[caption id="attachment_316263" align="aligncenter" width="491" caption="Ilustrasi nobar Piala Dunia di TPS (foto: www.kompasiana.com/roelly87)"][/caption]
PIALA Dunia 2014 telah berlalu. Jerman dinobatkan sebagai tim terbaik usai di final mengalahkan Argentina, skor 1-0. Mario Goetze menjadi penentu di Stadion Maracana, Minggu (13/7). Lantaran, gelandang Jerman itu sukses mencetak gol pada menit ke-113 perpanjangan waktu.
Ya, final Piala Dunia 2014 adalah satu dari tiga momentum yang ditunggu ratusan juta rakyat Indonesia pada Juli ini. Sebab, sepak bola adalah olahraga yang favorit di Indonesia. Apalagi, Piala Dunia merupakan pesta empat tahunan yang bisa dinikmati kapan saja.
Sejak merdeka pada 1945, Indonesia belum pernah berpartisipasi kembali di Piala Dunia. Satu-satunya kenangan Piala Dunia bagi rakyat Indonesia adalah pada edisi 1938. Itu pun dengan nama Dutch East Indies, alias Hindia Belanda. Meski, mayoritas pemain yang berlaga di Prancis diisi pribumi.
Dua momentum lainnya? Pertama jelas, hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) yang digelar tiga hari sebelum final di Maracana, 9 Juli 2014. Yang terakhir, tentu saja momentum pembagian Tunjangan Hari Raya alias THR.
Bagi pekerja, THR merupakan momentum paling dinantikan melebihi final Piala Dunia atau Pilpres. Sebab, dengan mendapatkan THR, mereka bisa menggunakannya untuk merayakan hari raya Lebaran.
Oke, lupakan sejenak soal THR. Kini kita kembali ke Pilpres. Memang, ini ranah politik. Namun, olahraga, khususnya sepak bola tanpa politik itu mustahil. Begitu juga dengan politik yang kerap bersinggungan dengan sepak bola.
Silvio Berlusconi contohnya. Presiden klub raksasa Italia, AC Milan ini memanfaatkan sepak bola untuk karier politiknya. Terbukti, kesuksesan “I Rossoneri” meraih banyak gelar bergengsi mampu mengantarkannya menjadi perdana menteri Italia. Begitu juga sebaliknya, khususnya di Indonesia yang kini menjamur tokoh sepak bola yang beralih profesi sebagai politikus.
Lalu, apa korelasi antara Piala Dunia 2014 dengan Pilpres di Indonesia? Mari kita hitung mundur sejenak ke hari Rabu, 9 Juli. Di tengah teriknya matahari Ramadan bagi umat muslim yang menjalankan ibadah puasa, melalui televisi dan media online gencar diberitakan kemenangan salah satu calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Deklarasi Semu
Itu terjadi setelah proses Pilpres berlangsung sekitar pukul 14.00 WIB. Melalui quick count alias hitung cepat, diperoleh hasil capres-cawapres nomor urut dua, Joko Widodo-Jusuf Kalla memenangkan pilpres. Rujukannya quick count dari tujuh lembaga survei, termasuk milik pemerintah, Radio Republik Indonesia (RRI). Tak pelak, deklarasi kemenangan pun diteriakkan. Gaungnya tidak kalah dengan pesta kemenangan publik Jerman di Berlin usai menjuarai Piala Dunia 2014.
Yang menarik, tak berapa lama dari “deklarasi” itu, muncul “deklarasi” kemenangan dari kubu capres-cawapres nomor urut satu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Mereka seolah tidak mau kalah. Tentu, massa dan simpatisan capres-cawapres nomor urut satu merujuk pada hasil empat lembaga survei yang melakukan quick count.
Seketika, rakyat Indonesia terbelah. Sebab, jelang senja pada Rabu, pekan lalu itu, dua kubu capres-cawapres saling mendeklarasikan kemenangan.
Sampai di sini, bagi saya ada yang janggal. Pasalnya, kedua kubu capres-cawapres itu berpegang pada hasil hitung cepat. Memang, sejauh ini dalam beberapa pemilihan umum (pemilu) baik presiden, legislatif, hingga kepala daerah, metode quick count tergolong tepat. Mayoritas hasilnya hanya terpaut satu hingga lima persen dari hasil akhir versi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dasar itu yang menurut saya pribadi kurang layak dijadikan pegangan. Sebab, adakalanya quick count meleset. Contohnya ketika Pemilu Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Timur 2008 yang hitung cepat beberapa lembaga survei berbeda dengan hasil hitung manual KPU.
Nah, fakta itu bagi saya sangat menggelitik. Kok bisa kedua capres-cawapres saling mendeklarasikan kemenangan. Ibarat sepak bola, sebelum wasit meniup peluit panjang, haram bagi setiap tim untuk merayakan kemenangan.
Contohnya di final Liga Champions 2013/14 Real Madrid versus Atletico Madrid. Saat itu, Atletico unggul lebih dulu pada menit ke-36 melalui tandukan Diego Godin. Memasuki injury time, bek Madrid, Sergio Ramos menyamakan kedudukan.
Puncaknya, saat memasuki perpanjangan waktu. Permainan Atletico yang sudah merasa menang jadi merosot karena kebobolan pada menit-menit akhir. Sementara, motivasi penggawa Madrid menggila usai gol Ramos. Hasilnya sudah dapat ditebak, gelontoran tiga gol tanpa balas pada waktu 2x15 menit diciptakan Gareth Bale, Marcelo, dan Cristiano Ronaldo. Madrid menang dengan skor 4-1!
KPU sebagai Wasit
Berdasarkan fakta itu, seyogianya kita menunggu hasil pilpres 2014. Dalam hal ini, KPU sebagai wasit yang akan “meniup” peluit panjangnya pada 22 Juli.
Seperti yang dikatakan Ketua KPU, Husni Kamil Malik kepada saya beberapa waktu lalu di kantornya di Jalan Imam Bonjol No. 29 Jakarta Pusat, “Saya sangat menikmati sepak bola Indonesia. Saya berharap semua calon pada pemilu mendatang agar menjunjung tinggi sportivitas seperti di sepak bola. Supaya pihak yang kalah ikhlas menerima dan yang menang tidak jemawa.”
Lalu, bagaimana jika ada salah satu pihak yang tidak bisa legawa? Semuanya berpulang pada sikap capres-cawapres itu, meski kita berharap mereka bisa berlaku gagah. Sebagaimana di langit hanya ada satu matahari, begitu juga dengan di sebuah negara hanya ada satu pasangan presiden-wakil presiden. Toh, sepengetahuan saya soal sepak bola, di final hanya ada satu tim yang keluar sebagai juara. Jadi, mari kita menyongsong “final lainnya” pada 22 Juli mendatang.
- Artikel ini dimuat di Harian TopSkor edisi 19 Juli 2014.
* * *
Postingan Piala Dunia sebelumnya:
- Ketika Sepak Bola Tidak Bisa Diprediksi
- Anomali di (Fase Grup) Piala Dunia 2014
- Drama Penuh Kejutan di Pekan Pertama Piala Dunia 2014
- Lanjutan atau Akhir dari Hegemoni Spanyol
- Kilas Balik Piala Dunia 2006: Italia Juara di Kandang Jerman
- Kilas Balik Piala Dunia 1982: Italia Samai Rekor Brasil
- Kilas Balik Piala Dunia 1970: Momentum Kehebatan Brasil
- Trofi Piala Dunia, Antusiasme Masyarakat, dan Impian 2018
- Adu Penalti, Beban Psikologis untuk Sang Penendang
- Jadi Penonton di Rumah Sendiri
- Antara Turin dan Resolusi Luar Biasa
- Kasus Del Piero, Ketika Loyalitas Tak Dianggap
- Del Piero, Sosok Pemain Sepak Bola Paling Konsisten yang Menjadi Panutan
Artikel bertema sepak bola lainnya:
- Helena
- Nonbar Suporter Mancanegara
- Hikayat Sepak Bola
- Kisah The Raid dalam Laga Barcelona vs Chelesa
- Final Klasik Prancis Terbuka 2014: Nadal Vs Djokovic
* * *
- Jakarta, 21 Juli 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H