Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Tangkai Mawar Putih

20 Februari 2014   13:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku jatuh cinta, untuk kesekian kali
Baru kali ini kurasakan, cinta sesungguhnya
Tak seperti dulu
Kali ini ada pengorbanan...

Senandung lagu dahsyat dari salah satu band ternama pada awal dekade 2000-an yang dinyanyikan ulang oleh pengiring musim di cafe, seperti mengusik batinku. Jatuh cinta. Apakah aku sedang jatuh cinta?

Tidak. Mungkin, tepatnya belum. Sebab, sulit bagiku untuk mencintai seseorang, meski itu sudah lama kenal sekalipun. Hampir, sama sulitnya bagi diriku saat pertama kali membuka hati kepadanya.

Namun, bila disebut saat ini aku sedang jatuh cinta, bisa jadi iya. Memang perasaan itu yang sedang melanda diriku, saat ini. Ya, untuk saat ini. Meski...

Itu terjadi semenjak puluhan purnama lalu. Tepatnya, ketika aku bertemu dengannya di sebuah Theater di jantung kota Jakarta. Hanya, ya itu. Penyakit lama seperti kambuh.

Benar apa yang dituliskan pepatah: Salah satu yang paling menyakitkan di kolong langit ini, bukanlah patah hati atau putus cinta. Melainkan, jatuh cinta yang sama sekali tak bisa terungkapkan.

*       *       *

Sepanjang hidup, salah satu hal yang paling sulit aku lakukan adalah berbuat romantis. Entah mengapa, kata "romantis" seolah menjadi rintangan bagiku dalam menjalin hubungan. Pernah, saat aku masih berseragam abu-abu bersama lawan jenis melewati sebuah toko mainan di hari ke-13 pada bulan kedua masehi. Saat itu, dia melirik kagum pada deretan boneka berwarna kuning di balik etalase kaca. Aku tergugah untuk bertanya dan berniat membelikannya.

Tapi, sosok yang saat itu masih berusia belasan tahun hanya menggeleng sambil tersenyum. Kami pun melanjutkan langkah dengan dia yang tak henti-hentinya memandangi etalase tersebut. Esok harinya, atas saran seorang sahabat, seusai sekolah aku langsung menuju toko mainan itu. Sebuah boneka berukuran lumayan besar namun lucu berhasil kubawa.

Malam harinya, ketika lilin-lilin menyala indah di atas meja makan di sebuah paviliun yang diterangi sinar rembulan, aku mencoba untuk memberi kejutan kecil. Sambil memintanya menutup mata dalam rentang beberapa menit, kupanggil pramusaji yang sebelumnya sudah diberi kode untuk membawa bingkisan berukuran lumayan besar. Sambil kubuka secara perlahan, dan memintanya untuk menatap kado yang menurutku lucu.

Sayangnya, bukan sambutan hangat yang kudapat. Melainkan, ekspresi kekecewaan dari gadis yang saat itu memakai kaos bertuliskan "Meteor Garden".

"Gue ga mau Winnie the Pooh. Gue berharap elo ngasih kado Marsupilami yang imut. Boneka besar ini buat apaan? Lo kira gw anak kecil, apa?" ujarnya saat itu yang tentu masih terekam jelas hingga belasan tahun kemudian.

Seketika, lilin yang sudah tertata rapih menjadi redup. Lampu jalan berornamen Cupid secara perlahan padam mengikuti langkahnya yang berjalan gontai ke arah dermaga. Malam yang sebelumnya kubayangka menjadi romantis malah berubah dramatis.

*       *       *

"Beri aku waktu. Kuharap kamu mengerti," Intan berkata dengan lirih. Tapi, bagiku, terdengar sangat kencang melebihi sahutan gemuruh di kala mendung. Kucoba untuk bersikap seperti biasa. Cool! Namun, tetap saja tidak bisa menyembunyikan perasaan ini. Dengan sisa-sisa semangat yang untungnya sama sekali tidak terputus, kuberanikan untuk lanjut dalam mengungkapkan tentang "tiga kata" dariku untuknya.

"Sampai kapan?"

"Entahlah."

"Aku akan tetap menunggu."

"Silakan saja. Kuharap kamu mampu. Jika tidak pun, tak masalah."

"Belum dicoba. Kenapa harus takut ombak kalo niat berlayar?"

"Mungkin," Intan menjawab pelan. Bumi seakan bergetar saat aku memandanginya dari kejauhan.

Di cafe di tepi laut ini, seperti satu dekade yang lalu. Aku terdiam ketika sosok yang begitu memesona pergi. Namun, dibanding waktu itu, setidaknya sekarang aku mampu mengungkapkan perasaan ini bersama tiga tangkai mawar putih yang terus digenggamnya. Apakah kelak akan jadi layu atau berkembang, itu lain cerita...

*       *       *

- Jakarta, 20 Februari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun