"Gue ga mau Winnie the Pooh. Gue berharap elo ngasih kado Marsupilami yang imut. Boneka besar ini buat apaan? Lo kira gw anak kecil, apa?" ujarnya saat itu yang tentu masih terekam jelas hingga belasan tahun kemudian.
Seketika, lilin yang sudah tertata rapih menjadi redup. Lampu jalan berornamen Cupid secara perlahan padam mengikuti langkahnya yang berjalan gontai ke arah dermaga. Malam yang sebelumnya kubayangka menjadi romantis malah berubah dramatis.
* Â Â Â * Â Â Â *
"Beri aku waktu. Kuharap kamu mengerti," Intan berkata dengan lirih. Tapi, bagiku, terdengar sangat kencang melebihi sahutan gemuruh di kala mendung. Kucoba untuk bersikap seperti biasa. Cool! Namun, tetap saja tidak bisa menyembunyikan perasaan ini. Dengan sisa-sisa semangat yang untungnya sama sekali tidak terputus, kuberanikan untuk lanjut dalam mengungkapkan tentang "tiga kata" dariku untuknya.
"Sampai kapan?"
"Entahlah."
"Aku akan tetap menunggu."
"Silakan saja. Kuharap kamu mampu. Jika tidak pun, tak masalah."
"Belum dicoba. Kenapa harus takut ombak kalo niat berlayar?"
"Mungkin," Intan menjawab pelan. Bumi seakan bergetar saat aku memandanginya dari kejauhan.
Di cafe di tepi laut ini, seperti satu dekade yang lalu. Aku terdiam ketika sosok yang begitu memesona pergi. Namun, dibanding waktu itu, setidaknya sekarang aku mampu mengungkapkan perasaan ini bersama tiga tangkai mawar putih yang terus digenggamnya. Apakah kelak akan jadi layu atau berkembang, itu lain cerita...