Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Malam Jumat, Balap Liar, dan Sisi Lain Jakarta

18 April 2014   13:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:31 1151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_303732" align="aligncenter" width="491" caption="Ilustrasi balap liar di kawasan Monas pada 2013 (www.kompasiana.com/roelly87)"][/caption]

Banyak yang mengatakan, kecantikan seorang wanita itu terlihat saat bangun tidur. Begitu juga dengan keindahan suatu kota yang bisa disaksikan hanya pada malam hari. Misalnya, New York dengan gemerlap lampu di seluruh sudut kota hingga mendapat julukan sebagai kota yang tak pernah tidur. Hal serupa terjadi di Kuala Lumpur seperti yang banyak diceritakan kawan Kompasianer, betapa kota terbesar di Malaysia ini sangat menarik dinikmati saat malam hari. Begitu juga dengan Turin yang tampak kalem, namun menyisakan eksotisme khas Italia.

Bagaimana dengan Jakarta? Sebagai orang yang hampir seperempat lebih tinggal di ibu kota Indonesia ini, tentu saya percaya, keindahan malam hari di Jakarta tidak kalah dari New York, Kuala Lumpur, hingga Turin sekalipun. Mulai dari kerlap-kerlip lampu di sepanjang jalan Thamrin hingga Sudirman dengan puncaknya air mancur di Bundaran HI (Tugu Selamat Datang).

Ya, Jakarta seperti kota yang tak pernah berhenti berdenyut sepanjang hari. Baik itu pagi, siang, sore, bahkan malam hari. Ketika cahaya bulan kalah terang dari gemerlapnya sorot lampu dan saat sebagian orang terlelap untuk mengumpulkan energi agar esok bisa bangun pagi untuk melakukan rutinitas kerja. Sebagian warga lainnya justru banyak yang tengah terjaga demi mencari nafkah.

Itu yang saya amati saat  menuju Pasar Kue Subuh Senen untuk mengantar orangtua membeli kue, pukul 2 dini hari tadi. Sepanjang perjalanan, tampak beberapa pedagang yang menunggui barang dagangannya di gerobak seperti martabak, bubur kacang ijo, hingga nasi uduk. Di kawasan Gajah Mada berjejer penjual berbagai macam obat, mulai dari pegal linu, masuk angin, hingga obat kuat. Tak jauh dari lokasi tersebut yang hanya berjarak 500 meter dari Istana Negara, tampak penjaja cinta sedang menunggu pelanggan. Apapun itu jualannya, toh mereka sudah berusaha mencari nafkah.

Sungguh pemandangan yang kontras, namun indah. Setidaknya bagi saya pribadi yang kebetulan lewat dan sayangnya gagal  mengabadikan beberapa momen tersebut akibat tidak membawa kamera. Yang menarik ketika melewati di kawasan Harmoni, tepatnya Jalan Suryopranoto, Jakarta Pusat. Saat itu, saya melihat puluhan kendaraan roda dua berjejer rapi di bahu jalan. Mungkin ada  ratusan orang mulai dari tua, muda, remaja, pria, hingga wanita.

Mereka tampak antusias menyaksikan aksi balapan liar yang dimulai dari lampu merah Rumah Sakit Tarakan hingga putaran halte busway Petojo. Tepuk tangan bersahutan ketika empat motor berjenis bebek adu cepat di ruas jalan yang masuk kategori Ring 1, alias dekat kawasan Istana Negara. Ironisnya, justru beberapa pembalap liar yang didominasi remaja belasan tahun itu seolah tidak takut.

Padahal, selain masih kawasan Ring 1, tak jauh dari lokasi balapan itu terdapat pos polisi. Hanya, saat saya melewati pos tersebut seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Alias kondisi pos dalam keadaan gelap yang mungkin lampunya dimatikan demi penghematan atau memang tidak ingin ambil pusing dengan adanya balapan liar tersebut. Yang mengherankan, saat itu saya melihat satu kendaraan sedan milik anggota polisi yang terparkir rapi.

Ya, sekadar parkir saja dan tidak melakukan patroli, apalagi membubarkan kerumunan tersebut.Terbukti, ketika pulang dari belanja kue, masih terdapat beberapa pembalap liar yang petantang-petenteng di tengah jalan dengan dipenuhi sampah air dalam kemasan. Saya sempat berpikir, mengapa polisi tidak membubarkan kerumunan tersebut.

Padahal, kegiatan balap liar itu tidak hanya sekali dua kali terjadi. Melainkan sudah rutin setiap minggunya dengan puncaknya, tentu malam Jumat yang dimulai Kamis pukul 23 WIB hingga subuh. Kemungkinan, pihak yang berwajib baru mengambil tindakan ketika aksi tersebut memakan korban. Baik itu dari kalangan pembalap sendiri maupun penonton atau bahkan pedagang di sisi jalan seperti yang terjadi tahun lalu saat seorang penjual kopi meninggal di tempat akibat ditabrak pembalap liar di kawasan Monas.

Saya sendiri berharap insiden yang melibatkan rakyat kecil yang tak tahu apa-apa hingga jadi korban itu tak  terulang kembali. Persis seperti yang diungkapkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Drs. Boy Rafli Amar, setahun lalu. Saat itu, sosok yang kerap nongol di stasiun televisi sebagai juru bicara kepolisian ini menegaskan untuk mencegah terjadinya balapan liar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun