Sampai di sini, bagi saya ada yang janggal. Pasalnya, kedua kubu capres-cawapres itu berpegang pada hasil hitung cepat. Memang, sejauh ini dalam beberapa pemilihan umum (pemilu) baik presiden, legislatif, hingga kepala daerah, metode quick count tergolong tepat. Mayoritas hasilnya hanya terpaut satu hingga lima persen dari hasil akhir versi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dasar itu yang menurut saya pribadi kurang layak dijadikan pegangan. Sebab, adakalanya quick count meleset. Contohnya ketika Pemilu Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Timur 2008 yang hitung cepat beberapa lembaga survei berbeda dengan hasil hitung manual KPU.
Nah, fakta itu bagi saya sangat menggelitik. Kok bisa kedua capres-cawapres saling mendeklarasikan kemenangan. Ibarat sepak bola, sebelum wasit meniup peluit panjang, haram bagi setiap tim untuk merayakan kemenangan.
Contohnya di final Liga Champions 2013/14 Real Madrid versus Atletico Madrid. Saat itu, Atletico unggul lebih dulu pada menit ke-36 melalui tandukan Diego Godin. Memasuki injury time, bek Madrid, Sergio Ramos menyamakan kedudukan.
Puncaknya, saat memasuki perpanjangan waktu. Permainan Atletico yang sudah merasa menang jadi merosot karena kebobolan pada menit-menit akhir. Sementara, motivasi penggawa Madrid menggila usai gol Ramos. Hasilnya sudah dapat ditebak, gelontoran tiga gol tanpa balas pada waktu 2x15 menit diciptakan Gareth Bale, Marcelo, dan Cristiano Ronaldo. Madrid menang dengan skor 4-1!
KPU sebagai Wasit
Berdasarkan fakta itu, seyogianya kita menunggu hasil pilpres 2014. Dalam hal ini, KPU sebagai wasit yang akan “meniup” peluit panjangnya pada 22 Juli.
Seperti yang dikatakan Ketua KPU, Husni Kamil Malik kepada saya beberapa waktu lalu di kantornya di Jalan Imam Bonjol No. 29 Jakarta Pusat, “Saya sangat menikmati sepak bola Indonesia. Saya berharap semua calon pada pemilu mendatang agar menjunjung tinggi sportivitas seperti di sepak bola. Supaya pihak yang kalah ikhlas menerima dan yang menang tidak jemawa.”
Lalu, bagaimana jika ada salah satu pihak yang tidak bisa legawa? Semuanya berpulang pada sikap capres-cawapres itu, meski kita berharap mereka bisa berlaku gagah. Sebagaimana di langit hanya ada satu matahari, begitu juga dengan di sebuah negara hanya ada satu pasangan presiden-wakil presiden. Toh, sepengetahuan saya soal sepak bola, di final hanya ada satu tim yang keluar sebagai juara. Jadi, mari kita menyongsong “final lainnya” pada 22 Juli mendatang.
- Artikel ini dimuat di Harian TopSkor edisi 19 Juli 2014.
* * *
Postingan Piala Dunia sebelumnya:
- Ketika Sepak Bola Tidak Bisa Diprediksi
- Anomali di (Fase Grup) Piala Dunia 2014
- Drama Penuh Kejutan di Pekan Pertama Piala Dunia 2014
- Lanjutan atau Akhir dari Hegemoni Spanyol
- Kilas Balik Piala Dunia 2006: Italia Juara di Kandang Jerman
- Kilas Balik Piala Dunia 1982: Italia Samai Rekor Brasil
- Kilas Balik Piala Dunia 1970: Momentum Kehebatan Brasil
- Trofi Piala Dunia, Antusiasme Masyarakat, dan Impian 2018
- Adu Penalti, Beban Psikologis untuk Sang Penendang
- Jadi Penonton di Rumah Sendiri
- Antara Turin dan Resolusi Luar Biasa
- Kasus Del Piero, Ketika Loyalitas Tak Dianggap
- Del Piero, Sosok Pemain Sepak Bola Paling Konsisten yang Menjadi Panutan
Artikel bertema sepak bola lainnya:
- Helena
- Nonbar Suporter Mancanegara
- Hikayat Sepak Bola
- Kisah The Raid dalam Laga Barcelona vs Chelesa
- Final Klasik Prancis Terbuka 2014: Nadal Vs Djokovic
* * *
- Jakarta, 21 Juli 2014