cukup buat makan sehari-hari, tapi alhamdullilah sangat bermanfaat bagi keluarga di rumah. Sedikit, tapi kalau di kumpulin kan lama-lama jadi bukit..." Ucapnya saat membungkus beberapa potong kue untuk pembeli terakhir tadi, lalu ia pun pamit meninggalkan saya, untuk berkeliling lagi ke kompleks di seberang rumah...

*   *   *

[caption id="attachment_149581" align="aligncenter" width="614" caption="Saat melayani seorang pembeli"][/caption]

*   *   *

[caption id="attachment_149583" align="aligncenter" width="614" caption="Bayangan tegar tampak memayungi Pak Sukanda, Penjual Kue Putu Mayang"][/caption]

*   *   *

Djembatan Lima, 18 Desember 2011 (20:07 wib) - Choirul Huda (CH)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun