Yang menarik, justru ada pertentangan antara orang nomor satu di DKI Jakarta ini dengan pihak kepolisian. Itu diungkapkan Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi (Kombes) Mulya Budyanto. Menurutnya, keberadaan Pak Ogah malah membantu masyarakat, khususnya pihak kepolisian. "Kalau tidak ada 'Pak Ogah' tambah macetnya. Memang Pak Ogah yang begitu-begitu harus diberi arahan. Mau diusir pun besok tetap ada di situ dia," ujar Restu (Detik.com).
Nah lho? Sebagai warga DKI Jakarta, mana pernyataan di antara dua pejabat teras itu yang benar-benar memberi solusi untuk mengurai salah satu penyebab kemacetan di jalan raya. Bagi saya pribadi, apa yang dikatakan Basuki sudah benar, karena sesuai dengan prosedural bahwa yang mengatur lalu lintas cukup Polantas atau Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Sebab, sulit untuk mengubah mentalitas dari Pak Ogah yang terbiasa dengan posisi tangan di bawah, ketimbang tangan di atas (kerja). Itu berdasarkan pengalaman saya dulu yang kerap memperhatikan keseharian Pak Ogah. Jangan kaget bila uang yang dihasilkan dari mengatur jalan raya itu, per harinya lebih besar ketimbang orang yang kerja kantoran.
Pasalnya, mereka rata-rata sehari mendapatkan penghasilan kotor Rp 100.000 - Rp 250.000. Jumlah yang menggiurkan untuk mereka yang hanya bermodalkan "tangan di atas" dengan berdiri di tengah jalan tanpa harus memeras keringat apalagi otak. Bahkan, jika Pak Ogah itu remaja tanggung, kebanyakan uang sebesar itu dipakai untuk hal yang negatif. Mulai dari membeli narkoba, mabok-mabokan, hingga pelesiran ke lokalisasi. Ironis, tapi faktanya yang saya dapat memang seperti itu.
Di sisi lain, pernyataan Basuki mengenai memulangkan mereka ke kampung halamannya masing-masing, juga tidak tepat. Sebab, banyak di antara Pak Ogah yang asli Jakarta, atau setidaknya sudah menetap lama di ibu kota ini dan memiliki KTP resmi. Jadi, sulit untuk "mengusir" mereka.
Begitu juga dengan apa yang dikatakan Restu, mengenai "Kalau tidak ada 'Pak Ogah' tambah macetnya". Pernyataan seperti itu seharusnya tidak keluar dari pejabat tinggi kepolisian. Sebab, itu sama saja memperlihatkan kelemahan instansi kepolisian yang seakan mengalah alias tidak mampu mengatur Pak Ogah.
Seharusnya, baik pemkot DKI Jakarta yang diwakili Basuki dan Polda Metro Jaya dengan Restu, memberi solusi konkret terhadap Pak Ogah. Bukan mengusirnya atau malah membiarkannya. Mungkin, lebih baik Pak Ogah itu dikaryakan, bisa sebagai karyawan freelancedengan gaji harian agar bisa membantu mengurai kemacetan. Hanya, dengan syarat Pak Ogah harus tunduk dengan peraturan yang dibuat pemkot DKI Jakarta. Jika mereka melanggar, ada sanksi dari Polda Metro Jaya. Ya, semacam reward and punishment.
Atau, bisa juga Pemkot DKI menggerakkan personel Satpol PP untuk mengatur lalu lintas. Toh, selama ini keberadaan mereka seperti mubazir. Lantaran, hanya diperlukan kalau ada penggusuran saja. Jika tidak, kebanyakan dari mereka juga menganggur tanpa kerja.
Saya pribadi berharap, persoalan Pak Ogah ini bisa diselesaikan dengan bijak dari kedua pihak yang bersangkutan. Yaitu, dengan memberi solusi terhadap mereka, dan bukan malah membencinya.
Artikel Terkait: